Surat An-Nisa merupakan salah satu surat Madaniyah yang paling banyak membahas hukum-hukum keluarga dalam Islam. Di dalamnya terdapat berbagai aturan dan pedoman yang mengatur hubungan antarindividu, terutama dalam konteks pernikahan, waris, dan hak-hak perempuan. Salah satu ayat yang memiliki makna mendalam dan sering menjadi rujukan dalam pembahasan hukum pernikahan adalah An-Nisa ayat 24. Ayat ini secara tegas melarang beberapa jenis hubungan, termasuk pernikahan dengan wanita pezina dan pria musyrik.
Ayat ini seringkali dibaca secara ringkas dan menimbulkan beberapa pertanyaan mengenai makna dan implikasinya. Penting untuk memahami konteks turunnya ayat serta tafsir dari para ulama untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Ayat ini berbicara tentang dua larangan utama yang saling terkait: larangan menikahi wanita pezina dan larangan menikahi pria musyrik, serta pelarangan wanita mukminah untuk dinikahi oleh pria pezina dan sebaliknya.
Bagian pertama dari ayat ini, "Dan (diharamkan) wanita-wanita yang berzina dan para lelaki musyrikin...", secara umum merujuk pada pelarangan bagi pria mukmin untuk menikahi wanita yang dikenal melakukan zina. Hal ini menunjukkan betapa Islam sangat menjaga kesucian lembaga pernikahan dan nasab keturunan. Pernikahan adalah fondasi keluarga yang harus dibangun di atas kesucian dan kehormatan.
Demikian pula, pelarangan untuk menikahi pria musyrik (dalam konteks ayat ini, merujuk pada pria yang belum memeluk Islam atau masih dalam kekafiran). Islam sangat menekankan pentingnya kesamaan akidah dalam pernikahan. Pernikahan antara seorang Muslim dengan non-Muslim, terutama yang tidak menganut agama samawi (Yahudi dan Nasrani) dan apalagi yang musyrik, dipandang dapat menimbulkan berbagai masalah, baik dari sisi keyakinan, moral, maupun dalam pembentukan rumah tangga yang Islami. Islam ingin memastikan bahwa institusi pernikahan dapat menjadi sarana untuk menegakkan nilai-nilai tauhid dan syariat.
Ayat ini kemudian dilanjutkan dengan penegasan: "...dan perempuan-perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina pun diharamkan atas laki-laki mukmin dan perempuan mukmin." Penafsiran klasik dari bagian ini adalah bahwa pria mukmin tidak boleh menikahi wanita pezina, dan wanita mukminah tidak boleh dinikahi oleh pria pezina.
Beberapa ulama menafsirkan bahwa larangan ini berlaku bagi mereka yang masih dalam keadaan berzina, baik pria maupun wanita. Artinya, jika seorang pria atau wanita mukmin masih melakukan perzinaan, maka mereka tidak layak atau diharamkan untuk dinikahi oleh sesama mukmin sampai mereka bertaubat. Ini adalah bentuk hukuman sosial dan juga dorongan agar individu yang melakukan dosa besar segera kembali ke jalan yang benar.
Namun, ada juga penafsiran lain yang lebih luas, yaitu bahwa larangan ini bersifat umum berlaku untuk wanita pezina dan pria pezina. Artinya, seorang wanita yang telah terbukti berzina tidak layak dinikahi oleh seorang pria mukmin, dan sebaliknya, seorang pria pezina tidak layak dinikahi oleh seorang wanita mukminah. Tujuannya adalah untuk menjaga kemurnian keluarga Muslim dan mencegah penyebaran perilaku buruk.
Hikmah di balik pelarangan ini sangatlah jelas. Islam sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesucian, kehormatan, dan keturunan. Pernikahan adalah ikatan yang sakral dan merupakan media untuk membangun generasi yang sholeh dan sholehah. Dengan adanya larangan ini, umat Islam didorong untuk senantiasa menjaga diri dari perbuatan zina dan kekafiran, serta memilih pasangan hidup yang memiliki kesamaan dalam akidah dan moralitas.
Dalam konteks modern, ayat ini juga mengingatkan pentingnya menjaga pandangan dan pergaulan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan dosa. Keharaman ini bukan semata-mata sebagai hukuman, tetapi juga sebagai bentuk perlindungan bagi individu dan masyarakat dari dampak negatif perzinahan dan penyimpangan akidah.
Penting untuk dicatat bahwa pelarangan ini berimplikasi pada status seseorang. Seseorang yang melakukan zina dan belum bertaubat tidak dianjurkan, bahkan bisa dilarang, untuk dinikahi oleh orang mukmin. Ini menekankan pentingnya pertobatan dan perbaikan diri sebelum memasuki jenjang pernikahan.
An-Nisa ayat 24 mengajarkan kepada kita untuk selalu selektif dalam memilih pasangan hidup. Pasangan yang baik adalah yang memiliki iman yang kuat, akhlak mulia, dan bebas dari dosa-dosa besar yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga. Dengan memahami ayat ini secara mendalam, diharapkan umat Islam dapat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, yang menjadi pondasi masyarakat yang kuat dan beradab.