Ilustrasi: Harmoni Kalender Jawa
Dalam kebudayaan Jawa, waktu tidak sekadar deretan hari dan bulan. Kalender Jawa yang merupakan perpaduan antara kalender Islam (Hijriah) dan kalender Saka Hindu, memiliki kedalaman makna yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam menentukan hari baik dan buruk, serta masa-masa yang dianggap memiliki pantangan atau larangan. Konsep ini seringkali diintegrasikan dalam sistem "hitungan Jawa" yang kompleks, di mana setiap hari, pasaran, dan bulan memiliki karakteristik serta pengaruhnya sendiri.
Hitungan Jawa didasarkan pada siklus penanggalan yang terdiri dari kombinasi hari dalam seminggu (Senin hingga Minggu) dan pasaran Jawa (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi). Setiap kombinasi hari dan pasaran ini akan menghasilkan nilai tertentu, yang kemudian digunakan untuk memprediksi peruntungan, kecocokan dalam sebuah hubungan, maupun menentukan waktu yang tepat untuk melakukan sebuah kegiatan. Namun, di luar hitungan harian dan pasaran, penentuan larangan juga sangat dipengaruhi oleh siklus bulanan dalam kalender Jawa itu sendiri.
Bulan dalam kalender Jawa memiliki penamaan yang unik, banyak di antaranya berasal dari bahasa Sanskerta atau memiliki makna filosofis tersendiri. Masing-masing bulan dipercaya memiliki energi atau aura yang berbeda. Beberapa bulan dalam kalender Jawa secara tradisional dianggap kurang baik untuk melangsungkan hajat besar seperti pernikahan, pindah rumah, atau memulai usaha baru. Penentuan larangan ini bukan bersifat mutlak, melainkan lebih kepada kehati-hatian dan upaya untuk meminimalkan risiko atau kesulitan di masa depan.
Salah satu contoh yang sering dibicarakan adalah bulan Sura (Muharram). Bulan ini dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh dengan nilai spiritualitas. Meskipun demikian, dalam tradisi Jawa, bulan Sura seringkali dianggap sebagai bulan yang kurang disarankan untuk mengadakan perayaan besar seperti pernikahan. Alasannya bervariasi, ada yang mengaitkannya dengan makna kesedihan atau refleksi diri, sehingga dirasa kurang pas untuk merayakan kebahagiaan. Namun, perlu dicatat bahwa ini adalah pandangan tradisional dan tidak semua masyarakat Jawa kaku dalam memegang larangan ini.
Selain bulan Sura, bulan-bulan lain juga bisa memiliki pertimbangan khusus. Misalnya, beberapa orang mungkin menghindari bulan-bulan tertentu untuk pindah rumah karena dipercaya dapat membawa ketidakberuntungan bagi penghuni baru. Konsep ini seringkali dihubungkan dengan perhitungan weton (hari lahir) seseorang dan bagaimana kesesuaiannya dengan energi bulan tersebut. Para sesepuh atau orang yang memahami ilmu titen Jawa akan merujuk pada berbagai perhitungan untuk menentukan waktu yang paling bijaksana.
Menentukan larangan bulan bukanlah sekadar takhayul. Di baliknya terdapat kearifan lokal yang terbentuk dari pengamatan panjang terhadap siklus alam, pertanian, dan interaksi sosial. Misalnya, dalam menentukan waktu tanam atau panen, masyarakat Jawa selalu memperhatikan musim dan pasaran yang dipercaya paling menguntungkan. Konsep serupa juga diterapkan pada penentuan hari baik untuk kegiatan penting lainnya.
Perhitungan hitungan Jawa, termasuk larangan bulan, seringkali melibatkan tabel perhitungan yang kompleks. Tabel ini memetakan nilai-nilai dari hari, pasaran, dan bulan, yang kemudian diinterpretasikan oleh orang yang ahli. Tujuannya adalah untuk mencari "petung" atau perhitungan yang selaras, di mana semua elemen yang terlibat memberikan energi positif atau setidaknya netral.
Dalam era modern ini, banyak orang yang mungkin menganggap hitungan Jawa sebagai tradisi kuno. Namun, bagi sebagian masyarakat, terutama yang masih memegang teguh adat istiadat, hitungan Jawa dan larangan bulan tetap menjadi panduan penting. Ini bukan berarti menolak kemajuan, tetapi lebih kepada menjaga warisan budaya dan mengambil hikmah dari kearifan leluhur.
Memahami larangan bulan dalam hitungan Jawa juga bisa menjadi jendela untuk melihat bagaimana masyarakat Jawa memandang waktu dan keberuntungan. Ada kesadaran bahwa setiap momen memiliki energi yang berbeda, dan dengan memilih waktu yang tepat, seseorang dapat berupaya untuk menjalani hidup dengan lebih harmonis dan meminimalkan potensi kesulitan. Ini adalah cerminan dari filosofi Jawa yang menghargai keseimbangan dan keselarasan dalam segala hal.
Hitungan Jawa larangan bulan adalah bagian integral dari sistem kalender dan kepercayaan masyarakat Jawa. Meskipun seringkali dihubungkan dengan aspek mistis, pada dasarnya ia mencerminkan upaya untuk hidup selaras dengan siklus alam dan waktu. Pendekatan yang bijaksana adalah melihatnya sebagai panduan dan pertimbangan, bukan sebagai aturan kaku yang membatasi. Dengan memahami makna di balik setiap perhitungan, kita dapat menghargai kekayaan budaya Jawa dan bagaimana tradisi ini terus hidup dan beradaptasi hingga kini.