Menelisik Makna An-Nisa Ayat 65: Fondasi Toleransi dan Keimanan dalam Islam

Dalam lautan ajaran Islam yang luas, terdapat banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi pedoman hidup bagi umat Muslim. Salah satu ayat yang memiliki kedalaman makna dan relevansi abadi adalah Surah An-Nisa ayat 65. Ayat ini seringkali menjadi sumber perdebatan dan tafsir, namun jika dipahami secara utuh dan mendalam, ia justru menawarkan sebuah perspektif yang kuat mengenai toleransi, keimanan, dan hubungan antar sesama.

Ayat An-Nisa ayat 65 berbunyi:
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kau berikan, dan mereka menerima (putusan itu) dengan sepenuhnya."

Konteks Turunnya Ayat

Untuk memahami makna sebuah ayat, penting untuk mengetahui konteks sosial, historis, dan tematik di mana ayat tersebut diturunkan. Surah An-Nisa, yang berarti "Para Wanita," secara umum membahas tentang keluarga, hak-hak wanita, dan berbagai isu sosial yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat. Ayat 65 ini muncul dalam konteks yang menekankan pentingnya kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai pemutus perkara dan penerimaan umat terhadap kebijaksanaan serta keadilan yang beliau bawa. Pada masa awal Islam, seringkali terjadi perselisihan di antara kaum Muslimin, baik dalam urusan pribadi maupun sosial. Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai penengah dan hakim menjadi solusi yang diakui, bukan hanya karena otoritas kenabiannya, tetapi juga karena kejujuran dan kebijaksanaan yang melekat pada dirinya.

Fondasi Keimanan yang Sejati

Inti dari An-Nisa ayat 65 terletak pada frasa "Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka...". Pernyataan ini menegaskan bahwa keimanan yang sesungguhnya bukanlah sekadar pengakuan lisan, melainkan sebuah komitmen yang mendalam yang tercermin dalam tindakan dan sikap. Kualitas keimanan seseorang diuji ketika dihadapkan pada perselisihan. Apakah ia bersedia merujuk kepada ajaran dan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah SAW? Apakah ia menerima dengan lapang dada dan tanpa keraguan terhadap keputusan yang diambil berdasarkan wahyu dan kebijaksanaan beliau?

Ayat ini mengajarkan bahwa keimanan yang otentik menuntut penyerahan diri dan kepercayaan penuh kepada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, tidak hanya dalam urusan ibadah, tetapi juga dalam aspek muamalah atau interaksi sosial. Ini mencakup penerimaan terhadap hukum-hukum yang beliau sampaikan, baik yang bersifat teoretis maupun praktis dalam menyelesaikan konflik.

Toleransi dan Penerimaan Putusan

Lebih jauh, ayat ini memberikan penekanan pada aspek penerimaan: "...kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kau berikan, dan mereka menerima (putusan itu) dengan sepenuhnya." Ini adalah kunci penting yang seringkali disalahpahami. Penerimaan di sini bukan berarti kepatuhan buta atau hilangnya kehendak bebas. Sebaliknya, ini adalah wujud dari keyakinan bahwa apa yang diputuskan oleh Nabi Muhammad SAW adalah yang terbaik, adil, dan sejalan dengan kehendak Allah SWT.

Dalam konteks yang lebih luas, terutama pada era modern, ayat ini bisa diinterpretasikan sebagai anjuran untuk menciptakan sistem hukum dan penyelesaian sengketa yang berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan dan kebijaksanaan yang diwariskan oleh ajaran Islam. Ini juga mengajarkan tentang pentingnya toleransi dan sikap legowo dalam menghadapi perbedaan pendapat atau hasil keputusan, asalkan prosesnya telah melalui jalur yang sah dan adil.

Simbol keadilan dan kebijaksanaan yang sering diasosiasikan dengan ajaran Islam.

Relevansi Universal

Meskipun ayat ini secara spesifik merujuk pada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, prinsip dasar yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Ia mengajarkan bahwa setiap masyarakat yang ingin mencapai kedamaian dan stabilitas harus memiliki mekanisme penyelesaian sengketa yang terpercaya dan diterima oleh warganya. Kepercayaan pada sistem, kepatuhan pada aturan yang adil, dan kemampuan untuk menerima hasil dari proses tersebut adalah pilar penting dalam membangun harmoni sosial.

Dalam konteks global saat ini, di mana perbedaan pandangan dan konflik seringkali mewarnai interaksi antarbudaya dan antaragama, pemahaman mendalam terhadap An-Nisa ayat 65 dapat menjadi inspirasi. Ia mendorong kita untuk senantiasa mencari keadilan, bertindak bijaksana dalam menyelesaikan perselisihan, dan yang terpenting, memiliki hati yang terbuka untuk menerima kebenaran, apa pun bentuknya dan dari mana pun sumbernya, selama itu sejalan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.

Jadi, An-Nisa ayat 65 bukan hanya sekadar pedoman bagi umat Muslim dalam hubungan mereka dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, melainkan juga sebuah pengingat abadi akan pentingnya kepercayaan, penerimaan, dan komitmen terhadap keadilan sebagai fondasi utama dalam menjalani kehidupan bermasyarakat yang harmonis dan beriman.

🏠 Homepage