Bulan Februari dalam kalender Masehi kerap kali memiliki nuansa yang berbeda di berbagai budaya, tak terkecuali dalam tradisi hitungan Jawa. Meskipun kalender Jawa secara tradisional menggunakan siklus bulan komariah dan tidak secara langsung mengikuti bulan Februari, pemahaman masyarakat Jawa terhadap penanggalan mereka sering kali bersinggungan dengan kalender Masehi yang umum digunakan. Oleh karena itu, ketika membicarakan hitungan Jawa bulan Februari, kita sebenarnya merujuk pada bagaimana periode waktu yang bertepatan dengan bulan Februari dalam kalender Masehi ini diinterpretasikan dan disikapi dalam kerangka pandangan hidup dan kepercayaan Jawa.
Dalam tradisi Jawa, setiap hari memiliki nilai dan pengaruh tertentu yang ditentukan oleh kombinasi hari pasaran (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing) dan sembilan hari pasaran Jawa lainnya (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu). Kombinasi ini dikenal sebagai weton. Ketika kita ingin mengetahui hitungan Jawa untuk periode yang bertepatan dengan bulan Februari, para ahli atau individu yang mendalami primbon akan menghitung weton yang jatuh pada tanggal-tanggal tersebut. Perhitungan ini sangat penting untuk berbagai aspek kehidupan, mulai dari penentuan hari baik untuk hajatan, pertanian, hingga pertimbangan dalam perjodohan.
Misalnya, jika bulan Februari Masehi dimulai pada hari Senin Legi dalam kalender Jawa, maka hari-hari berikutnya akan memiliki kombinasi weton yang berurutan. Pengetahuan mengenai weton ini bukan sekadar catatan, melainkan sebuah sistem kepercayaan yang diyakini dapat memberikan gambaran tentang watak, rezeki, dan nasib seseorang atau suatu peristiwa. Hubungan antara hari Masehi dan hari pasaran Jawa memang terlihat tidak linier jika dilihat dari hitungan kasar, namun dengan metode perhitungan yang tepat, pergeseran hari ini selalu dapat dipetakan.
Bulan Februari sering kali jatuh pada periode transisi musim di Indonesia, khususnya di wilayah Jawa. Secara umum, periode ini masih berada di puncak musim hujan atau mulai mengarah ke musim kemarau, tergantung pada wilayah dan tahunnya. Dalam hitungan Jawa, konsep musim sangatlah penting, terutama bagi masyarakat agraris. Penentuan waktu tanam, panen, dan kegiatan pertanian lainnya sangat bergantung pada siklus alam yang dipahami melalui kalender Jawa dan pengamatan terhadap pertanda alam.
Meskipun bulan Februari tidak secara eksplisit disebut sebagai suatu "musim" dalam kalender Jawa tradisional, perjalanannya dalam siklus tahunan Masehi ini sering kali dikaitkan dengan pertanda-pertanda tertentu. Misalnya, kondisi curah hujan atau pola angin di bulan Februari dapat diinterpretasikan sebagai isyarat awal menuju musim kemarau atau kelanjutan dari musim hujan. Hal ini memengaruhi berbagai aspek, mulai dari ketersediaan air untuk irigasi hingga potensi bencana alam seperti banjir atau kekeringan.
Meskipun bulan Februari dalam kalender Masehi tidak memiliki nama khusus atau perayaan besar yang secara universal terkait dengan hitungan Jawa, terdapat beberapa tradisi atau momen penting yang mungkin jatuh bertepatan dengan periode ini. Perayaan keagamaan seperti Isra' Mi'raj atau bahkan hari-hari penting dalam siklus tahunan desa adat tertentu bisa saja jatuh di sekitar bulan Februari. Kehadiran perayaan-perayaan ini, meskipun berbeda kalendernya, tetap memberikan warna budaya dan spiritual bagi masyarakat yang menjunjung tinggi tradisi.
Misalnya, beberapa masyarakat Jawa yang masih memegang teguh tradisi mungkin memiliki ritual khusus menjelang atau selama bulan Februari, yang berkaitan dengan doa keselamatan, kesuburan tanah, atau perayaan panen yang akan datang. Tradisi-tradisi ini sering kali diwariskan dari generasi ke generasi dan menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. Pengetahuan tentang 'hitungan Jawa' berperan penting dalam mengorganisir dan melaksanakan tradisi-tradisi tersebut agar selaras dengan waktu yang dianggap tepat dan membawa berkah.
Lebih dari sekadar penanggalan, hitungan Jawa adalah sebuah sistem kosmologis yang memandang alam semesta sebagai suatu kesatuan yang saling terhubung. Setiap peristiwa, termasuk yang terjadi di bulan Februari Masehi, memiliki makna simbolisnya sendiri. Dalam primbon Jawa, setiap hari, setiap weton, bahkan setiap peristiwa alam dipelajari hubungannya dengan prinsip-prinsip filosofis Jawa. Ini mencakup konsep 'Sedulur Papat Kalima Pancer' (empat saudara tua dan satu diri), 'Pancasudha', dan berbagai elemen alam seperti api, air, udara, dan tanah.
Dalam konteks bulan Februari, interpretasi terhadap peristiwa yang terjadi bisa beragam. Jika bulan ini identik dengan datangnya musim kemarau yang membawa harapan panen bagi petani, maka dalam pandangan Jawa, ini adalah waktu untuk bersyukur, memohon kelancaran, dan menyiapkan diri menghadapi musim selanjutnya. Jika ada peristiwa alam tertentu yang terjadi di bulan Februari, masyarakat Jawa yang mendalami hitungannya akan berusaha mencari makna dan petunjuk di baliknya. Ini adalah bentuk kearifan lokal dalam memahami dan beradaptasi dengan lingkungan serta menjaga keseimbangan hidup.
Pada akhirnya, membicarakan hitungan Jawa bulan Februari bukan hanya tentang mencocokkan tanggal, tetapi lebih pada bagaimana masyarakat Jawa mengintegrasikan kalender Masehi yang universal dengan sistem penanggalan dan pandangan dunia mereka yang kaya akan makna filosofis dan spiritual. Ini adalah cara mereka memahami waktu, merencanakan kehidupan, dan menjaga kelestarian tradisi di tengah perubahan zaman.