Visualisasi abstrak yang merepresentasikan makna kontemplasi dan pencerahan.
Surat An Nisa, ayat 43 hingga 50, merupakan bagian penting dari Al-Qur'an yang memberikan panduan mendalam mengenai etika, moralitas, dan hukum dalam kehidupan seorang Muslim. Ayat-ayat ini secara khusus membahas tentang pentingnya menjaga diri dari perbuatan dosa, serta memberikan peringatan tegas terkait larangan minuman keras dan implikasinya. Memahami makna di balik ayat-ayat ini sangat krusial untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjalani kehidupan sesuai tuntunan-Nya.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...
Ayat ini memberikan larangan keras untuk mendekati shalat dalam keadaan mabuk. Meskipun secara harfiah disebutkan larangan mendekati shalat, makna tersiratnya adalah larangan meminum minuman keras secara umum. Hal ini dikarenakan minuman keras dapat menghilangkan akal sehat, merusak pikiran, dan menyebabkan seseorang tidak mampu memahami perkataan, apalagi perkataan suci dalam shalat. Keterangan lanjutan dalam ayat ini, "sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan," menekankan pentingnya kesadaran penuh saat beribadah. Ketika seseorang mabuk, ia kehilangan kendali diri, ucapan dan tindakannya bisa tidak terkontrol, bahkan mungkin mengucapkan hal-hal yang tidak pantas atau bertentangan dengan ajaran agama. Oleh karena itu, menjaga akal dari segala sesuatu yang memabukkan adalah kewajiban bagi setiap Muslim untuk dapat beribadah dengan khusyuk dan benar.
...dan (jangan pula mendekati shalat) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu di perjalanan, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak mendapati air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Bagian kedua dari ayat 43 ini menjelaskan tentang kondisi junub dan cara bersuci dari hadas besar. Seorang Muslim yang dalam keadaan junub (setelah berhubungan badan atau mimpi basah) dilarang mendekati shalat hingga ia mandi wajib. Namun, ada pengecualian bagi musafir yang sekadar melewati tempat shalat tanpa bermaksud untuk menunaikan shalat di situ. Ayat ini juga menunjukkan kemudahan dari Allah dengan memberikan solusi tayamum sebagai pengganti wudhu atau mandi wajib ketika tidak ada air, baik karena sakit, bepergian, atau kondisi lainnya. Hal ini menegaskan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan, bukan mempersulit umatnya. Keringanan dalam bersuci menunjukkan kasih sayang dan keleluasaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya.
(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir, serta menyembunyikan karunia Allah yang telah dianugerahkan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir itu siksaan yang menghinakan.
Meskipun ayat ini adalah ayat 37, seringkali pembahasan tentang etika sosial dalam surat An Nisa berkesinambungan, dan pemahaman ayat 37 ini penting dalam konteks anjuran untuk berinfak dan menjaga diri dari sifat tercela. Ayat ini mengutuk keras sifat kikir, baik yang ditunjukkan pada diri sendiri maupun yang diajarkan kepada orang lain. Kikir adalah sifat yang sangat dibenci Allah, karena menghalangi seseorang untuk berbuat baik, bersedekah, dan menolong sesama. Orang yang kikir cenderung menyembunyikan nikmat dan karunia yang telah diberikan Allah kepadanya, seolah-olah ia tidak membutuhkan pertolongan Allah di masa depan. Sifat ini dikaitkan dengan kekafiran karena menunjukkan ketidakpercayaan pada balasan Allah dan kepedulian terhadap sesama.
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia, dan tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian. Dan barangsiapa dijadikan syaitan temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.
Berbeda dengan kikir, ayat 38 ini menyoroti sisi lain dari pengeluaran harta, yaitu niat yang tidak ikhlas. Berinfak karena riya' (ingin dipuji manusia) tanpa dilandasi keimanan kepada Allah dan hari akhirat, adalah perbuatan yang sia-sia di sisi Allah. Bahkan, Allah mengaitkan orang semacam ini dengan syaitan sebagai temannya. Ini menunjukkan betapa pentingnya niat yang tulus dalam setiap amal perbuatan, terutama dalam beribadah dan berinfak. Segala sesuatu yang dilakukan hanya untuk mendapatkan pujian duniawi akan berakhir sia-sia dan tidak mendatangkan pahala dari Allah.
Dan apakah kerugian mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah Allah berikan kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.
Ayat 39 ini memberikan pertanyaan retoris yang menyentil hati orang-orang yang enggan berinfak dan beriman. Allah seolah bertanya, "Apa ruginya bagi mereka jika mereka beriman kepada Allah dan hari kiamat, serta menafkahkan sebagian rezeki yang telah Kami berikan?" Pertanyaan ini bertujuan untuk mengajak manusia merenungkan betapa sebenarnya beriman dan berinfak adalah kebaikan bagi diri mereka sendiri. Dengan beriman, mereka akan mendapatkan petunjuk dan kebahagiaan hakiki. Dengan berinfak, mereka akan mendapatkan balasan berlipat ganda dari Allah dan membersihkan harta mereka. Allah Maha Mengetahui segala niat dan perbuatan hamba-Nya, sehingga setiap kebaikan pasti akan dibalas dan setiap keburukan akan diperhitungkan.
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada seorang pun, sekecil apa pun. Dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
Ayat 40 ini menegaskan keadilan Allah yang mutlak. Allah tidak akan pernah menzalimi siapapun, bahkan sebesar atom terkecil sekalipun. Setiap kebaikan yang dilakukan sekecil apapun akan dilipatgandakan balasannya, dan dari sisi-Nya akan diberikan pahala yang sangat besar. Sebaliknya, keburukan sekecil apapun akan dihitung dan dibalas. Penegasan ini memberikan ketenangan dan harapan bagi orang-orang yang beriman, serta peringatan keras bagi mereka yang berbuat kejahatan. Ini adalah janji Allah yang pasti, yang mendorong setiap Muslim untuk senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi segala bentuk kezaliman.
Surat An Nisa ayat 43-50, beserta ayat-ayat yang melingkupinya, mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kesadaran diri, menghargai anugerah akal, dan menjauhi segala sesuatu yang dapat merusak keduanya, terutama minuman keras. Selain itu, ayat-ayat ini juga memberikan pelajaran berharga tentang etika berinfak, pentingnya niat yang ikhlas, keadilan Allah, serta anjuran untuk selalu berbuat baik. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran ini, diharapkan setiap Muslim dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih kebahagiaan dunia serta akhirat.