Ilustrasi representatif dari Anggrek Dendrobium Capung Batu.
Di antara ribuan spesies anggrek yang memukau dunia botani, terdapat satu nama yang menarik perhatian kolektor sekaligus ahli ekologi: Dendrobium capung batu. Dijuluki demikian bukan tanpa alasan, anggrek endemik ini memiliki kebiasaan tumbuh yang sangat spesifik, melekat erat pada substrat berbatu, memberikan kesan bahwa ia adalah permata yang baru saja ‘terbang’ dan mendarat di atas batu karang. Keunikan ekologis inilah yang menjadikan *Dendrobium capung batu* salah satu spesies yang paling dicari dan dilindungi di habitat aslinya.
Seperti banyak anggota genus *Dendrobium* lainnya, anggrek ini menampilkan pseudobulb (batang semu) yang ramping, berfungsi sebagai penyimpanan air dan nutrisi. Namun, yang membedakannya adalah adaptasinya yang luar biasa terhadap lingkungan litofit (tumbuh di atas batu). Di habitat alaminya, seringkali ditemukan di area pegunungan tropis dengan paparan sinar matahari yang cukup namun drainase yang ekstrem, mereka menempel erat pada permukaan batu cadas yang jarang menahan air terlalu lama. Kondisi ini menuntut ketahanan fisik yang tinggi terhadap kekeringan periodik.
Bunga *Dendrobium capung batu* biasanya tidak sebesar hibrida komersial, namun keindahannya terletak pada proporsi dan warnanya. Seringkali didominasi oleh nuansa putih krem dengan labellum (bibir bunga) yang memiliki corak kuning cerah atau oranye, menciptakan kontras visual yang dramatis di atas latar belakang batu yang gelap. Bentuk bunganya yang elegan inilah yang kemungkinan besar menginspirasi nama populer "capung batu," memberikan kesan ringan dan terbang meskipun ia terpaku pada substrat keras.
Ketergantungan *Dendrobium capung batu* pada ekosistem batuan yang sangat spesifik membuatnya sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Deforestasi, penambangan, atau bahkan sekadar pemindahan batu tempat ia tumbuh dapat memicu kematian massal. Akibatnya, di banyak wilayah sebarannya, anggrek ini dikategorikan sebagai spesies yang terancam punah, meskipun data populasi resminya seringkali terbatas karena lokasinya yang sulit dijangkau.
Bagi para kolektor anggrek, menumbuhkan *Dendrobium capung batu* adalah sebuah tantangan tersendiri yang membutuhkan pemahaman mendalam mengenai kondisi alamiahnya. Penanaman ulang (repotting) memerlukan substrat yang sangat kasar dan memiliki aerasi superior, seringkali menyerupai campuran kerikil, pecahan batu bata, dan sedikit sabut kelapa untuk meniru habitat litofitnya. Pengairannya harus hati-hati; lembap namun tidak pernah basah kuyup dalam waktu lama. Kesalahan kecil dalam manajemen air dapat dengan mudah menyebabkan busuk akar, yang merupakan musuh utama anggrek batu.
Meskipun tantangan konservasinya besar, potensi hibridisasi *Dendrobium capung batu* sangat menarik. Para pemulia tanaman tertarik pada gen ketahanan kering dan adaptasi terhadap cahaya terang yang dimilikinya. Jika berhasil dikawinsilangkan dengan kultivar yang lebih mudah dibudidayakan, spesies ini dapat menyumbangkan sifat-sifat unggul tersebut ke generasi anggrek komersial di masa depan, memungkinkan anggrek hibrida yang lebih tangguh untuk ditanam oleh penghobi awam.
Intinya, *Dendrobium capung batu* bukan hanya sekadar tanaman hias; ia adalah penanda kesehatan ekosistem batuan tropis yang rapuh. Kehadirannya yang anggun di atas permukaan yang keras adalah pengingat akan kekuatan adaptasi alam, sekaligus panggilan mendesak untuk melestarikan setiap inci habitat tempat ia berjuang untuk bertahan hidup. Melindungi anggrek ini berarti melindungi keunikan geografi dan botani di mana ia dilahirkan.