Bagi kebanyakan orang, liburan identik dengan pantai berpasir putih, pegunungan sejuk, atau hotel berbintang lima. Namun, bagi segelintir pekerja keras—terutama para kuli bangunan—definisi liburan bisa jadi jauh lebih sederhana, namun tak kalah bermakna. Ketika proyek selesai, momen "cuti" yang mereka nantikan seringkali diisi dengan cerita-cerita lucu yang kemudian menjadi bahan anekdot di warung kopi.
Kisah tentang liburan kuli bangunan seringkali menyentuh dua aspek: kerja keras yang ekstrem dan imajinasi yang liar. Mereka yang setiap hari bergulat dengan semen, besi, dan panas matahari, tentu mendambakan istirahat total. Namun, karena keterbatasan waktu dan dana, liburan mereka menjadi subjek anekdot yang menghibur.
Salah satu tema utama dalam anekdot ini adalah bagaimana mereka mendefinisikan "santai". Jika karyawan kantoran bisa tidur sampai siang, kuli bangunan mungkin merasa aneh jika tidak melakukan sesuatu yang produktif, meskipun itu hanya sekadar duduk diam.
Suatu kali, Pak Budi, mandor bangunan yang terkenal keras, akhirnya ambil cuti seminggu penuh. Temannya, Pak Joni, bertanya, "Gimana liburannya, Bud? Sudah nyoba kasur empuk di hotel?"
Pak Budi menghela napas panjang. "Wah, Jon. Hari kedua aku sudah nggak tahan. Aku bangun jam 5 pagi, terus aku lihat ke kamar mandi, terus aku duduk di teras. Jam 7, aku sudah mulai nyari-nyari adukan semen. Ternyata, aku lebih pusing lihat tembok kosong daripada lihat tumpukan bata!"
Pak Joni tertawa. "Lho, kok gitu?"
"Iya! Otakku sudah terprogram, Jon. Kalau nggak pegang cangkul, rasanya kayak ada yang hilang. Akhirnya, hari ketiga, aku pergi ke toko material, beli sekop kecil, dan aku pakai buat gali tanah di kebun belakang rumah. Rasanya baru itu liburan yang benar-benar 'nge-charge'!"
Anekdot lain berkisar pada upaya mereka untuk "menciptakan" pengalaman liburan menggunakan sumber daya seadanya. Hotel mewah diganti dengan terpal, sementara pantai diganti dengan kolam terpal di halaman belakang.
Ilustrasi: Liburan ala kuli bangunan di teras rumah.
Kisah lain melibatkan seorang kuli bernama Udin yang bercerita tentang rencana liburannya yang sangat ambisius. Ia berujar kepada rekan kerjanya bahwa ia akan pergi ke Bali.
Rekan kerjanya kagum, "Wah, Bali? Naik apa, Din? Pesawat?"
Udin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Bukan, bukan. Aku mau ke Bali di pinggir kota sana."
"Bali yang mana?"
"Ya, Bali yang ada di kolam terpal itu!" Udin menjelaskan dengan bangga. "Aku sudah siapkan terpal biru baru, aku isi air dari sumur, terus aku lempar beberapa batu akik biar kayak karang. Nanti aku pakai kacamata hitam, pasang musik deburan ombak dari HP butut. Aku mau berjemur sampai kulitku sama cokelatnya kayak turis-turis yang sering kulihat di majalah bangunan!"
Semua yang mendengar tertawa terbahak-bahak. Bagi mereka, kreativitas adalah kunci liburan yang sukses.
Anekdot-anekdot ini, meskipun terdengar lucu, sebenarnya menyimpan lapisan apresiasi terhadap etos kerja mereka. Liburan bagi mereka bukanlah tentang kemewahan, melainkan tentang jeda sejenak dari rutinitas yang melelahkan, dan kesempatan untuk menerapkan keterampilan mereka dalam konteks yang berbeda—sekalipun hanya membangun "istana pasir" di halaman belakang.
Bisa jadi, liburan terbaik bagi seorang kuli bangunan adalah saat ia bisa kembali melihat hasil karyanya berdiri kokoh, atau saat ia bisa tidur nyenyak tanpa mendengar suara mesin molen. Ketika mereka kembali bekerja setelah liburan singkat, semangat mereka seringkali kembali membara, siap mengangkat batu bata berikutnya dengan energi baru. Dan tentu saja, siap dengan cerita anekdot baru yang akan mereka bagi saat istirahat makan siang.
Jadi, saat Anda merencanakan liburan mewah, ingatlah para pahlawan konstruksi ini. Mereka membuktikan bahwa kebahagiaan liburan tidak diukur dari tagihan kartu kredit, melainkan dari seberapa nyamannya Anda bisa beristirahat, bahkan jika itu hanya di bawah naungan terpal.