Zakat bukan sekadar sedekah biasa; ia adalah pilar fundamental dalam Islam setelah syahadat, shalat, dan puasa. Kedudukannya yang tinggi ini tercermin jelas dalam banyaknya ayat-ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit menyebutkan perintahnya, atau setidaknya menghubungkannya dengan shalat.
Ketika kita membahas jumlah ayat Al-Qur'an tentang zakat, perlu dipahami bahwa hitungan pastinya bisa bervariasi tergantung pada metodologi penafsiran. Apakah kita menghitung ayat yang menyebut kata 'zakat' secara langsung, atau ayat yang berbicara tentang aspek distribusi, klasifikasi mustahik (penerima), dan ancaman bagi yang meninggalkannya?
Para ulama dan mufassir umumnya sepakat bahwa Al-Qur'an memuat sekitar 30 hingga 40 ayat yang secara tegas memerintahkan atau menjelaskan hukum zakat. Namun, angka ini sering kali meningkat drastis jika kita memasukkan ayat-ayat yang berbicara tentang infaq, shadaqah (sedekah), dan distribusi kekayaan secara umum, di mana zakat merupakan bagian terpenting dari konsep tersebut.
Ayat yang paling sering dikutip dan menjadi landasan utama adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. At-Taubah: 103)
Ayat ini secara gamblang menunjukkan fungsi ganda zakat: membersihkan harta pemilik (tazkiyah) dan menolong penerima (tashih).
Salah satu indikasi kuat betapa pentingnya zakat adalah bagaimana Allah SWT sering kali menggandengkan perintah zakat dengan perintah shalat (Salat). Dalam Al-Qur'an, penyebutan 'mendirikan shalat dan menunaikan zakat' muncul lebih dari dua puluh kali. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara ritual vertikal (hubungan dengan Tuhan) dan ritual horizontal (tanggung jawab sosial) harus terjalin erat.
Jika kita fokus pada ayat yang menggabungkan kedua kata tersebut ("iqamah as-shalat" dan "itu'a az-zakat"), angkanya menjadi signifikan dalam mengukur penekanan Ilahiah terhadap kewajiban ini. Kehadiran berulang ini memperkuat bahwa zakat bukanlah praktik insidental, melainkan norma sosial dan spiritual yang wajib dihidupi oleh komunitas Muslim.
Lebih dari sekadar perintah membayar, Al-Qur'an juga memberikan batasan ketat mengenai siapa yang berhak menerima zakat. Ayat yang secara spesifik menyebutkan delapan golongan penerima zakat adalah pondasi hukum fikih zakat yang diakui secara universal:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah [fi sabilillah], dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Kejelasan ayat ini memastikan bahwa dana zakat disalurkan secara tepat sasaran untuk mengatasi berbagai masalah sosial, mulai dari kemiskinan ekstrem hingga upaya penguatan hati orang yang baru memeluk Islam.
Meskipun sulit menentukan satu angka pasti untuk jumlah ayat Al-Qur'an tentang zakat—apakah 30, 40, atau lebih—yang jelas adalah penekanannya sangat kuat dan tersebar di berbagai surah, mulai dari Madaniyah hingga Makkah (meskipun detail teknisnya lebih banyak di Madinah). Jumlah ayat yang banyak ini menunjukkan bahwa zakat adalah sebuah sistem ekonomi yang terintegrasi, bukan sekadar amalan ibadah personal.
Keseluruhan ayat tersebut membentuk kerangka kerja yang kokoh. Mereka memerintahkan, menjelaskan tujuan (pembersihan jiwa dan harta), menentukan penerima, dan mengancam mereka yang enggan melaksanakannya. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam terhadap ayat-ayat ini sangat penting bagi setiap Muslim untuk menunaikan kewajibannya dengan sempurna dan mewujudkan keadilan sosial yang dicita-citakan Islam.