Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surah Madaniyah yang terpanjang dalam Al-Qur'an. Surah ini banyak membahas tentang hukum-hukum keluarga, hak-hak wanita, dan juga persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan. Dalam rentang ayat 51 hingga 60, Allah SWT menurunkan firman-Nya yang memiliki kedalaman makna luar biasa, memberikan panduan mengenai keimanan, penolakan terhadap kebathilan, serta perintah untuk senantiasa berada di jalan kebenaran.
Ayat-ayat awal dalam rentang ini, yaitu An-Nisa ayat 51 dan 52, secara tegas berbicara tentang penolakan terhadap peribadatan kepada selain Allah SWT. Allah SWT berfirman:
Ayat ini mengecam orang-orang Yahudi dan Nasrani (diberi sebagian dari Al-Kitab) yang pada hakikatnya tidak sepenuhnya mengikuti ajaran kitab suci mereka, bahkan cenderung menyimpang. Mereka mengimani Jibt (sesuatu yang batil, seperti sihir, berhala, atau kepercayaan tahayul) dan Thaghut (segala sesuatu yang disembah selain Allah SWT, termasuk setan, pemimpin kejahatan, atau undang-undang yang menyimpang dari syariat). Lebih parah lagi, mereka menyanjung orang-orang kafir, menyebut jalan mereka lebih baik daripada jalan orang-orang beriman. Ini menunjukkan kegagalan mereka dalam memahami makna keimanan yang sesungguhnya.
Kemudian Allah SWT melanjutkan pada ayat 52:
Ayat ini menegaskan konsekuensi dari kekafiran dan penolakan terhadap kebenaran. Orang-orang yang memiliki sifat seperti yang disebutkan di ayat sebelumnya akan mendapatkan laknat dari Allah SWT. Laknat Allah berarti dijauhkan dari rahmat-Nya. Dan ketika seseorang dijauhkan dari rahmat Allah, maka tidak ada pertolongan lain yang bisa menyelamatkannya, baik dari diri sendiri maupun dari makhluk lain.
Selanjutnya, ayat 53 hingga 56 membahas lebih dalam mengenai bentuk-bentuk kekafiran dan ancaman azab yang menanti mereka yang mendustakan kebenaran.
Ayat 53 menjelaskan bagaimana mereka merampas hak orang lain, bahkan dengan menggunakan dalih kepemilikan ilahi:
Ayat ini menyindir keangkuhan mereka yang seolah-olah memiliki hak istimewa. Jika mereka memiliki kekuasaan mutlak, mereka tidak akan pernah mau berbagi atau memberikan sedikit pun kebaikan kepada orang lain. Ini adalah gambaran sifat keserakahan dan kezaliman yang seringkali menyertai kekafiran.
Ayat 54 dan 55 kemudian merinci bentuk-bentuk kedurhakaan mereka terhadap nikmat Allah:
Allah SWT mengingatkan bahwa mereka memiliki rasa dengki terhadap orang-orang yang dianugerahi kelebihan oleh Allah, baik itu ilmu, harta, atau kedudukan. Padahal, Allah telah memberikan karunia yang besar kepada keluarga Nabi Ibrahim AS, berupa kitab suci dan kebijaksanaan (hikmah), serta kekuasaan yang besar. Nikmat yang diberikan kepada mereka seharusnya menjadi sumber rasa syukur, bukan kedengkian.
Ayat 55 menegaskan bahwa sebagian dari mereka menolak kebenaran secara terang-terangan:
Ada yang menerima kebenaran, namun banyak pula yang menolaknya dan bahkan berupaya menghalangi orang lain untuk menerimanya. Bagi mereka yang menolak dan menghalangi kebenaran, Allah SWT telah menyiapkan balasan yang pedih, yaitu neraka Jahanam.
Ayat 56 melanjutkan ancaman azab yang lebih konkret:
Ayat ini menggambarkan secara mengerikan siksaan di neraka. Kulit mereka akan terus-menerus dibakar dan diganti dengan kulit baru agar mereka merasakan siksaan yang tak berkesudahan. Ini adalah gambaran azab yang sangat pedih sebagai balasan bagi kekafiran yang mendalam.
Bagian akhir dari rentang ayat ini, yaitu 57 hingga 60, memberikan gambaran yang lebih luas mengenai balasan yang akan diterima oleh manusia, baik yang beriman maupun yang durhaka, serta penegasan tentang keadilan Allah SWT.
Ayat 57 menjelaskan balasan bagi orang-orang yang kafir:
Setelah menggambarkan azab neraka bagi orang kafir, ayat ini beralih kepada balasan yang sangat kontras bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Mereka akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh kenikmatan, di mana sungai-sungai mengalir, kekal selamanya, dan memiliki pasangan-pasangan yang suci. Naungan surga yang teduh menjadi simbol ketenangan dan kebahagiaan abadi.
Ayat 58 dan 59 berbicara tentang prinsip keadilan Allah dalam membalas amal perbuatan:
Ayat ini mengajarkan dua prinsip penting: pertama, menunaikan amanat kepada pemiliknya; kedua, menegakkan hukum dengan adil di antara manusia. Allah SWT memerintahkan agar setiap hak dikembalikan kepada pemiliknya, dan setiap keputusan hukum harus didasarkan pada keadilan. Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, sehingga setiap perbuatan akan diperhitungkan.
Ayat ini memberikan pedoman dalam bersikap dan mengambil keputusan. Prioritas utama adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika timbul perselisihan, penyelesaiannya harus dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa setiap tindakan dan keputusan selaras dengan ajaran Islam, serta akan membawa kebaikan dan akibat yang terpuji.
Terakhir, ayat 60 merangkum inti dari penolakan terhadap ajaran yang diturunkan Allah:
Ayat ini kembali menyoroti kemunafikan sebagian orang yang mengaku beriman, namun dalam praktiknya justru mencari penyelesaian hukum kepada Thaghut (sistem atau penguasa yang menyimpang dari syariat). Padahal, mereka telah diperintahkan untuk mengingkari dan menolak sistem tersebut. Setan senantiasa berusaha menyesatkan manusia dengan janji-janji palsu yang pada akhirnya hanya akan membawa penyesalan.
Surah An-Nisa ayat 51-60 memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya keimanan yang murni kepada Allah SWT, menolak segala bentuk kemusyrikan dan kekafiran, serta menegakkan keadilan dan kebenaran. Ayat-ayat ini menjadi pengingat yang kuat agar senantiasa merujuk pada Al-Qur'an dan Sunnah dalam setiap aspek kehidupan, serta berhati-hati terhadap godaan setan yang senantiasa berupaya menyesatkan umat manusia dari jalan kebenaran.