Surat An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surat Madaniyah terpanjang dalam Al-Qur'an. Ayat 1 hingga 5 dari surat ini menjadi pondasi penting yang membentangkan berbagai prinsip fundamental dalam ajaran Islam, mencakup keesaan Tuhan, hubungan antar manusia, serta tanggung jawab terhadap keluarga dan masyarakat. Ayat-ayat ini tidak hanya memberikan panduan moral, tetapi juga menegaskan kerangka hukum dan sosial yang adil bagi seluruh umat manusia.
"Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An-Nisa: 1)
Ayat pertama An-Nisa langsung menegaskan dua pilar utama Islam: tauhid (keesaan Allah) dan persaudaraan universal. Dimulai dengan perintah untuk bertakwa kepada Allah, ayat ini mengingatkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Adam. Dari Adam, Allah menciptakan Hawa sebagai pasangannya, dan dari keduanya lahirlah keturunan manusia yang beragam. Penegasan asal usul tunggal ini menekankan bahwa semua manusia adalah saudara dan tidak ada perbedaan ras, suku, atau etnis yang menjadi dasar superioritas. Ini adalah fondasi bagi kesetaraan dan penghapusan diskriminasi. Ayat ini juga menekankan pentingnya menjaga hubungan silaturahmi dan menggunakan nama Allah dalam setiap sumpah atau permintaan, menunjukkan betapa eratnya hubungan vertikal (dengan Allah) dan horizontal (sesama manusia).
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (hak-hak) mereka, jangan kamu menukar (yang baik) dengan (yang buruk) dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar." (QS. An-Nisa: 2)
Melanjutkan dari tema tanggung jawab, ayat kedua menggarisbawahi pentingnya memperlakukan anak yatim dengan adil. Konteks sosial pada masa turunnya Al-Qur'an menunjukkan bahwa anak yatim seringkali menjadi kelompok yang paling rentan dan terlantar. Islam hadir dengan ajaran untuk memberikan hak-hak mereka, menjaga harta mereka agar tidak dicampur atau dimakan secara tidak adil. Larangan menukar harta baik dengan harta buruk menegaskan keharusan menjaga kualitas harta anak yatim. Ayat ini merupakan panggilan moral dan sosial yang kuat untuk melindungi kaum lemah dan memastikan masa depan mereka terjamin.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan (yatim) bila kamu mengawininya, maka (kawinilah) wanita-wanita lain yang kamu senangi dua (dua), tiga (tiga) atau empat (empat). Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berlaku aniaya." (QS. An-Nisa: 3)
Ayat ketiga memberikan panduan mengenai pernikahan, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan mengenai poligami. Ayat ini menjadi relevan terutama dalam konteks perlindungan terhadap perempuan, termasuk perempuan yatim yang mungkin memiliki harta warisan. Islam membolehkan seorang pria untuk menikahi hingga empat wanita, namun dengan syarat yang sangat ketat, yaitu kemampuan untuk berlaku adil kepada mereka semua. Ayat ini secara eksplisit menyatakan bahwa jika seorang pria tidak mampu berlaku adil, maka menikahi satu wanita saja adalah pilihan yang lebih baik dan lebih dekat kepada keadilan. Penekanan pada keadilan ini menunjukkan bahwa syariat Islam selalu mengutamakan kesejahteraan dan hak-hak semua pihak, terutama yang lebih rentan.
"Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai suatu pemberian yang diwajibkan. Jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) dia (pemberian itu) sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa: 4)
Masih dalam konteks pernikahan, ayat keempat menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberikan mahar (maskawin) kepada istrinya. Mahar adalah hak mutlak istri dan merupakan simbol penghargaan serta ikatan awal pernikahan. Ayat ini menekankan bahwa mahar harus diberikan sebagai bentuk kewajiban yang tulus. Jika sang istri dengan sukarela menyerahkan sebagian atau seluruh maharnya kembali kepada suami, maka suami boleh menerimanya dengan rasa syukur, karena hal itu adalah pemberian yang halal dan baik. Ini mengajarkan pentingnya menghormati hak-hak istri dalam sebuah pernikahan.
"Dan janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (yang ada dalam kekuasaan)mu yang dijadikan Allah sebagai pokok mata pencaharianmu, tetapi berilah mereka belanja dari (hasil) harta itu dan pakaikanlah mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik." (QS. An-Nisa: 5)
Ayat kelima melanjutkan penekanan pada tanggung jawab terhadap anak yatim, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan harta mereka ketika mereka belum mencapai usia dewasa atau belum cakap mengurus harta. Allah menjadikan harta tersebut sebagai penopang kehidupan bagi pengelola (wali) dan juga bagi anak yatim. Para wali diperintahkan untuk mengelola harta tersebut dengan jujur, memberikan kebutuhan pokok, pakaian, dan perkataan yang baik kepada anak yatim. Mereka tidak boleh mengambil harta tersebut untuk kepentingan pribadi secara sembarangan, melainkan harus tetap menjaga kualitas dan keberkahannya. Ayat ini menegaskan prinsip akuntabilitas dan amanah dalam pengelolaan harta kaum yang belum mampu mengurus dirinya sendiri.
Ayat 1-5 dari Surat An-Nisa adalah permulaan yang sangat fundamental dalam pemahaman Islam. Ayat-ayat ini tidak hanya berbicara tentang ibadah kepada Allah, tetapi juga tentang bagaimana membangun masyarakat yang berkeadilan, harmonis, dan penuh kasih sayang. Dengan menekankan asal usul yang sama, pentingnya takwa, keadilan dalam pernikahan, kewajiban mahar, dan perlindungan terhadap kaum yang rentan seperti anak yatim, Islam memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk kehidupan pribadi dan sosial. Pemahaman mendalam terhadap ayat-ayat ini menjadi kunci untuk mengaplikasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan tatanan yang lebih baik bagi diri sendiri dan masyarakat luas.