Di sebuah sekolah menengah yang terkenal akan kedisiplinan akademiknya, hiduplah seorang guru matematika bernama Pak Budi. Pak Budi dikenal bukan hanya karena kepiawaiannya dalam memecahkan persamaan paling rumit, tetapi juga karena kesabarannya yang luar biasa. Kesabaran ini sering kali diuji, terutama di kelas 10 IPA 2, kelas yang dihuni oleh murid-murid paling kreatif dalam menciptakan kebingungan.
Suatu hari, Pak Budi sedang menjelaskan tentang konsep dasar turunan fungsi. Suasana kelas seharusnya hening, diselingi suara kapur yang bergesekan dengan papan tulis. Namun, ketenangan itu tiba-tiba pecah.
Wajah Pak Budi memang tidak berubah. Ia menarik napas perlahan, seolah sedang menghitung akar kuadrat dari kesabarannya. "Roni, anggap saja konstanta itu adalah sebuah batu besar di tengah lapangan. Jika batu itu tidak kamu sentuh atau dorong, apakah posisi batu itu berubah? Tentu tidak. Turunan mengukur laju perubahan. Karena batu itu tidak berubah posisinya, laju perubahannya adalah nol."
Suasana sempat tenang selama dua menit. Pak Budi melanjutkan dengan menjelaskan aturan rantai. Tepat ketika ia mencapai puncak dari pembuktian yang rumit, suara lain muncul dari sudut belakang. Itu suara Udin, yang terkenal karena suka menguji batas kesabaran guru.
"Pak Budi!" seru Udin tanpa mengangkat tangan. "Kalau begitu, kalau saya lari sangat cepat, apakah turunan kecepatan saya itu pasti positif, Pak? Karena saya kan bergerak maju!"
Pak Budi memejamkan mata sebentar. Para siswa di kelas menahan napas. Mereka tahu bahwa Udin baru saja menginjak ranjau darat akademis. Pak Budi kemudian tersenyum tipis, senyum yang selalu menyimpan misteri.
Seluruh kelas meledak dalam tawa. Udin hanya bisa menunduk malu sambil memegang pena. Pak Budi kemudian kembali ke papan tulis, membersihkan sebagian kecil persamaan dan menuliskan sebuah kalimat besar dengan kapur merah.
"Anak-anak," kata Pak Budi, suaranya kini lebih tegas namun tetap lembut, "Matematika itu seperti kehidupan. Ia logis, tapi ia menghargai kejujuran dan ketekunan. Jika kalian mencoba mencari jalan pintas atau membuat 'konstanta' dalam belajar kalian, hasilnya akan nol."
Pelajaran hari itu berakhir dengan damai. Setelah bel berbunyi, beberapa murid mendekati Pak Budi untuk bertanya lebih lanjut. Roni dan Udin, yang tadinya tampak seperti lawan, kini berjalan berdampingan menuju meja guru.
"Pak Budi," kata Roni memulai dengan hati-hati, "bagaimana Bapak bisa begitu tenang menghadapi pertanyaan-pertanyaan kami yang terkadang absurd?"
Pak Budi tertawa kecil, membereskan buku-bukunya. "Begini, Nak. Saya ini sudah mengajar puluhan tahun. Pertanyaan kalian hari ini, meski terdengar baru bagi kalian, sebenarnya sudah pernah saya dengar. Mungkin dengan diksi yang berbeda. Tapi ada satu hal yang saya pelajari."
Udin menyela dengan penasaran, "Apa itu, Pak?"
Pak Budi menepuk pundak Udin pelan. "Rahasia kesabaran saya terletak pada satu keyakinan sederhana: Setiap pertanyaan yang diajukan dengan jujur, seabsurd apa pun itu, adalah bukti bahwa di dalam otak kalian sedang terjadi proses berpikir. Dan proses berpikir, Nak, sekecil apapun hasilnya hari ini, itu jauh lebih baik daripada diam tanpa pernah mencoba berhitung."
Roni dan Udin saling pandang, tersenyum mengerti. Mereka baru menyadari bahwa pelajaran paling berharga hari itu bukanlah tentang turunan atau integral, melainkan tentang filosofi kesabaran yang diajarkan seorang guru melalui humor dan matematika yang terjalin erat. Mereka pun berjanji pada diri sendiri untuk mulai menghargai setiap langkah perhitungan, sekecil apapun konstanta yang mereka temui. Dan Pak Budi, ia tersenyum, karena ia tahu, satu hari nanti, batu besar konstanta itu pasti akan terdorong.