Surah An-Nahl (Lebah) adalah salah satu surah Makkiyah yang kaya akan ayat-ayat yang mengajak manusia untuk merenungkan kebesaran Allah SWT melalui fenomena alam dan ciptaan-Nya. Salah satu ayat yang sangat fundamental dalam mendorong perenungan tauhid adalah ayat ke-74, yaitu An-Nahl ayat 74.
Ayat ini secara harfiah berarti: "Dan bagi Allah lah perumpamaan yang paling tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." Ayat ini menutup rangkaian argumen tentang kesesatan praktik syirik yang dilakukan oleh kaum musyrikin yang menyembah selain Allah, dan menegaskan bahwa tidak ada satu pun perumpamaan yang sepadan dengan kesempurnaan Sang Pencipta.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah Al-Matsalul A’la (المَثَلُ الأَعْلَى). Dalam konteks tafsir, ini merujuk pada sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan yang mutlak hanya dimiliki oleh Allah SWT. Ketika manusia mencoba memberikan perumpamaan bagi Allah—misalnya dengan menyamakan-Nya dengan berhala buatan mereka atau dengan makhluk ciptaan-Nya—maka perumpamaan tersebut pasti cacat dan tidak mampu menandingi hakikat ketuhanan.
Allah Maha Suci dari segala kekurangan yang melekat pada makhluk-Nya. Jika seseorang membandingkan keindahan atau kekuatan makhluk dengan keagungan Allah, perbandingan itu akan jatuh jauh di bawah standar keagungan-Nya. Sebaliknya, perumpamaan tertinggi yang sah untuk Allah adalah apa yang Dia perumpamakan tentang diri-Nya sendiri dalam Al-Qur'an, yang menunjuk pada sifat-sifat-Nya yang sempurna, seperti Maha Mendengar (As-Sami’), Maha Melihat (Al-Basir), Maha Kuasa (Al-Qadir), dan Maha Mengetahui (Al-'Alim).
Dalam ayat sebelumnya (An-Nahl: 73), Allah telah mengingatkan bahwa sesembahan selain-Nya, baik patung maupun benda mati, tidak memiliki kekuasaan sedikit pun atas rezeki, bahkan mereka tidak mampu memberikan manfaat atau menolak mudharat. Setelah meniadakan segala potensi ketuhanan pada selain-Nya, An-Nahl 74 menegaskan kembali posisi tauhid yang absolut: hanya Allah yang memiliki perumpamaan tertinggi.
Ayat ini ditutup dengan penegasan dua sifat utama Allah yang melengkapi makna Al-Matsalul A’la, yaitu Al-'Aziz (Maha Perkasa) dan Al-Hakim (Maha Bijaksana).
Keperkasaan Allah memastikan bahwa penetapan perumpamaan tertinggi ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Dia memiliki otoritas penuh dan kekuatan tak tertandingi untuk menetapkan standar kebenaran dan kesempurnaan. Kemahakuasaan-Nya menjamin bahwa tidak ada satu pun ciptaan yang dapat menantang atau menandingi keagungan-Nya.
Kebijaksanaan Allah memastikan bahwa segala sesuatu yang Dia tetapkan, termasuk cara Dia menampakkan diri-Nya melalui tanda-tanda-Nya atau cara Dia menetapkan sifat-sifat-Nya, selalu dilandasi hikmah yang sempurna. Ketuhanan-Nya adalah mutlak dan penuh hikmah, berbeda dengan tandingan atau perumpamaan palsu yang lahir dari kebodohan manusia.
An-Nahl ayat 74 adalah panggilan tegas untuk membersihkan keyakinan (akidah) dari segala bentuk penyimpangan. Bagi seorang muslim, ayat ini mengajarkan beberapa hal penting:
Kesimpulan dari An-Nahl 74 adalah penegasan bahwa keunikan dan kesempurnaan Allah adalah premis utama dalam Islam. Segala sesuatu yang dibandingkan dengan-Nya akan selalu kalah karena Dia adalah Al-'Aziz (yang tak terkalahkan) dan Al-Hakim (yang kebijaksanaannya meliputi segala sesuatu).