Surah An Nahl (Lebah) adalah surat ke-16 dalam Al-Qur'an yang kaya akan ayat-ayat yang menjelaskan kebesaran Allah SWT melalui fenomena alam dan petunjuk ilahi. Salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna spiritual luar biasa adalah An Nahl ayat 99. Ayat ini memberikan jaminan mendalam bagi orang-orang yang beriman dan senantiasa bertawakal kepada-Nya.
(QS. An Nahl: 99)
Konteks Ayat: Kekuatan Izin Ilahi
Ayat 99 An Nahl secara garis besar berbicara tentang otoritas tunggal Allah dalam menurunkan mukjizat atau tanda-tanda kebesaran-Nya (ayat). Kalimat pertama, "Wamā kāna li’ayyi nabiyyin an ya’tiya bi-āyatin illā bi’idhnillāh" (Tidaklah pantas bagi seorang Nabi membawa suatu tanda (mukjizat) kecuali atas izin Allah), menegaskan bahwa semua keajaiban yang dibawa oleh para nabi terdahulu, termasuk Nabi Muhammad SAW, adalah murni atas kehendak dan izin dari Sang Pencipta. Ini menepis klaim atau upaya siapa pun yang mencoba menandingi atau meniru tanda-tanda kenabian tanpa restu ilahi.
Dalam konteks dakwah, hal ini menjadi penekanan penting: kebenaran pesan kenabian tidak bersandar pada kekuatan manusiawi, melainkan pada otorisasi ilahi. Ketika tanda itu datang dan kebenaran (Al-Haqq) telah jelas terungkap, maka tugas selanjutnya adalah penegasan posisi.
Penegasan Setelah Datangnya Kebenaran
Bagian kedua ayat ini sangat penting bagi seorang muslim yang sedang berada di tengah pertarungan spiritual atau ideologis: "Fa iḏā jā’athum faṣlul-ḥaqqi min ‘indihi..." (Maka apabila datang kepada mereka kebenaran yang jelas dari sisi-Nya...). Ketika bukti kebenaran telah hadir nyata, baik melalui wahyu, mukjizat, maupun petunjuk yang terang benderang, maka langkah selanjutnya adalah bertindak berdasarkan bimbingan tersebut.
Allah kemudian memerintahkan, "...fa-iḏhab binikmati rabbika ‘alaihim..." (maka berpalinglah dengan nikmat Tuhanmu kepada mereka...). Frasa ini sering diartikan sebagai perintah untuk menonjolkan nikmat dan rahmat yang telah Allah berikan melalui wahyu tersebut, sekaligus menegaskan keteguhan hati. Ini bukan berarti membalas permusuhan dengan permusuhan, melainkan menunjukkan bahwa pengikut kebenaran telah dianugerahi sesuatu yang jauh lebih berharga dari apa pun yang ditawarkan oleh pihak yang menolak kebenaran.
Peringatan untuk Tidak Mengikuti Hawa Nafsu
Peringatan keras menutup ayat ini, "...walā tattabi’ ahwā’ahum, innahum lā yu’minūn" (dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka, sesungguhnya mereka tidak beriman). Ini adalah inti dari pemeliharaan iman. Setelah kebenaran ditetapkan, seorang mukmin harus menjaga jarak total dari godaan dan logika yang bertentangan dengan petunjuk Allah, yakni hawa nafsu mereka yang menolak keimanan.
An Nahl 99 mengajarkan bahwa iman yang sejati harus berlandaskan pada otoritas tunggal, yaitu Allah. Ketika seseorang telah menyaksikan kebenaran ilahi, mengikuti jalan lain yang didasarkan pada preferensi subjektif atau keinginan kelompok yang menolak iman adalah kesesatan. Ayat ini menguatkan prinsip tawakkal (berserah diri penuh) setelah upaya maksimal dalam menyampaikan risalah. Kita berserah kepada izin Allah atas tanda-tanda-Nya, dan setelah tanda itu datang, kita teguh pada nikmat yang telah dianugerahkan, tanpa tergoda oleh jalan orang-orang yang hatinya terkunci dari iman.