Surat An-Nisa, yang berarti "Wanita," merupakan salah satu surat Madaniyah yang membahas berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan moral dalam masyarakat Islam. Di antara ayat-ayatnya yang sarat makna, terdapat ayat ke-153 yang memuat dialog tajam antara Allah SWT dengan kaum Yahudi, menyoroti kesalahpahaman dan penolakan mereka terhadap kebenaran Ilahi. Ayat ini tidak hanya sekadar menceritakan sejarah, tetapi juga memberikan pelajaran berharga tentang keimanan, prasangka, dan konsekuensi dari pendustaan terhadap wahyu.
"Orang-orang Yahudi berkata: 'Tangan Allah terbelenggu.' Tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dikutuk karena apa yang mereka katakan." (QS. An-Nisa [4]: 153)
Ayat ini mengawali dengan ungkapan yang sangat menyakitkan dan menghujat dari kaum Yahudi: "Tangan Allah terbelenggu." Pernyataan ini menunjukkan sebuah kesalahpahaman yang fundamental dan penolakan terhadap sifat kesempurnaan Allah SWT. Dalam keyakinan Islam, Allah SWT memiliki kekuasaan yang mutlak, tidak terbatas, dan tidak terbelenggu. Segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya, dan kekuasaan-Nya mencakup segala sesuatu.
Dalam tafsir para ulama, ungkapan "tangan Allah terbelenggu" memiliki beberapa makna mendalam. Ada yang mengartikan bahwa mereka menuduh Allah kikir, tidak memberikan rezeki kepada mereka, atau tidak menolong mereka dalam menghadapi musuh. Ada pula yang menafsirkannya sebagai bentuk ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan dan keadilan Allah. Dengan mengatakan tangan Allah terbelenggu, mereka seolah-olah ingin membatasi atau menyamakan Allah dengan makhluk ciptaan-Nya yang memiliki keterbatasan.
Respon Allah SWT dalam ayat tersebut sangat tegas: "Tangan merekalah yang terbelenggu dan merekalah yang dikutuk karena apa yang mereka katakan." Ini adalah sebuah penegasan bahwa sifat keterbatasan yang mereka tuduhkan kepada Allah, justru berbalik menimpa diri mereka sendiri. Keterbelengguan tangan mereka merujuk pada keterbatasan pemahaman, kekufuran, keengganan untuk beriman, dan terkekangnya mereka dalam keburukan prasangka dan kebohongan.
Ucapan kaum Yahudi ini bukan sekadar celaan biasa, melainkan puncak dari penolakan mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh para nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW. Mereka telah diingatkan berkali-kali melalui kitab-kitab suci mereka dan tanda-tanda kenabian, namun mereka memilih untuk menolak dan bahkan memutarbalikkan fakta. Oleh karena itu, Allah SWT mengutuk mereka. Kutukan di sini bisa diartikan sebagai dijauhkannya mereka dari rahmat Allah, terhalangnya mereka dari kebaikan, dan terperosoknya mereka ke dalam kehinaan.
Lebih jauh lagi, ayat ini mengajarkan kita tentang bahaya berprasangka buruk terhadap Allah SWT. Dalam situasi apa pun, seorang mukmin diperintahkan untuk tetap berbaik sangka kepada Tuhannya. Keyakinan bahwa Allah Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Bijaksana adalah fondasi keimanan yang kokoh. Sebaliknya, menisbatkan kekurangan atau keterbatasan kepada Allah adalah bentuk kekufuran yang sangat tercela.
Sejarah kaum Yahudi yang tercatat dalam Al-Qur'an menjadi pelajaran penting bagi umat Islam. Meskipun mereka pernah mendapatkan keistimewaan sebagai ahli kitab dan penerima wahyu sebelumnya, kesombongan, kedengkian, dan kekeraskepalaan mereka membuat mereka kehilangan anugerah tersebut. Mereka menolak nabi terakhir, mengubah kitab suci mereka, dan enggan menerima kebenaran.
Pelajaran yang dapat dipetik dari An-Nisa ayat 153 ini adalah:
Ayat ini menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa menjaga lisan dan hati dari segala bentuk prasangka buruk dan penolakan terhadap ajaran Allah. Mari kita renungkan makna An-Nisa ayat 153 ini agar keimanan kita semakin kokoh dan kita senantiasa berada dalam lindungan serta rahmat-Nya.