AN-NISA 126-130: Fondasi Kehidupan Muslim dalam Kasih Sayang dan Tanggung Jawab Ilahi

Item A Item B Item C Item D - Panjang Item E - Sangat Panjang

Ilustrasi pengelolaan sumber daya dan tanggung jawab.

QS. An-Nisa ayat 126: "Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan sesungguhnya Allah Maha Meliputi segala sesuatu."

QS. An-Nisa ayat 127: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang perempuan, katakanlah: 'Perempuan yang berhak mendapat nafkah ialah yang telah ditentukan baginya oleh Allah, dan (hak) yang telah diajarkan kepadamu, dan kamu (kaum lelaki) tidak boleh mengambil kembali dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Dan jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang (tersebut) kalau perempuan itu menyerahkan dirinya (kepada suaminya)."

QS. An-Nisa ayat 128: "Dan orang-orang yang mengkhianati janji mereka, dan barang siapa yang mengkhianati janji maka sesungguhnya dia mengkhianati dirinya sendiri, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."

QS. An-Nisa ayat 129: "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada seorang) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

QS. An-Nisa ayat 130: "Jika keduanya (suami istri) berkehendak perbaikan, Allah akan memberikan kecukupan kepada keduanya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Surah An-Nisa, ayat 126 hingga 130, menyajikan sebuah gambaran komprehensif mengenai prinsip-prinsip fundamental dalam kehidupan seorang Muslim, yang berakar pada kesadaran akan kekuasaan dan kasih sayang Allah, serta tanggung jawab pribadi dalam hubungan sosial dan keluarga. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan pedoman, tetapi juga menawarkan rahmat dan harapan bagi setiap individu yang berupaya menjalankan kehidupannya sesuai dengan ajaran-Nya.

Kedaulatan Mutlak Allah dan Pengaturannya

Ayat 126 menegaskan hakikat kekuasaan tertinggi Allah. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya. Penegasan ini bukan sekadar deklarasi teologis, melainkan fondasi penting yang harus disadari oleh setiap Muslim. Kesadaran ini menumbuhkan rasa tawakal, kerendahan hati, dan penerimaan terhadap segala ketetapan-Nya. Ketika kita memahami bahwa Allah adalah Al-Mujeeb (Yang Maha Meliputi segalanya), maka segala upaya dan ikhtiar yang kita lakukan akan selalu dikembalikan kepada-Nya, dalam kerangka mencari ridha-Nya. Ini juga berarti bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amal perbuatannya di hadapan Sang Pencipta yang Maha Mengetahui segalanya.

Prinsip Keadilan dan Tanggung Jawab dalam Pernikahan

Ayat 127 dan 129 secara spesifik membahas aspek pernikahan dan hubungan antara suami istri. Ayat 127 memberikan panduan mengenai hak dan kewajiban dalam pernikahan, terutama terkait dengan mahar dan nafkah. Allah menjelaskan bahwa penentuan hak-hak ini telah digariskan oleh-Nya, dan keduanya memiliki tanggung jawab untuk mematuhi aturan-aturan-Nya. Pentingnya keadilan dalam pembagian hak dan kewajiban ditekankan kembali dalam ayat 129. Allah menyadari bahwa berlaku adil secara mutlak di antara beberapa istri adalah hal yang sangat sulit, bahkan hampir mustahil secara sempurna. Oleh karena itu, Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang di luar kemampuannya. Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk tidak meninggalkan salah satu pihak dalam keadaan terkatung-katung. Fokus utama adalah perbaikan diri dan usaha maksimal untuk menjaga keharmonisan, di mana Allah menjanjikan ampunan dan kasih sayang bagi mereka yang berusaha.

Pesan utamanya adalah bahwa dalam pernikahan, terutama bagi yang memiliki lebih dari satu istri, usaha untuk berlaku adil, menjaga komunikasi, dan memberikan hak masing-masing adalah kewajiban. Ketidakmampuan untuk mencapai keadilan sempurna tidak menjadikan hubungan itu batal, asalkan ada niat baik, usaha perbaikan, dan pengembalian segala urusan kepada Allah.

Kepercayaan, Amanah, dan Konsekuensinya

Ayat 128 membawa kita pada pentingnya menjaga janji dan amanah. Mengkhianati janji, baik janji kepada Allah, kepada sesama manusia, atau bahkan janji pada diri sendiri, berarti mengkhianati diri sendiri. Konsekuensi pengkhianatan ini sangatlah berat, karena Allah Maha Mengetahui setiap tindakan sekecil apapun. Ayat ini mengingatkan bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang mengandung unsur pengkhianatan akan tercatat dan memiliki pertanggungjawaban. Dalam konteks pernikahan, ayat ini juga menggarisbawahi pentingnya kejujuran dan kesetiaan. Ketika sebuah janji pernikahan diikrarkan, ia menjadi amanah yang harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

Harapan Rahmat dan Kecukupan dari Allah

Di tengah segala tuntutan dan tanggung jawab yang disebutkan, ayat 130 menawarkan sebuah janji yang sangat melegakan: "Jika keduanya (suami istri) berkehendak perbaikan, Allah akan memberikan kecukupan kepada keduanya." Ayat ini adalah sumber harapan dan optimisme. Selama ada niat tulus untuk memperbaiki hubungan, mencari kebaikan, dan menjaga diri dari kesalahan, Allah Yang Maha Luas karunia-Nya dan Maha Mengetahui akan memberikan jalan keluar dan kecukupan. Rahmat Allah selalu mendahului murka-Nya, dan kasih sayang-Nya mencakup segala sesuatu. Bagi pasangan suami istri yang menghadapi kesulitan, ayat ini menjadi pengingat untuk tidak berputus asa, melainkan terus berupaya memperbaiki diri dan hubungan, serta memohon pertolongan kepada Allah.

Secara keseluruhan, rangkaian ayat An-Nisa 126-130 ini adalah panduan hidup yang kaya makna. Mereka mengajarkan kita untuk senantiasa menyandarkan diri pada kekuasaan Allah, memenuhi tanggung jawab dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam rumah tangga, serta mengharapkan rahmat dan kecukupan dari-Nya melalui niat yang tulus dan usaha perbaikan yang berkelanjutan.

🏠 Homepage