Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), khususnya Taman Kanak-Kanak (TK), memegang peranan krusial sebagai fondasi awal pendidikan formal. Kualitas layanan yang diberikan di tingkat ini sangat bergantung pada berbagai faktor, salah satunya adalah rasio antara jumlah siswa dan guru, yang secara formal diatur melalui penetapan jumlah minimal dan maksimal siswa dalam satu rombongan belajar (rombel).
Pertanyaan mendasar yang sering muncul di kalangan orang tua, pengelola sekolah, dan regulator adalah: Berapa jumlah minimal siswa per rombel TK? Untuk memahami ini, kita perlu merujuk pada kerangka peraturan yang berlaku di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan standar operasional PAUD.
Penentuan jumlah siswa per rombel TK tidak hanya bertujuan memastikan efisiensi operasional, tetapi yang utama adalah menjamin terpenuhinya hak setiap anak untuk mendapatkan perhatian individual yang memadai. Dalam konteks Indonesia, pedoman umum sering mengacu pada peraturan menteri terkait standar nasional pendidikan anak usia dini.
Secara umum, standar yang ditetapkan lebih menekankan pada **jumlah maksimal** siswa per rombel, daripada jumlah minimal. Hal ini karena tujuan utama regulasi adalah membatasi kepadatan kelas agar interaksi edukatif dapat berlangsung optimal.
Beberapa peraturan turunan, seperti yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, seringkali menetapkan:
Meskipun fokus utama regulasi adalah batas atas (maksimal), konsep **jumlah minimal siswa per rombel TK** tetap relevan dari perspektif efisiensi kelembagaan dan keberlanjutan program. Sebuah rombel yang terlalu sedikit siswanya dapat menimbulkan masalah:
Meskipun tidak selalu tertulis eksplisit sebagai "minimal X siswa", kebijakan operasional seringkali mensyaratkan minimal jumlah siswa tertentu agar sebuah rombel dapat diakui dan menerima pendanaan penuh. Angka yang sering dijadikan patokan operasional (bukan regulasi baku) seringkali berada di angka minimal 10 hingga 12 siswa per rombel untuk menjamin dinamika kelas yang sehat dan efisiensi anggaran operasional.
Fokus pada rasio yang ideal (baik minimal maupun maksimal) berbanding lurus dengan kualitas pengasuhan dan pendidikan yang diterima anak:
Anak usia TK masih sangat membutuhkan stimulasi yang dipersonalisasi. Jika rombel terlalu besar (melebihi batas maksimal), guru akan kesulitan mengobservasi kebutuhan belajar setiap anak, mengenali potensi dini, atau menangani isu perilaku secara cepat. Sebaliknya, jika terlalu kecil, potensi peer learning (belajar dari teman) menjadi kurang maksimal.
Di lingkungan bermain, pengawasan ekstra ketat dibutuhkan. Semakin sedikit jumlah anak yang harus diawasi satu guru, semakin kecil pula risiko kecelakaan atau kejadian yang tidak diinginkan.
Rombel yang memiliki jumlah siswa memadai (cukup untuk bermain peran, diskusi kelompok kecil, namun tidak terlalu banyak sehingga sulit dikelola) memungkinkan guru merancang kegiatan yang lebih bervariasi dan inklusif.
Kesimpulannya, penetapan jumlah minimal siswa per rombel TK lebih bersifat implisit dalam kerangka efisiensi kelembagaan dan penciptaan lingkungan sosial yang kaya. Namun, batasan maksimal yang ditetapkan oleh pemerintah (biasanya sekitar 20-25 siswa) adalah faktor yang paling krusial untuk menjamin bahwa hak anak atas pengajaran berkualitas dapat terpenuhi secara optimal.