Nasrudin Hoja, atau dikenal juga sebagai Mullah Nasruddin, adalah sosok legendaris yang kisahnya tersebar luas di Timur Tengah, Asia Tengah, dan dunia Islam. Ia bukan sekadar pelawak atau tukang cerita; ia adalah seorang filosof yang menyamarkan pelajaran hidup yang mendalam dalam balutan humor sederhana dan terkadang absurd. Anekdotnya sering kali berfungsi sebagai cermin yang merefleksikan kebodohan manusia, kesombongan, dan cara pandang yang terlalu kaku terhadap kehidupan.
Melalui dialog singkat dan situasi yang konyol, Hoja berhasil menyampaikan kebijaksanaan yang abadi. Mari kita selami beberapa kisah terkenal yang menunjukkan sisi jenius dari karakter yang sering dianggap bodoh ini.
Suatu hari, Nasrudin Hoja membeli sepasang sepatu baru yang sangat indah. Ia sangat bangga dan ingin segera mengenakannya. Ketika sampai di masjid untuk shalat Jumat, ia melepas sepatunya di depan pintu, seperti kebiasaan.
Namun, setelah selesai shalat dan bergegas kembali, sepatu barunya telah hilang dicuri orang. Dengan wajah cemberut, Hoja berjalan pulang tanpa alas kaki.
Di tengah jalan, ia melihat sepasang sepatu lain yang sedikit lebih kecil dan tampak lusuh. Ia mengambilnya dan melanjutkan perjalanan. Beberapa langkah kemudian, ia melihat sepatu yang lebih besar dan lebih baik tergeletak di pinggir jalan. Ia menukar sepatu kedua yang lusuh itu dengan sepatu yang lebih baik.
Tiba-tiba, ia melihat sepasang sepatu lain yang sangat bagus tergeletak di dekat pohon. Hoja menukar sepatu yang ia pegang dengan yang bagus itu.
Saat ia tiba di rumah, istrinya bertanya, "Hoja, sepatu baru yang kamu banggakan mana? Mengapa kamu pulang membawa sepatu jelek ini?"
Hoja menjawab dengan santai, "Sayangku, aku hanya mengikuti pelajaran Jumat tadi. Orang itu berkata: 'Barangsiapa mengambil barang saudaranya, hendaklah ia mengembalikannya dengan yang lebih baik.' Jadi, aku terus menukar sepatu sampai aku mendapatkan yang paling buruk!"
Nasrudin Hoja memutuskan untuk menjual keledainya yang sudah tua. Seorang pembeli datang dan bertanya, "Hoja, apakah keledaimu ini mau mendengarkan perintah?"
Hoja menjawab, "Tentu saja! Keledai ini sangat pintar. Jika aku berkata, 'Keledai, duduk!' ia akan duduk. Jika aku berkata, 'Keledai, berdiri!' ia akan berdiri."
Pembeli itu tertarik dan mencoba menguji. "Baiklah, duduklah!" pinta pembeli pada keledai itu.
Keledai itu diam saja. Pembeli mengulang perintahnya, namun keledai tetap diam. Kecewa, pembeli itu berkata, "Hoja, kau menipuku! Keledai ini tidak mau duduk!"
Hoja tersenyum bijak. "Saya tidak menipu. Keledai ini memang pintar, tetapi ia hanya mau mendengarkan perintah dari tuannya sendiri!"
Suatu pagi, Nasrudin Hoja terlihat sangat sibuk di halaman rumahnya, memandikan keledainya dengan air sabun yang banyak. Tetangganya yang lewat terkejut melihat pemandangan itu.
"Hoja, apa yang kau lakukan? Bukankah keledai tidak perlu dimandikan sesering ini?" tanya tetangganya.
Hoja menghela napas. "Aku tahu keledai tidak perlu dimandikan sesering ini. Tapi, aku harus memastikan ia bersih sebelum aku menaikinya."
"Mengapa begitu khusus hari ini?" desak tetangga.
Hoja menjawab dengan nada serius, "Aku harus pergi ke desa sebelah untuk menghadiri sebuah acara penting. Aku tidak ingin orang di desa sebelah melihatku menunggang keledai yang kotor, karena itu akan membuat mereka berpikir aku adalah orang yang jorok."
Tetangga itu bingung. "Tapi Hoja, mereka akan lebih terkejut melihatmu memandikan keledai dengan sabun setiap pagi!"
Hoja tertawa kecil. "Itulah gunanya kebijaksanaan, kawan. Lebih baik aku terlihat sedikit aneh hari ini daripada terlihat jorok selamanya."
Anekdot Nasrudin Hoja selalu memiliki lapisan makna yang mendalam. Mereka mengajarkan kita untuk tidak terlalu serius, untuk mempertanyakan asumsi, dan untuk melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda. Hoja adalah cerminan dari kebijaksanaan yang tidak terlihat. Ia menggunakan kebodohan yang dipersepsikan untuk menyoroti kebodohan yang sebenarnya dimiliki oleh orang-orang di sekitarnya. Kisah-kisahnya terus relevan karena masalah-masalah tentang ego, kesombongan, dan cara pandang manusia tetap sama dari masa ke masa.