Antasida merupakan salah satu golongan obat yang paling sering digunakan dan tersedia bebas di masyarakat untuk mengatasi keluhan yang berkaitan dengan kelebihan asam lambung. Dalam konteks kefarmasian Indonesia, referensi utama mengenai dosis dan indikasi obat ini sering merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Memahami indikasi antasida sesuai DOEN sangat krusial untuk memastikan penggunaan yang aman dan efektif.
Antasida adalah zat basa yang bekerja secara lokal di lambung untuk menetralkan asam lambung (asam klorida, HCl). Zat aktifnya umumnya mengandung senyawa seperti aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, kalsium karbonat, atau kombinasi dari beberapa zat tersebut.
Prinsip kerjanya sangat sederhana: $$ \text{Basa (Antasida)} + \text{Asam Lambung (HCl)} \rightarrow \text{Garam} + \text{Air} $$ Dengan menaikkan pH isi lambung, antasida mampu meredakan gejala nyeri, rasa panas, dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh iritasi mukosa lambung.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) mengklasifikasikan obat berdasarkan kegunaan terapetiknya. Indikasi utama yang menjadi fokus penggunaan antasida adalah untuk meredakan gejala akut dan kronis yang berhubungan dengan kondisi hiperasiditas lambung.
Ini adalah indikasi paling umum. Dispepsia merujuk pada rasa tidak nyaman atau nyeri yang dirasakan di perut bagian atas, sering kali disertai rasa kembung, mual, atau rasa penuh setelah makan. Antasida digunakan untuk meredakan gejala ini secara cepat. DOEN menegaskan penggunaannya untuk meredakan gejala gangguan pencernaan yang disebabkan oleh peningkatan produksi asam.
Pada kondisi tukak lambung atau tukak duodenum, produksi asam yang berlebihan dapat memperburuk kondisi luka pada lapisan mukosa. Meskipun antasida bukan terapi lini pertama untuk eradikasi bakteri Helicobacter pylori (penyebab utama tukak), antasida sangat penting sebagai terapi simtomatik. Mereka memberikan peredaan cepat dari nyeri ulu hati (heartburn) yang menyertai tukak aktif.
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) terjadi ketika isi lambung (termasuk asam) naik kembali ke kerongkongan (esofagus), menyebabkan sensasi terbakar yang dikenal sebagai heartburn. Untuk kasus GERD yang ringan dan sporadis, antasida yang dikonsumsi setelah makan atau sebelum tidur dapat sangat efektif untuk menetralkan asam yang naik. Namun, untuk GERD kronis atau berat, DOEN biasanya merekomendasikan penghambat pompa proton (PPI) atau antagonis reseptor H2.
Beberapa obat, seperti obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ibuprofen atau aspirin, dapat mengiritasi lapisan lambung dan meningkatkan risiko tukak. Antasida sering diresepkan bersamaan (atau dianjurkan diminum terpisah) untuk mencegah atau mengurangi iritasi lambung yang diakibatkan oleh obat-obatan tersebut.
Dalam formulasi DOEN, antasida jarang diberikan sebagai monoterapi (satu jenis zat aktif saja) untuk pengobatan jangka panjang. Kombinasi sering digunakan untuk meminimalkan efek samping:
Oleh karena itu, formulasi kombinasi (Aluminium dan Magnesium) digunakan untuk saling menyeimbangkan efek samping laksatif dan antikonstipasi. Dosis dan frekuensi penggunaan harus selalu mengikuti anjuran yang tertera pada label atau petunjuk dari tenaga kesehatan, terutama saat mengacu pada standar DOEN.
Meskipun antasida aman untuk penggunaan jangka pendek, DOEN dan pedoman medis menekankan bahwa antasida tidak boleh digunakan sebagai pengganti diagnosis medis untuk gejala persisten. Jika gejala hiperasiditas berlanjut lebih dari dua minggu meskipun sudah menggunakan antasida secara teratur, evaluasi medis lebih lanjut diperlukan untuk menyingkirkan kondisi serius seperti tukak yang tidak tersembuhkan atau keganasan.
Selain itu, antasida dapat mengganggu penyerapan obat lain (interaksi obat), seperti antibiotik tertentu atau obat jantung. Oleh karena itu, disarankan untuk memberikan jarak minimal 1-2 jam antara konsumsi antasida dengan obat-obatan lain.