Di tengah kemajuan teknologi pertanian modern, ada kekayaan warisan leluhur yang masih relevan dan memberikan panduan berharga bagi para petani, khususnya di tanah Jawa. Salah satu aspek kearifan lokal tersebut adalah 'hitungan Jawa nandur', sebuah sistem perhitungan waktu tanam padi yang didasarkan pada berbagai faktor, mulai dari pergerakan alam hingga prinsip-prinsip spiritual. Konsep ini bukan sekadar takhayul, melainkan sebuah metode yang lahir dari pengamatan mendalam dan pengalaman turun-temurun, bertujuan untuk memaksimalkan hasil panen dan meminimalkan risiko kerugian.
'Nandur' dalam bahasa Jawa berarti menanam. Maka, 'hitungan Jawa nandur' secara harfiah merujuk pada perhitungan yang dilakukan masyarakat Jawa sebelum melaksanakan kegiatan tanam padi. Perhitungan ini melibatkan berbagai elemen, yang paling umum dikenal adalah patokan terhadap pergerakan bulan, posisi bintang, siklus alam seperti datangnya musim hujan, hingga hari-hari tertentu yang dianggap baik atau buruk berdasarkan kalender tradisional Jawa (Sistem Penanggalan Jawa).
Sistem ini sering kali melibatkan penentuan 'dina becik' (hari baik) untuk memulai penanaman. Hari baik ini diyakini dapat membawa keberkahan, kesuburan tanah, serta perlindungan dari hama dan penyakit. Perhitungan ini tidak hanya bersifat matematis, tetapi juga mengandung unsur filosofis yang mendalam, mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Para sesepuh atau tokoh adat di pedesaan biasanya memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan perhitungan ini, dan informasinya kemudian disosialisasikan kepada para petani.
Berbagai faktor dipertimbangkan dalam 'hitungan Jawa nandur', antara lain:
Mengapa para petani masih berpegang pada tradisi ini? Ada beberapa tujuan dan manfaat yang mendasarinya:
Di era pertanian modern yang sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi, 'hitungan Jawa nandur' mungkin tampak kuno bagi sebagian orang. Namun, bagi banyak komunitas petani, tradisi ini tetap dijalani berdampingan dengan metode pertanian modern. Mereka mungkin tetap menggunakan perhitungan tradisional sebagai panduan awal atau sebagai pelengkap dari penentuan waktu tanam yang didukung oleh data ilmiah seperti prakiraan cuaca dari BMKG atau saran dari penyuluh pertanian.
Kombinasi antara kearifan lokal dan ilmu pengetahuan modern seringkali menghasilkan strategi pertanian yang lebih komprehensif. 'Hitungan Jawa nandur' mengingatkan kita bahwa di balik setiap tindakan menanam, terdapat sebuah ritual yang penuh makna dan harapan, sebuah penghormatan terhadap siklus alam yang telah teruji ribuan tahun. Ini adalah bukti bahwa warisan budaya dapat terus memberikan kontribusi positif, bahkan di zaman serba canggih ini.
Bagi para petani milenial atau mereka yang baru belajar bertani, mempelajari 'hitungan Jawa nandur' bisa menjadi cara yang menarik untuk memahami akar budaya pertanian Indonesia dan menghargai kedalaman pengetahuan leluhur yang tetap relevan hingga kini.