Ilustrasi: Semangat Menunggu Berbuka
Bulan Ramadan adalah momen sakral penuh berkah, namun tak bisa dipungkiri, ada saja momen-momen ringan dan lucu yang menyertainya. Kelelahan menahan lapar dan dahaga seringkali memicu hal-hal absurd yang kemudian menjadi cerita legendaris di meja makan keluarga. Anekdot puasa adalah bumbu penyedap yang membuat perjalanan spiritual kita terasa lebih ringan.
Salah satu keluhan paling umum saat puasa adalah sensasi waktu yang bergerak sangat lambat, terutama menjelang Maghrib. Ada kisah tentang seorang mahasiswa bernama Dani yang terkenal sangat lapar saat berpuasa. Suatu sore, ia duduk di depan televisi, menonton jam digital yang menunjukkan pukul 17:45. Karena saking penasarannya, ia meletakkan jam tangan digitalnya persis di samping jam di televisi.
"Tunggu sebentar," kata Dani kepada temannya, "Aku ingin memastikan jam ini tidak berbohong." Lima menit kemudian, ia terkejut melihat kedua jam tersebut masih menunjukkan pukul 17:45. Ia panik, mengira jamnya rusak, lalu berteriak, "Ya Allah! Maghribnya tertunda! Jamnya macet di lima empat puluh lima!" Temannya hanya bisa menepuk jidat, menyadari bahwa yang macet bukan jamnya, melainkan fokus Dani yang terlalu terobsesi pada waktu berbuka.
Kondisi "halusinasi waktu" ini sangat umum terjadi. Otak yang kekurangan glukosa cenderung lebih fokus pada hal-hal yang bersifat mendesak, dan bagi yang sedang berpuasa, berbuka adalah prioritas tertinggi. Fenomena ini sering diwarnai dengan drama-drama kecil di kantor atau sekolah, di mana orang pura-pura sibuk mengetik atau membaca hanya agar tidak terlihat sedang melamun menatap langit.
Sahur adalah kunci agar puasa hari itu lancar. Namun, karena seringkali dilakukan dalam kondisi setengah sadar (sebelum subuh), kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Ada anekdot tentang Pak RT yang selalu semangat menjadi yang pertama bangun sahur. Suatu hari, karena terburu-buru dan masih sangat mengantuk, ia mengambil wadah yang salah.
Ketika semua anggota keluarga sudah berkumpul di meja makan, Pak RT menuangkan sesuatu yang ternyata bukan nasi hangat, melainkan bubur nasi sisa semalam yang sudah mengeras. Lebih parahnya lagi, ia sempat mencampurnya dengan kopi hitam pekat, mengira itu adalah kuah rendang. Ketika suapan pertama masuk, ia baru sadar. "Astaghfirullah!" serunya. "Ini kenapa rasanya seperti lumpur dicampur kopi?" Istrinya hanya menggeleng sambil berkata, "Mungkin itu pahitnya mengawali hari tanpa doa yang benar, Pak."
Selain kesalahan memilih lauk, ada juga fenomena lupa bahwa dirinya sedang berpuasa saat makan sahur. Ini biasanya menimpa mereka yang baru pertama kali mencoba berpuasa atau mereka yang sudah terlalu lelap tidurnya. Seorang anak kecil pernah menangis histeris saat adzan Subuh berkumandang, padahal ia baru saja menghabiskan setengah piring nasi goreng. Ketika ditanya, ia menjawab polos, "Ayah, tadi aku lupa kalau aku sudah puasa, jadi aku makan lagi!"
Di lingkungan kerja, negosiasi tentang waktu berbuka puasa seringkali lebih alot daripada negosiasi bisnis. Kisah ini terjadi di sebuah kantor pemasaran yang memiliki karyawan dari berbagai latar belakang agama, namun mayoritas muslim. Mereka sepakat menunggu waktu Maghrib bersama. Pukul 17:50, semua mata tertuju pada ponsel orang yang paling dekat dengan jadwal imsakiyah resmi.
Tiba-tiba, salah satu staf senior, sebut saja Budi, berdiri sambil memegang gelas berisi es teh manis, padahal adzan belum berbunyi. "Bapak/Ibu sekalian," katanya dengan nada serius, "Saya mengajukan mosi darurat. Melihat kondisi atmosfer hari ini yang sangat kering, saya rasa kita perlu 'memajukan' waktu berbuka 30 detik untuk pencegahan dehidrasi akut." Rekan kerjanya langsung memprotes. Salah satu manajer menimpali, "Budi, sebentar lagi adzan. Jangan jadikan hausmu sebagai landasan hukum baru!" Budi hanya tersenyum pasrah, "Baik, tapi kalau saya pingsan, yang bertanggung jawab harus membelikan saya martabak."
Anekdot-anekdot semacam inilah yang membuat suasana puasa menjadi lebih hidup. Tawa renyah saat mendengar cerita konyol tentang perjuangan menahan lapar adalah ibadah ringan yang tidak ternilai harganya. Pada akhirnya, puasa mengajarkan kita tentang empati, kesabaran, dan yang terpenting, betapa bahagianya rasanya saat makanan pertama kali menyentuh kerongkongan setelah seharian menahan diri. Selamat menikmati cerita dan selamat menjalankan ibadah puasa dengan senyuman!