Peringatan dan Janji Dalam An Nahl Ayat 94

Simbol Keseimbangan dan Janji Representasi visual timbangan yang seimbang dan rantai yang mengikat janji, melambangkan keadilan dan ketepatan.

Ilustrasi: Keadilan dan keteguhan janji.

Dalam Al-Qur'an, setiap ayat membawa hikmah yang mendalam, dan An Nahl ayat 94 adalah salah satu penegasan penting mengenai tanggung jawab moral seorang Muslim terhadap sumpah dan janji yang telah diucapkan. Ayat ini merupakan pengingat tegas dari Allah SWT kepada hamba-Nya mengenai pentingnya memegang teguh komitmen, terutama di hadapan orang lain dan di hadapan Tuhan semesta alam.

Kontekstualisasi An Nahl 94

Surah An Nahl, yang berarti "Lebah," membahas berbagai karunia Allah, termasuk petunjuk bagi kehidupan manusia. Ayat ke-94 secara spesifik berbicara tentang larangan menjadikan sumpah atas nama Allah sebagai alat untuk menipu atau menghindari kewajiban yang seharusnya dipenuhi. Bunyi ayat ini menekankan bahwa sumpah yang diucapkan atas nama Allah haruslah dijadikan landasan kejujuran, bukan sebagai tameng kebohongan.

"Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipuan di antara kamu, sehingga (dengan demikian) tergelincir kaki setelah ia kokoh (teguh), dan kamu akan merasakan keburukan (akibatnya) karena kamu telah menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan kamu akan mendapatkan azab yang besar." (QS. An Nahl: 94)

Integritas di Balik Sumpah

Ayat ini menyoroti bahaya menggunakan nama Allah untuk tujuan yang tercela. Ketika seseorang bersumpah atas nama Tuhan, ia sedang menempatkan martabat ilahi di atas tindakannya. Jika sumpah tersebut kemudian dilanggar demi keuntungan duniawi—seperti menghindari pembayaran utang, membatalkan perjanjian dagang yang jujur, atau menipu orang lain—maka kerugian yang timbul bukan hanya pada pihak yang tertipu, tetapi juga pada integritas spiritual si pengkhianat sumpah.

Frasa "tergelincir kaki setelah ia kokoh (teguh)" adalah metafora yang sangat kuat. Ini menggambarkan situasi di mana seseorang yang awalnya berada di jalan yang benar, yang imannya tampak kuat, dapat jatuh ke dalam kesesatan yang parah hanya karena satu tindakan tidak jujur yang didukung oleh sumpah palsu. Kepercayaan adalah fondasi masyarakat, dan ketika fondasi kepercayaan ini dirusak oleh sumpah palsu atas nama yang Maha Benar, kehancuran moral tidak terhindarkan.

Konsekuensi Menghalangi Jalan Allah

Konsekuensi yang disebutkan dalam An Nahl 94 bersifat ganda. Pertama, adalah kerugian duniawi yang disebutkan sebelumnya. Kedua, dan yang lebih berat, adalah ancaman "azab yang besar" akibat "menghalangi (manusia) dari jalan Allah." Ini berarti bahwa pengkhianatan terhadap sumpah yang dilakukan atas nama Tuhan secara otomatis dikategorikan sebagai penghalang kebenaran.

Dalam konteks yang lebih luas, menghalangi jalan Allah bisa berarti menyesatkan orang lain dengan perilaku buruk kita, atau merusak citra Islam itu sendiri melalui ketidakjujuran yang dilegitimasi oleh sumpah. Ketika umat Islam melakukan praktik tercela seperti ini, hal itu memberikan alasan bagi orang lain untuk menjauhi ajaran Islam, karena mereka melihat kontradiksi antara ajaran kebenaran dan praktik nyata penganutnya.

Pelajaran Praktis untuk Kehidupan Modern

Meskipun konteks historisnya mungkin terkait dengan praktik sumpah dalam transaksi lama, relevansi An Nahl ayat 94 tetap mutlak di era modern. Sumpah saat ini dapat berupa penandatanganan kontrak legal, janji jabatan publik, atau sumpah kesaksian di pengadilan. Prinsip dasarnya tetap sama: komitmen yang dibuat dengan menyebut nama Allah harus ditepati dengan segenap jiwa.

Menghindari sumpah palsu adalah manifestasi nyata dari takwa. Ini menuntut kejujuran mutlak, bahkan ketika kejujuran itu merugikan kepentingan sesaat. Seorang mukmin sejati memahami bahwa keuntungan sesaat yang diperoleh dari penipuan sumpah tidak sebanding dengan kerugian abadi dan kehancuran reputasi yang diakibatkannya. Memelihara janji dan sumpah adalah bentuk ibadah yang meneguhkan hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (dengan sesama manusia).

Oleh karena itu, ayat ini berfungsi sebagai standar etika tertinggi. Ia mengajarkan bahwa integritas bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang harus dijaga agar pijakan kita dalam kehidupan tidak goyah, dan agar kita terhindar dari azab yang dijanjikan bagi mereka yang mempermainkan nama Yang Maha Agung.

Menggali lebih dalam ayat ini juga mengingatkan kita untuk senantiasa introspeksi diri. Apakah kita telah bersungguh-sungguh dalam setiap sumpah atau janji yang kita buat? Apakah kita benar-benar takut akan konsekuensi menipiskan nama Allah demi keuntungan sepele? Jawabannya harus selalu mengarah pada komitmen untuk hidup jujur dan memegang teguh amanah, sesuai dengan tuntunan yang termaktub dalam surah An Nahl.

🏠 Homepage