Menggali Makna An Nisa Ayat 65: Landasan Keyakinan dan Keteguhan Iman

Dalam samudra ajaran Islam yang luas, terdapat ayat-ayat Al-Qur'an yang menjadi kompas kehidupan, memberikan petunjuk, dan menguatkan keyakinan umat. Salah satu ayat yang sarat makna dan memiliki kedudukan penting dalam membentuk pribadi Muslim yang tangguh adalah Surah An Nisa ayat 65. Ayat ini tidak hanya menegaskan tentang keesaan Allah sebagai penolong utama, tetapi juga menyingkap realitas kemunafikan dan pentingnya keimanan yang murni.

Ilustrasi abstrak simbol kepercayaan الله

Surah An Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan surah Madaniyah yang membahas berbagai aspek hukum dan sosial, termasuk hak-hak wanita, pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah kemasyarakatan lainnya. Dalam konteks ini, ayat 65 hadir sebagai pengingat mendasar tentang sumber kekuatan sejati seorang Mukmin.

Teks Arab dan Terjemahannya

Ayat yang menjadi fokus kita adalah:

فَوَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam persoalan yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak menemukan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima (putusan) itu dengan sepenuhnya.

Ayat ini dibuka dengan sumpah Allah yang tegas, "Maka demi Tuhanmu," untuk menekankan betapa pentingnya keimanan yang sesungguhnya. Sumpah ini bukan sekadar retorika, melainkan penegasan akan kebenaran mutlak yang terkandung di dalamnya. Allah bersumpah dengan Dzat-Nya sendiri untuk meyakinkan umat manusia bahwa keimanan sejati tidak dapat dicapai kecuali dengan memenuhi kriteria yang disebutkan dalam ayat tersebut.

Tiga Pilar Keimanan yang Diisyaratkan

An Nisa ayat 65 menguraikan tiga pilar utama yang menjadi tolok ukur keimanan seseorang:

  1. Menjadikan Rasulullah sebagai Hakim: Pilar pertama adalah kesediaan untuk menjadikan ajaran dan keputusan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai sumber hukum dan rujukan utama dalam setiap perselisihan yang timbul di antara mereka. Ini mencakup semua aspek kehidupan, baik urusan pribadi, keluarga, sosial, maupun ekonomi. Ketaatan kepada Rasulullah adalah manifestasi dari ketaatan kepada Allah, sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur'an. Menolak atau meragukan hukum yang dibawa oleh Rasulullah sama saja dengan menolak kebenaran dari Allah.
  2. Tidak Adanya Keberatan dalam Hati: Pilar kedua adalah ketidakadaan rasa keberatan atau keresahan dalam hati terhadap keputusan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah. Ini bukan sekadar menerima secara lahiriah, tetapi penerimaan yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam. Keimanan yang benar akan menumbuhkan rasa lapang dada dan ketenangan ketika hukum Allah dan Rasul-Nya dijalankan, meskipun terkadang keputusan tersebut tidak sesuai dengan keinginan atau hawa nafsu pribadi. Ketidakpuasan atau rasa berat hati menunjukkan adanya penyakit dalam keimanan.
  3. Penerimaan yang Sepenuhnya (Tasliman): Pilar ketiga adalah penyerahan diri secara total dan penuh terhadap ketetapan hukum tersebut. Kata "tasliman" dalam ayat ini mengandung makna kepasrahan yang mutlak. Umat Muslim diperintahkan untuk tidak hanya menerima, tetapi juga berserah diri sepenuhnya, tanpa syarat, dan tanpa mencari-cari alasan atau celah untuk menolaknya. Ini adalah bentuk pengakuan tertinggi atas ke Maha Benaran dan kebijaksanaan Allah serta Rasul-Nya.

Ayat ini secara implisit juga menyingkap fenomena kemunafikan. Orang-orang munafik seringkali menunjukkan kepatuhan secara lisan, namun dalam hati mereka terdapat keraguan, kebencian, atau bahkan penolakan terhadap hukum Allah dan Rasul-Nya. Mereka mungkin menerima sebagian hukum yang sesuai dengan keinginan mereka, tetapi menolak atau mencari-cari alasan untuk tidak menerapkan hukum yang lain. An Nisa ayat 65 menegaskan bahwa keimanan yang sejati tidak membedakan antara satu ajaran dengan ajaran lainnya; semuanya diterima dan diamalkan.

Implikasi dan Refleksi

Memahami Surah An Nisa ayat 65 memberikan pelajaran berharga bagi setiap Muslim. Di era modern yang penuh dengan tantangan dan godaan, ayat ini menjadi pengingat untuk senantiasa mengembalikan segala urusan kepada Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam menghadapi perbedaan pendapat, tekanan sosial, atau godaan duniawi, prinsip untuk menjadikan Rasulullah sebagai hakim, meyakini dengan lapang dada, dan berserah diri sepenuhnya harus senantiasa tertanam kuat dalam jiwa.

Lebih dari sekadar pemahaman teoritis, ayat ini menuntut aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita menyikapi kebijakan pemerintah yang bersumber dari syariat? Bagaimana kita menyelesaikan perselisihan dalam keluarga atau di tengah masyarakat? Bagaimana kita merespons informasi yang beredar di media sosial yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai Islam? Semua pertanyaan ini mengarah pada ujian keimanan yang sama, yaitu sejauh mana kita benar-benar menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai rujukan utama.

Pada akhirnya, An Nisa ayat 65 adalah seruan untuk mencapai derajat keimanan yang murni dan kokoh. Keimanan yang tidak hanya diucapkan di lidah, tetapi terwujud dalam tindakan, diterima dengan hati yang lapang, dan dijalani dengan penyerahan diri yang total. Dengan demikian, kita akan senantiasa berada di bawah naungan rahmat dan pertolongan Allah.

🏠 Homepage