Pengantar: Pentingnya Kesucian dalam Islam
Dalam ajaran Islam, kesucian atau thaharah menempati posisi yang sangat fundamental dan mendasar. Ia bukan sekadar aspek kebersihan fisik, melainkan sebuah pilar penting yang tidak terpisahkan dari keimanan dan praktik ibadah seorang Muslim. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an yang menjelaskan kecintaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa menjaga kesucian, menegaskan bahwa kesucian adalah bagian integral dari keindahan dan kesempurnaan agama ini. Pentingnya thaharah tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, terutama dalam ritual ibadah seperti salat, tawaf, dan membaca Al-Qur'an. Tanpa kesucian, ibadah-ibadah tersebut tidak sah dan tidak diterima di sisi Allah.
Konsep kesucian dalam Islam terbagi menjadi dua kategori utama: kesucian dari hadas (hadas kecil dan hadas besar) dan kesucian dari najis. Kesucian dari hadas berkaitan dengan keadaan diri seorang Muslim, yang disucikan melalui wudu untuk hadas kecil dan mandi junub untuk hadas besar. Sementara itu, kesucian dari najis berhubungan dengan kotoran atau benda-benda tertentu yang dianggap menjijikkan dan membatalkan keabsahan ibadah jika mengenai tubuh, pakaian, atau tempat ibadah. Kedua jenis kesucian ini memiliki hukum dan tata cara pensuciannya masing-masing yang wajib dipahami oleh setiap Muslim.
Artikel ini akan berfokus secara mendalam pada salah satu aspek kesucian yang paling krusial, yaitu "Najis Hakiki". Kita akan mengupas tuntas definisi, jenis-jenisnya, dalil-dalil syar'i yang melandasinya, implikasinya terhadap ibadah, serta metode pensucian yang benar menurut syariat Islam. Pemahaman yang komprehensif tentang najis hakiki ini diharapkan dapat membimbing umat Islam dalam menjaga kebersihan diri, pakaian, dan lingkungan mereka, sehingga setiap amal ibadah yang dilakukan menjadi sah dan diterima oleh Allah SWT.
Apa Itu Najis Hakiki? Definisi dan Perbedaannya
Definisi Bahasa dan Syar'i
Secara etimologi atau bahasa, kata "najis" (النجس) berasal dari bahasa Arab yang berarti kotor, menjijikkan, atau sesuatu yang buruk. Konsep ini secara intuitif dapat dipahami oleh akal sehat manusia, bahwa ada hal-hal yang secara alami dianggap kotor dan tidak layak untuk digunakan atau didekati dalam kondisi bersih.
Namun, dalam konteks syariat Islam, definisi najis memiliki makna yang lebih spesifik dan terikat pada ketentuan hukum. Najis didefinisikan sebagai setiap benda yang kotor menurut syariat Islam, yang dapat mencegah keabsahan salat dan ibadah lain yang mensyaratkan kesucian, serta harus disucikan jika mengenai tubuh, pakaian, atau tempat.
Ini berarti, tidak semua benda yang kotor menurut pandangan umum manusia adalah najis menurut syariat, dan sebaliknya, ada benda-benda yang tampak bersih namun dihukumi najis secara syar'i.
Najis Hakiki, atau kadang disebut juga Najis 'Aini (najis yang berwujud), adalah jenis najis yang memiliki wujud nyata, bisa dilihat, dicium baunya, atau dirasakan zatnya.
Ia adalah kotoran yang secara fisik ada dan dapat diidentifikasi melalui indra. Ini berbeda dengan Najis Hukmi, yaitu najis yang tidak memiliki wujud nyata, bau, atau rasa, tetapi dihukumi najis secara syar'i karena pernah terkena najis hakiki dan belum disucikan, atau karena ia sendiri adalah benda yang najis tanpa perlu ada jejak fisik (misalnya, hukum najis pada benda tertentu yang belum terdeteksi). Namun, fokus utama kita adalah najis hakiki yang berwujud.
Perbedaan Najis dan Hadas
Seringkali terjadi kekeliruan antara pengertian najis dan hadas. Keduanya memang berkaitan dengan kesucian, namun memiliki esensi yang berbeda:
-
Najis: Adalah benda atau zat yang kotor menurut syariat, yang melekat pada tubuh, pakaian, atau tempat. Contoh: Darah, kotoran, urine. Najis bisa disucikan dengan menghilangkan zat najisnya. Seseorang yang terkena najis masih bisa membaca Al-Qur'an, berzikir, atau bahkan makan, asalkan najis tersebut tidak menyebar dan belum disucikan dari anggota tubuh atau pakaian yang diperlukan untuk ibadah.
- Hadas: Adalah kondisi tidak suci yang bersifat spiritual atau hukum, yang melekat pada diri seseorang. Hadas tidak berwujud fisik. Hadas kecil dihilangkan dengan wudu (misalnya setelah buang air kecil/besar, kentut), sementara hadas besar dihilangkan dengan mandi junub (misalnya setelah berhubungan suami istri, haid, nifas). Orang yang berhadas tidak boleh salat, tawaf, atau menyentuh mushaf Al-Qur'an hingga ia bersuci dari hadasnya.
Singkatnya, najis adalah kotoran yang berwujud, sementara hadas adalah keadaan tidak suci yang bersifat hukum. Keduanya harus dihilangkan agar ibadah menjadi sah.
Klasifikasi Najis Hakiki
Dalam syariat Islam, najis hakiki dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat keseriusan dan tata cara pensuciannya. Pembagian ini penting untuk diketahui karena setiap jenis najis memiliki perlakuan yang berbeda dalam pensuciannya. Tiga kategori tersebut adalah Najis Mughallazhah, Najis Mutawassithah, dan Najis Mukhaffafah.
1. Najis Mughallazhah (Najis Berat)
Najis Mughallazhah adalah jenis najis yang paling berat dan memerlukan tata cara pensucian khusus yang lebih ketat. Dalam mazhab Syafi'i, najis ini hanya ada dua, yaitu yang berasal dari anjing dan babi, serta turunannya.
-
Anjing
Air liur, kotoran, urine, darah, dan seluruh bagian tubuh anjing yang basah dihukumi najis mughallazhah. Ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
Apabila anjing menjilat bejana salah seorang dari kalian, maka sucikanlah dengan mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
Hukum ini berlaku untuk semua bagian anjing, baik yang hidup maupun yang mati, dan semua yang keluar darinya.Dalil dan Hikmah: Hadis tersebut menjadi dalil utama. Para ulama menjelaskan bahwa hikmah di balik pensucian yang berat ini adalah karena adanya bakteri atau kuman tertentu yang mungkin terdapat pada air liur anjing yang berbahaya bagi manusia, dan tanah memiliki daya membersihkan dan membunuh kuman secara alami. Ini menunjukkan keajaiban syariat yang menjaga kesehatan umatnya jauh sebelum ilmu pengetahuan modern menemukannya.
Cara Mensucikan: Jika terkena najis anjing (misalnya air liurnya), maka wajib mencuci bagian yang terkena najis tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dicampur dengan debu (tanah yang bersih). Enam kali dengan air bersih dan satu kali dengan air yang bercampur tanah, atau sebaliknya. Urutan tidak menjadi syarat, namun yang umum adalah membersihkan zat najisnya terlebih dahulu, lalu mencuci dengan air tanah, kemudian enam kali dengan air bersih.
-
Babi
Sama seperti anjing, seluruh bagian tubuh babi, baik yang hidup maupun yang mati, serta segala sesuatu yang keluar darinya (darah, urine, kotoran, daging, kulit, bulu, dll.) dihukumi najis mughallazhah. Hukum ini juga disamakan dengan anjing karena kesamaan dalam status keharaan dan kekotoran zatnya, meskipun tidak ada dalil spesifik tentang cara mensucikan najis babi dengan tanah sebanyak tujuh kali seperti anjing. Namun, para ulama menyamakan hukumnya melalui qiyas (analogi) karena keduanya disebut dalam Al-Qur'an sebagai hewan yang diharamkan secara mutlak dan dianggap kotor.
Dalil dan Hikmah: Meskipun tidak ada hadis spesifik tentang pensucian babi dengan tanah 7 kali, keharamannya disebutkan jelas dalam Al-Qur'an (misalnya QS. Al-Baqarah: 173). Para ulama mengambil kesimpulan bahwa najis babi memiliki tingkat kekotoran yang sama atau bahkan lebih buruk dari anjing. Hikmahnya juga dikaitkan dengan potensi bahaya kesehatan yang terkandung dalam babi, seperti cacing pita dan berbagai penyakit lain yang dapat ditularkan kepada manusia.
Cara Mensucikan: Sama seperti najis anjing, yaitu dengan mencuci tujuh kali, salah satunya dicampur dengan debu (tanah yang bersih).
2. Najis Mutawassithah (Najis Sedang)
Najis Mutawassithah adalah jenis najis yang paling umum dan sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah segala najis yang tidak termasuk kategori mughallazhah (berat) dan mukhaffafah (ringan). Kebanyakan benda najis masuk dalam kategori ini.
Ciri-ciri Najis Mutawassithah: Najis ini memiliki tiga sifat yang bisa dikenali: warna, bau, dan rasa. Jika salah satu dari sifat-sifat ini masih ada setelah dicuci, maka najis belum sepenuhnya hilang.
Cara Mensucikan: Cara mensucikan najis mutawassithah adalah dengan menghilangkan zat najisnya (warna, bau, dan rasa) hingga bersih. Ini dilakukan dengan mencuci bagian yang terkena najis dengan air bersih hingga tidak tersisa lagi bekas-bekas najis tersebut. Tidak ada batasan jumlah cucian seperti pada najis mughallazhah, yang penting adalah bersih secara kasat mata dan indra.
Najis mutawassithah dibagi lagi menjadi dua jenis:
-
Najis 'Ainiyah (Najis yang Berwujud)
Ini adalah najis yang memiliki wujud, warna, bau, atau rasa yang nyata. Contoh-contohnya akan dijelaskan lebih lanjut di bawah.
Cara Mensucikan: Wajib dihilangkan wujud, warna, bau, dan rasanya. Jika sulit menghilangkan salah satu sifatnya (misalnya warna yang sudah sangat melekat), maka dimaafkan selama zat najisnya sudah diyakini hilang dan tidak ada bau lagi. Misalnya, bekas darah yang sudah dicuci bersih namun menyisakan sedikit noda warna.
-
Najis Hukmiyah (Najis yang Tidak Berwujud)
Ini adalah najis yang pernah mengenai suatu tempat, tetapi wujud, warna, bau, dan rasanya sudah hilang dengan sendirinya (misalnya mengering dan tertiup angin) atau tidak terdeteksi sejak awal. Namun, hukumnya masih najis sampai disiram air. Contoh: Urine yang mengering di lantai dan tidak meninggalkan bekas, atau bekas muntahan yang sudah dibersihkan secara sembrono sehingga tidak ada bau dan warna namun masih diragukan kesuciannya.
Cara Mensucikan: Cukup dengan mengalirkan air bersih ke atasnya sekali saja, sampai rata ke seluruh bagian yang terkena najis, karena tidak ada zat najis yang perlu dihilangkan.
3. Najis Mukhaffafah (Najis Ringan)
Najis Mukhaffafah adalah jenis najis yang paling ringan dan memiliki tata cara pensucian yang paling mudah. Dalam mazhab Syafi'i, kategori ini hanya mencakup satu jenis, yaitu urine bayi laki-laki yang belum makan apa pun selain ASI dan belum berumur dua tahun.
-
Urine Bayi Laki-laki
Urine bayi laki-laki yang belum mencapai usia dua tahun dan belum mengonsumsi makanan padat atau minuman lain selain air susu ibu (ASI) dihukumi najis mukhaffafah.
Dalil dan Hikmah: Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
Urine bayi perempuan dicuci, dan urine bayi laki-laki cukup dipercikkan air.
Hikmah di baliknya mungkin karena urine bayi laki-laki dianggap lebih "ringan" sifat najisnya atau karena lebih sering terjadi dan sulit dihindari bagi orang tua, sehingga syariat memberikan keringanan. Atau, bisa juga karena komposisi urine bayi yang hanya mengonsumsi ASI berbeda dengan urine yang sudah mengonsumsi makanan lain.Cara Mensucikan: Cukup dengan memercikkan air ke area yang terkena urine hingga merata, tanpa perlu menggosok atau mencucinya secara menyeluruh. Yang terpenting adalah air telah meliputi seluruh area yang terkena najis. Jika bayi sudah makan makanan padat, atau sudah berusia lebih dari dua tahun, atau jika itu adalah urine bayi perempuan, maka hukumnya menjadi najis mutawassithah dan harus dicuci hingga bersih.
Jenis-Jenis Najis Hakiki Secara Spesifik
Setelah memahami klasifikasi umum najis, mari kita telusuri lebih jauh jenis-jenis benda yang secara spesifik dihukumi najis hakiki dalam syariat Islam, terutama yang termasuk kategori mutawassithah dan mughallazhah. Penting untuk diingat bahwa setiap pembahasan ini mungkin memiliki sedikit perbedaan pendapat di antara mazhab fiqih yang berbeda, namun kita akan berpegang pada pandangan yang umum diterima.
1. Darah (Dam)
Darah adalah salah satu najis yang paling sering kita jumpai dan memiliki hukum najis mutawassithah.
-
Darah Manusia
Semua jenis darah manusia, kecuali darah yang sedikit dan tidak mengalir (seperti bekas luka kecil atau gigitan nyamuk) yang dimaafkan, dihukumi najis. Ini termasuk darah haid, nifas, istihadhah, darah luka yang banyak, darah mimisan, dan darah dari operasi.
Darah Haid dan Nifas: Ini adalah darah yang keluar dari rahim wanita pada waktu-waktu tertentu. Keduanya adalah najis dan mewajibkan wanita untuk mandi junub setelah masa berhentinya. Pakaian atau tempat yang terkena darah haid wajib disucikan.
Darah Istihadhah: Ini adalah darah yang keluar dari rahim wanita di luar masa haid atau nifas karena penyakit. Meskipun najis, darah istihadhah memiliki keringanan dalam hukum bersuci bagi wanita yang mengalaminya, ia tetap harus salat setelah berwudu di setiap waktu salat.
Darah Luka: Darah yang keluar dari luka, baik karena kecelakaan, sakit, atau sebab lain, adalah najis jika banyak dan mengalir. Namun, sedikit darah yang keluar dari jerawat atau luka kecil yang tidak mengalir deras seringkali dimaafkan (ma'fu) terutama jika sulit dihindari.
Cara Mensucikan: Cuci dengan air bersih hingga warna, bau, dan rasanya hilang. Jika ada noda yang sulit dihilangkan (misalnya di pakaian putih), dimaafkan selama zat darahnya sudah tidak ada dan baunya sudah hilang.
-
Darah Hewan
Darah hewan yang mengalir (damun masfuh) adalah najis. Ini mencakup darah hewan yang disembelih secara tidak syar'i atau hewan yang mati tanpa disembelih (bangkai). Darah yang sedikit dan tidak mengalir dari hewan yang darahnya tidak mengalir (misalnya serangga) dimaafkan.
Darah Hewan Halal: Darah hewan yang halal dimakan, jika mengalir saat disembelih secara syar'i, adalah najis. Oleh karena itu, bagian yang terkena darah ini harus dibersihkan sebelum dimasak atau dimakan. Namun, darah yang melekat pada daging setelah disembelih dengan cara syar'i, atau sedikit darah yang tersisa di pembuluh darah, dimaafkan dan tidak menghalangi kehalalan dagingnya.
Darah Hewan Haram: Darah dari hewan haram (misalnya babi, anjing, atau hewan buas) adalah najis. Jika berasal dari anjing atau babi, maka hukumnya mughallazhah.
Cara Mensucikan: Sama seperti darah manusia, yaitu dengan mencuci hingga bersih dari warna, bau, dan rasa.
2. Urine (Baul) dan Kotoran (Ghaith)
Urine dan kotoran adalah najis mutawassithah, kecuali urine bayi laki-laki yang memenuhi syarat mukhaffafah, dan kotoran anjing atau babi yang mughallazhah.
-
Urine Manusia
Urine (air kencing) manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, dihukumi najis mutawassithah. Pengecualian adalah urine bayi laki-laki yang memenuhi kriteria najis mukhaffafah.
Cara Mensucikan: Cuci dengan air bersih hingga hilang warna, bau, dan rasanya. Untuk najis mukhaffafah, cukup dipercikkan air.
-
Kotoran Manusia (Feses)
Kotoran manusia dihukumi najis mutawassithah secara mutlak.
Cara Mensucikan: Cuci dengan air bersih hingga hilang wujud, warna, bau, dan rasanya.
-
Urine dan Kotoran Hewan
Pembahasan urine dan kotoran hewan memerlukan perincian:
-
Hewan yang Halal Dimakan: Urine dan kotoran dari hewan yang halal dimakan (seperti sapi, kambing, unta, ayam) adalah najis menurut mayoritas ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali). Namun, ada sebagian ulama (Mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali) yang menganggap kotoran hewan halal dimakan sebagai suci jika kering dan tidak melekat (misalnya kotoran burung). Dalam Mazhab Syafi'i, kotoran dan urine hewan halal dimakan tetap najis.
Pengecualian: Urine dan kotoran burung yang terbang di udara (misalnya burung pipit) jika sedikit dan sulit dihindari, dimaafkan karena darurat. Namun, jika banyak atau dari burung yang dipelihara, tetap najis.
- Hewan yang Haram Dimakan dan Bukan Anjing/Babi: Urine dan kotoran dari hewan yang haram dimakan (seperti kucing, tikus, singa) adalah najis mutawassithah.
- Anjing dan Babi: Urine dan kotoran anjing dan babi dihukumi najis mughallazhah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Cara Mensucikan: Untuk najis mutawassithah, cuci dengan air hingga hilang zat, warna, bau, dan rasa. Untuk najis mughallazhah, cuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
-
Hewan yang Halal Dimakan: Urine dan kotoran dari hewan yang halal dimakan (seperti sapi, kambing, unta, ayam) adalah najis menurut mayoritas ulama (Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali). Namun, ada sebagian ulama (Mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali) yang menganggap kotoran hewan halal dimakan sebagai suci jika kering dan tidak melekat (misalnya kotoran burung). Dalam Mazhab Syafi'i, kotoran dan urine hewan halal dimakan tetap najis.
3. Bangkai (Mayit Hewan yang Tidak Disembelih Syar'i)
Bangkai adalah hewan yang mati bukan karena disembelih secara syar'i. Bangkai dihukumi najis mutawassithah. Ini mencakup hewan yang mati karena sakit, kecelakaan, atau mati dicekik, terjatuh, ditanduk, diterkam binatang buas, atau disembelih tanpa menyebut nama Allah.
-
Pengecualian Bangkai yang Suci:
-
Ikan dan Belalang: Bangkai ikan dan belalang adalah suci dan halal dimakan, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai adalah ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa.
- Hewan yang Tidak Memiliki Darah Mengalir: Bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir (misalnya lalat, nyamuk, semut, lebah) juga dihukumi suci dan tidak menajiskan jika jatuh ke dalam makanan atau minuman.
- Bagian Tubuh Bangkai: Kulit bangkai dapat menjadi suci jika disamak (disuci). Tulang, kuku, tanduk, gigi, dan bulu dari bangkai yang tidak disembelih, menurut sebagian besar ulama, dihukumi najis. Namun, ada juga pendapat yang menyatakan bahwa bagian-bagian ini suci jika bukan dari hewan yang hidupnya najis (seperti anjing/babi), karena tidak ada ruh dan darah di dalamnya. Dalam mazhab Syafi'i, kecuali bulu hewan halal dimakan jika dipisahkan dari bangkai tanpa mencabutnya (misalnya rontok), itu dihukumi suci. Namun, bulu anjing dan babi tetap najis.
Cara Mensucikan: Karena bangkai adalah najis zatnya, maka jika menyentuh sesuatu, bagian yang disentuh itu harus disucikan dengan mencuci air bersih hingga hilang bekasnya.
-
Ikan dan Belalang: Bangkai ikan dan belalang adalah suci dan halal dimakan, berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW.
4. Khamr (Minuman Keras)
Khamr, yaitu minuman keras atau segala sesuatu yang memabukkan, dihukumi najis mutawassithah menurut mayoritas ulama (termasuk mazhab Syafi'i). Keharamannya jelas disebutkan dalam Al-Qur'an.
Dalil dan Hikmah: Meskipun sebagian ulama berpendapat khamr tidak najis secara fisik melainkan hanya najis maknawi (haram), mayoritas ulama menganggapnya najis fisik (hakiki) berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Ma'idah: 90 yang menyebut khamr sebagai rijzun min 'amalisy-syaithan
(kotoran dari perbuatan syaitan). Kata "rijzun" di sini ditafsirkan sebagai kotoran fisik. Hikmah pengharaman dan penetapan najisnya adalah untuk menjauhkan umat dari segala hal yang merusak akal dan diri, serta memicu keburukan lainnya.
Cara Mensucikan: Jika khamr tumpah atau mengenai sesuatu, maka bagian yang terkena wajib dicuci dengan air bersih hingga hilang bekas, bau, dan rasanya.
5. Daging Babi dan Anjing (Selain Urine/Kotoran)
Daging, kulit, bulu, dan seluruh bagian tubuh anjing dan babi, baik saat hidup maupun mati, dihukumi najis mughallazhah. Pembahasan ini sudah tercakup di bagian najis mughallazhah, namun ditegaskan lagi bahwa bukan hanya ekskresi mereka, tetapi zat tubuh mereka sendiri juga adalah najis berat.
Cara Mensucikan: Sama seperti najis mughallazhah lainnya, dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.
6. Nanah (Pus) dan Muntah (Qai')
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai najisnya nanah dan muntah. Namun, pendapat yang kuat dan banyak dianut (termasuk mazhab Syafi'i) adalah keduanya najis mutawassithah.
-
Nanah
Nanah adalah cairan kental berwarna kuning kehijauan yang keluar dari luka akibat infeksi. Umumnya dihukumi najis mutawassithah karena dianggap sebagai darah yang telah berubah.
Cara Mensucikan: Cuci dengan air bersih hingga hilang zat, warna, bau, dan rasanya.
-
Muntah
Muntahan dari perut, baik manusia maupun hewan (yang najis), dihukumi najis mutawassithah karena ia adalah sisa makanan yang telah melewati proses pencernaan dan bercampur dengan cairan tubuh yang kotor.
Pengecualian: Muntahan bayi yang hanya ASI, menurut sebagian ulama, dianggap najis mukhaffafah. Namun, mayoritas ulama tetap menganggapnya mutawassithah.
Cara Mensucikan: Cuci dengan air bersih hingga hilang zat, warna, bau, dan rasanya.
7. Wadi dan Mazi
Ini adalah cairan yang keluar dari kemaluan selain urine dan mani.
-
Wadi
Wadi adalah cairan putih kental dan keruh yang keluar setelah buang air kecil atau setelah mengangkat beban berat. Ia adalah najis mutawassithah dan mewajibkan seseorang untuk berwudu jika keluar.
Cara Mensucikan: Cuci bagian yang terkena wadi dengan air bersih hingga hilang zat, warna, bau, dan rasanya.
-
Mazi
Mazi adalah cairan bening, lengket, dan tidak kental yang keluar saat syahwat meningkat, biasanya tanpa disadari dan tidak disertai ejakulasi. Ia adalah najis mutawassithah dan mewajibkan seseorang untuk berwudu jika keluar. Khusus untuk mazi, terdapat keringanan bahwa jika mengenai pakaian, cukup dengan memercikkan air ke area yang terkena mazi tanpa perlu mencuci sepenuhnya, meskipun sebagian ulama tetap menganjurkan pencucian. Namun, jika mengenai tubuh, wajib dicuci.
Cara Mensucikan: Cuci bagian yang terkena mazi dengan air bersih hingga hilang zatnya. Untuk pakaian, cukup dipercikkan air secara merata.
8. Mani (Semen)
Mani (semen) adalah cairan yang keluar saat ejakulasi. Mengenai status najisnya, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
- Pendapat Mayoritas (Mazhab Syafi'i, Maliki, Hanbali): Mani hukumnya suci. Namun, jika mengenai pakaian atau tubuh, dianjurkan untuk mencucinya karena dianggap kotor (bukan najis). Jika kering, cukup dikerok atau digosok hingga hilang. Kewajiban mandi junub setelah keluarnya mani adalah karena hadas besar, bukan karena najis.
- Pendapat Sebagian Kecil (Mazhab Hanafi): Mani dihukumi najis mutawassithah, sehingga wajib dicuci jika mengenai pakaian atau tubuh.
Dalam konteks artikel ini yang berpegang pada pandangan umum mazhab Syafi'i, mani dianggap suci. Namun, sebagai bentuk kehati-hatian dan mengikuti adab kebersihan, membersihkannya tetap dianjurkan.
9. Bagian Anggota Badan Manusia yang Terpisah (Kecuali Rambut, Kuku, Darah)
Anggota badan manusia yang terpisah saat hidup (misalnya potongan jari, gigi yang lepas) atau setelah meninggal, selain rambut, kuku, dan darah, dihukumi najis. Ini karena kehormatan manusia menuntut bahwa bagian tubuhnya tidak boleh diperlakukan sembarangan dan dianggap kotor jika terpisah. Namun, rambut dan kuku yang terpisah adalah suci.
Cara Mensucikan: Jika mengenai sesuatu, bagian yang terkena harus dicuci. Sedangkan bagian tubuh itu sendiri harus dikuburkan.
Implikasi Najis Terhadap Ibadah
Kehadiran najis memiliki dampak yang signifikan terhadap keabsahan beberapa ibadah penting dalam Islam. Oleh karena itu, memahami dan menghilangkan najis adalah prasyarat mutlak untuk menunaikan ibadah-ibadah tersebut.
1. Salat
Salat adalah rukun Islam kedua dan merupakan tiang agama. Salah satu syarat sah salat adalah suci dari najis. Ini mencakup tiga aspek:
-
Suci Badan
Tubuh seorang Muslim harus bebas dari najis hakiki. Jika ada najis pada anggota badan, salatnya tidak sah sampai najis tersebut disucikan. Misalnya, jika ada darah pada tangan, atau urine pada kaki, maka harus dicuci hingga bersih sebelum salat.
-
Suci Pakaian
Pakaian yang dikenakan saat salat juga harus suci dari najis. Jika ada bagian pakaian yang terkena najis, maka pakaian tersebut harus dicuci atau diganti dengan yang suci sebelum salat. Bahkan najis yang sedikit pun jika mengenai pakaian dan disadari, dapat membatalkan salat jika tidak disucikan.
-
Suci Tempat
Tempat atau area yang digunakan untuk salat juga harus suci dari najis. Karpet, sajadah, atau lantai harus dipastikan bersih dari najis. Jika ada najis di tempat salat, maka wajib dibersihkan atau diganti tempatnya. Toleransi diberikan untuk najis yang sangat sedikit atau tidak terlihat yang sulit dihindari (misalnya, sisa najis yang sudah dibersihkan namun menyisakan sedikit noda yang tidak berbau).
Jika seseorang salat dalam keadaan ada najis pada badan, pakaian, atau tempat salatnya, dan ia mengetahuinya saat salat, maka salatnya batal dan wajib mengulang setelah bersuci. Jika ia mengetahuinya setelah selesai salat, maka ia wajib mengulang salatnya.
2. Tawaf
Tawaf adalah ibadah mengelilingi Ka'bah yang merupakan bagian dari haji dan umrah. Syarat sah tawaf sama seperti salat, yaitu harus suci dari hadas (berwudu) dan suci dari najis (badan, pakaian, tempat).
Jika seseorang tawaf dalam keadaan terkena najis, tawafnya tidak sah dan harus diulang setelah bersuci. Pentingnya kesucian dalam tawaf menekankan kehormatan Baitullah dan kesucian ibadah di Tanah Haram.
3. Menyentuh dan Membaca Al-Qur'an (Mushaf)
Para ulama sepakat bahwa menyentuh mushaf Al-Qur'an (kitab fisik Al-Qur'an) mensyaratkan suci dari hadas kecil maupun hadas besar. Namun, terkait najis, seseorang harus suci dari najis pada tangan dan pakaiannya jika ingin menyentuh mushaf. Jika tangan seseorang terkena najis, ia tidak boleh menyentuh mushaf sampai tangannya disucikan.
Membaca Al-Qur'an tanpa menyentuh mushaf (misalnya dari hafalan atau melalui aplikasi di gawai) tidak mensyaratkan suci dari hadas kecil, tetapi tetap disunahkan. Namun, tetap diwajibkan suci dari hadas besar dan bersih dari najis jika ingin melakukan salat atau ibadah lain. Jika ada najis di mulut atau tempat lain yang tampak menjijikkan, sebaiknya dibersihkan sebelum membaca Al-Qur'an sebagai bentuk penghormatan.
4. Ibadah Lainnya
Meskipun tidak semua ibadah mensyaratkan suci dari najis secara ketat seperti salat dan tawaf, menjaga kebersihan dari najis adalah bagian dari kebersihan umum dalam Islam dan merupakan adab yang baik dalam setiap aktivitas, terutama yang berkaitan dengan Allah SWT. Misalnya, berdiam diri di masjid (i'tikaf) atau berzikir akan lebih afdal jika dilakukan dalam keadaan suci dari najis.
Tata Cara Mensucikan Najis Hakiki
Pensucian najis hakiki memiliki metode yang berbeda-beda tergantung jenis najisnya. Namun, prinsip umumnya adalah menghilangkan zat, warna, bau, dan rasa najis tersebut dengan air suci mensucikan.
1. Pensucian Najis Mughallazhah (Anjing dan Babi)
Metode pensuciannya adalah sebagai berikut:
- Hilangkan Zat Najis: Pertama-tama, bersihkan zat najisnya yang berwujud (misalnya kotoran atau air liur) dari benda yang terkena najis. Ini bisa dengan mengikis, mengelap, atau membilasnya terlebih dahulu.
-
Cuci dengan Air Campur Tanah: Setelah zat najis hilang, cuci area tersebut sebanyak tujuh kali. Salah satu dari tujuh cucian tersebut harus dicampur dengan debu atau tanah yang suci. Urutannya bisa air tanah dulu, baru air bersih 6 kali, atau 6 kali air bersih baru air tanah, atau di tengah-tengah. Yang penting adalah ada satu cucian yang menggunakan air tanah.
Contoh Praktis: Jika tangan terkena air liur anjing, basahi tangan, lalu ambil sedikit tanah suci dan gosokkan pada bagian yang terkena. Bilas dengan air bersih hingga tanah dan air liur hilang. Kemudian, cuci tangan dengan air bersih murni sebanyak enam kali lagi. Pastikan air mengalir dan mengenai seluruh area yang terkena najis.
- Gunakan Air Mutlak: Air yang digunakan untuk pensucian haruslah air mutlak (air murni yang suci dan mensucikan), seperti air sumur, air hujan, air sungai, dll.
2. Pensucian Najis Mutawassithah
Metode pensuciannya adalah sebagai berikut:
- Hilangkan Zat Najis: Bersihkan terlebih dahulu wujud najis (misalnya kotoran, darah, urine yang masih terlihat) dari benda yang terkena najis. Ini bisa dengan mengelap, mengikis, atau membilas.
-
Siram dengan Air Bersih: Setelah wujud najis hilang, siram atau cuci area tersebut dengan air bersih yang mengalir hingga tidak ada lagi warna, bau, atau rasa najis. Tidak ada batasan jumlah cucian, yang penting adalah yakin najisnya telah hilang.
Contoh Praktis: Jika pakaian terkena urine, bilaslah urine tersebut dengan air hingga hilang bekasnya. Lalu, cuci pakaian tersebut dengan air bersih hingga tidak ada lagi bau atau noda. Penggunaan sabun diperbolehkan dan sangat dianjurkan untuk membantu menghilangkan bau dan bekas najis.
- Najis Hukmiyah: Jika najisnya adalah najis hukmiyah (tidak ada wujud, warna, bau, atau rasa), cukup siramkan air bersih satu kali saja ke seluruh area yang terkena najis hingga merata.
3. Pensucian Najis Mukhaffafah (Urine Bayi Laki-laki)
Metode pensuciannya adalah sebagai berikut:
- Periksa Kriteria: Pastikan najis tersebut adalah urine bayi laki-laki yang belum makan apa pun selain ASI dan belum berusia dua tahun.
-
Percikkan Air: Cukup dengan memercikkan air bersih ke seluruh area yang terkena urine hingga merata. Tidak perlu menggosok atau mencuci dengan banyak air. Air yang dipercikkan harus lebih banyak dari volume urine, namun tidak harus sampai mengalir deras.
Contoh Praktis: Jika pakaian terkena urine bayi laki-laki yang memenuhi syarat, cukup ambil segenggam air lalu percikkan secara merata ke seluruh area yang terkena urine. Tidak perlu direndam atau digosok.
Air dan Media Pensucian
- Air Mutlak: Semua pensucian wajib menggunakan air mutlak (air yang suci lagi mensucikan), seperti air keran, air sumur, air hujan, air sungai, air laut, air embun, atau air salju yang sudah meleleh. Air yang sudah bercampur dengan najis (air mutawajjis) tidak bisa digunakan untuk bersuci.
- Sabun dan Deterjen: Penggunaan sabun, deterjen, atau bahan pembersih lainnya sangat dianjurkan untuk membantu menghilangkan bekas najis, bau, dan warna, terutama untuk najis mutawassithah. Namun, yang pokok adalah air mutlak itu sendiri.
- Tanah/Debu: Khusus untuk najis mughallazhah. Tanah yang digunakan harus tanah yang suci dan tidak bercampur dengan najis lain.
- Batu atau Tisu (Istinja'): Untuk membersihkan kotoran setelah buang air besar atau kecil (istinja'), diperbolehkan menggunakan batu, tisu, atau benda padat lain yang bersih, asalkan najisnya tidak menyebar terlalu luas dan tidak berbau. Setelah itu, tetap disunahkan untuk membersihkan dengan air hingga bersih sempurna.
Situasi Khusus dan Permasalahan dalam Pensucian Najis
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin menghadapi berbagai situasi yang menimbulkan pertanyaan seputar pensucian najis. Islam sebagai agama yang fleksibel dan mudah telah memberikan panduan untuk kasus-kasus khusus ini.
1. Najis yang Sulit Dihilangkan Bekasnya
Terkadang, setelah dicuci berkali-kali, najis mutawassithah seperti darah atau tinta mungkin meninggalkan bekas warna atau noda yang sangat sulit atau bahkan tidak bisa dihilangkan tanpa merusak benda tersebut. Dalam kasus ini, jika zat najis (material kotornya) dan baunya sudah hilang, maka sisa warna yang sulit dihilangkan tersebut dimaafkan (ma'fu).
Dalil: Ini berdasarkan prinsip keringanan dalam Islam. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang darah haid pada pakaian, Cukuplah kamu menggosoknya, kemudian membasuh dengan air, maka shalatlah dengan pakaian itu.
Ini menunjukkan bahwa jika ada sisa warna yang sudah tidak bisa dihilangkan lagi setelah upaya maksimal, maka dimaafkan.
2. Najis yang Mengenai Makanan dan Minuman
-
Makanan Padat
Jika najis mengenai makanan padat (misalnya nasi, roti, buah), maka bagian yang terkena najis wajib dibuang atau dipotong, sementara bagian yang tidak terkena najis tetap suci dan boleh dimakan. Jika sulit dipisahkan, atau najisnya telah menyebar ke seluruh makanan, maka seluruh makanan tersebut menjadi najis dan tidak boleh dimakan.
-
Makanan Cair (Air, Minyak, Susu)
Jika najis jatuh ke dalam makanan cair atau air yang sedikit (kurang dari dua kulah/sekitar 270 liter), maka seluruh cairan tersebut menjadi najis, meskipun najisnya sedikit. Hal ini karena najis dapat menyebar dan merusak sifat cairannya.
Jika najis jatuh ke dalam air yang banyak (dua kulah atau lebih), maka air tersebut tidak menjadi najis kecuali jika najis tersebut mengubah salah satu dari tiga sifat air: warna, bau, atau rasa.
Minyak atau Cairan Kental: Jika najis jatuh ke dalam minyak atau cairan kental, najisnya akan menyebar. Umumnya, jika najis itu berupa benda padat dan bisa diangkat, sebagian ulama mengatakan bagian yang terkena najis di sekitar benda itu bisa dibuang. Namun, jika najisnya berupa cairan atau telah menyebar, maka seluruhnya menjadi najis.
3. Najis yang Tidak Terlihat (Najis Hukmiyah)
Seperti yang sudah dijelaskan, najis hukmiyah adalah najis yang wujudnya sudah hilang tetapi hukumnya masih najis. Misalnya, urine yang sudah mengering dan tidak meninggalkan bau atau warna. Untuk mensucikannya, cukup dengan mengalirkan air mutlak ke atasnya sekali hingga merata.
4. Keraguan akan Adanya Najis (Syak)
Dalam syariat Islam, keyakinan tidak dapat dihilangkan oleh keraguan. Jika seseorang yakin dirinya suci, kemudian ia ragu apakah ia terkena najis atau tidak, maka hukum asalnya adalah suci. Ia tidak wajib mencari tahu atau bersuci. Kewajiban bersuci hanya berlaku jika ada keyakinan kuat atau bukti yang jelas bahwa memang ada najis.
Ini adalah prinsip penting untuk menghindari waswas (keraguan yang berlebihan) dalam agama.
5. Najis yang Mengenai Kulit atau Rambut
Jika najis mengenai kulit atau rambut manusia, maka cukup dicuci dengan air bersih hingga najisnya hilang. Tidak ada perlakuan khusus seperti menggunakannya bersama tanah kecuali jika najisnya adalah najis mughallazhah.
6. Najis pada Alas Kaki
Jika alas kaki (sepatu atau sandal) terkena najis, dan najis tersebut bukan dari anjing atau babi, maka cukup menggosokkannya ke tanah hingga najisnya hilang dan tidak ada bekasnya. Ini adalah keringanan khusus untuk alas kaki yang sering terkena kotoran di jalan. Namun, lebih sempurna jika dicuci dengan air.
Dalil: Hadis Nabi SAW, Jika salah seorang dari kalian menginjak kotoran (najis) dengan sandalnya, maka tanah itu adalah pembersihnya.
7. Keringanan (Rukhsah) dan Darurat
Islam adalah agama yang mengedepankan kemudahan. Ada beberapa kondisi darurat atau keringanan (rukhsah) terkait najis:
- Najis yang Sedikit dan Sulit Dihindari (Ma'fu): Sedikit darah yang keluar dari luka kecil, nanah atau muntah yang sedikit dan sulit dihindari, atau kotoran burung yang beterbangan yang sulit dihindari, dimaafkan. Artinya, keberadaannya tidak membatalkan salat. Batasan sedikit atau banyaknya ini dikembalikan kepada 'urf (kebiasaan umum) dan ijtihad ulama, namun umumnya tidak boleh lebih dari satu dirham (sekitar koin 500 rupiah).
- Terkena Najis Saat Terdesak: Jika seseorang terpaksa salat dengan najis karena tidak ada air, tidak ada pakaian lain yang suci, atau tidak ada waktu untuk membersihkan, maka ia tetap wajib salat dalam keadaan tersebut, dan salatnya sah. Namun, jika kondisi darurat sudah hilang, sebagian ulama menyarankan untuk mengulang salatnya (i'adah).
- Orang Sakit: Bagi orang sakit yang tidak mampu membersihkan najis sendiri dan tidak ada yang bisa membantunya, ia diberikan keringanan. Ia salat sesuai kemampuannya, dan najis pada tubuh atau pakaiannya dimaafkan selama ia tidak mampu membersihkannya.
Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa Islam tidak memberatkan umatnya dan selalu memberikan solusi dalam setiap kondisi, selama ada niat untuk menjaga kesucian semaksimal mungkin.
Hikmah di Balik Hukum Najis dan Kesucian
Setiap syariat yang ditetapkan oleh Allah SWT pasti memiliki hikmah dan tujuan yang mulia, baik yang dapat dipahami oleh akal manusia maupun yang hanya diketahui oleh-Nya. Demikian pula dengan hukum-hukum terkait najis dan pensuciannya.
-
Kebersihan Jasmani dan Rohani
Aturan tentang najis mendorong umat Islam untuk senantiasa menjaga kebersihan fisik. Lingkungan yang bersih dari najis akan menciptakan suasana yang sehat dan nyaman. Lebih dari itu, kebersihan fisik merupakan cerminan dari kebersihan rohani. Seseorang yang peduli terhadap kebersihan fisiknya cenderung akan lebih peduli terhadap kebersihan hati dan jiwanya dari dosa dan maksiat. Kesucian dari najis adalah langkah awal menuju kesucian hati, yang mana Allah mencintai orang-orang yang bersuci.
-
Kesehatan Masyarakat
Banyak benda yang dihukumi najis (seperti kotoran, urine, darah, bangkai) secara medis memang mengandung bakteri, virus, atau parasit yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Syariat Islam datang jauh sebelum penemuan ilmu kedokteran modern untuk melindungi umatnya dari berbagai penyakit. Misalnya, tata cara pensucian najis mughallazhah dengan tanah menunjukkan pemahaman akan sifat desinfektan alami tanah.
-
Meningkatkan Kesadaran dan Disiplin
Memahami dan mempraktikkan hukum najis membutuhkan tingkat kesadaran dan disiplin yang tinggi. Seorang Muslim harus senantiasa waspada terhadap lingkungannya, memastikan tidak ada najis yang mengenai dirinya, pakaiannya, atau tempat ibadahnya. Ini melatih kepekaan dan tanggung jawab individu terhadap kebersihan dan kesucian.
-
Penghormatan Terhadap Ibadah
Persyaratan suci dari najis untuk salat, tawaf, dan menyentuh mushaf adalah bentuk penghormatan tertinggi terhadap ibadah dan syiar-syiar Allah. Dengan bersuci, seorang hamba mempersiapkan dirinya dalam kondisi terbaik untuk menghadap Rabb-nya, menunjukkan keseriusan dan pengagungan terhadap ajaran-Nya. Ini juga membedakan ibadah dalam Islam dari sekadar aktivitas fisik biasa.
-
Pembeda Antara Halal dan Haram
Hukum najis juga berfungsi sebagai pembeda yang jelas antara yang halal dan yang haram, yang baik dan yang buruk. Babi dan anjing yang dihukumi najis mughallazhah, misalnya, merupakan penegasan akan keharaman mutlaknya dalam Islam. Ini membentuk identitas moral dan etika bagi seorang Muslim.
-
Pendidikan tentang Batasan
Melalui hukum najis, umat Islam diajarkan tentang batasan-batasan dan larangan-larangan. Ini melatih ketaatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah, bahkan dalam hal-hal yang mungkin terlihat sepele namun memiliki dampak besar dalam pandangan syariat.
Dengan demikian, hukum najis bukanlah sekadar aturan kaku, melainkan sebuah sistem yang komprehensif untuk menjaga kemaslahatan individu dan masyarakat, baik di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan
Pemahaman yang mendalam tentang najis hakiki adalah fondasi penting bagi setiap Muslim yang ingin melaksanakan ibadahnya dengan benar dan sempurna. Kita telah menguraikan definisi najis hakiki sebagai benda-benda kotor yang berwujud nyata menurut syariat, membedakannya dari hadas yang merupakan kondisi tidak suci secara hukum.
Klasifikasi najis menjadi mughallazhah (berat), mutawassithah (sedang), dan mukhaffafah (ringan) memberikan kerangka kerja yang jelas untuk memahami tingkat kekotoran dan metode pensucian yang sesuai. Najis mughallazhah yang melibatkan anjing dan babi memerlukan pensucian dengan air tujuh kali, salah satunya dengan tanah. Najis mutawassithah, yang mencakup mayoritas kotoran seperti darah, urine, kotoran, bangkai (selain ikan dan belalang), khamr, nanah, muntah, wadi, dan mazi, memerlukan pencucian dengan air hingga hilang wujud, warna, bau, dan rasanya. Sementara najis mukhaffafah, yaitu urine bayi laki-laki yang hanya minum ASI dan belum dua tahun, cukup dengan memercikkan air.
Implikasi najis terhadap ibadah sangatlah besar. Kehadiran najis pada badan, pakaian, atau tempat ibadah dapat membatalkan keabsahan salat, tawaf, dan menyentuh mushaf Al-Qur'an. Oleh karena itu, memastikan kesucian dari najis adalah prasyarat mutlak sebelum menunaikan ibadah-ibadah tersebut.
Islam adalah agama yang mengedepankan kemudahan. Syariat telah memberikan berbagai keringanan dan solusi untuk situasi-situasi khusus, seperti najis yang sulit dihilangkan bekasnya, najis yang mengenai makanan, keraguan akan adanya najis, hingga kondisi darurat yang tidak memungkinkan pensucian sempurna. Prinsip-prinsip ini menunjukkan bahwa tujuan utama syariat adalah menjaga kemaslahatan dan menghilangkan kesulitan bagi umat.
Pada akhirnya, hukum najis dan kesucian bukan hanya tentang kebersihan fisik semata, tetapi juga tentang kebersihan rohani, kesehatan, disiplin, penghormatan terhadap ibadah, serta pembeda antara yang halal dan haram. Dengan menjaga diri dari najis, seorang Muslim tidak hanya memenuhi perintah Allah, tetapi juga meraih hikmah dan manfaat besar dalam kehidupan dunia dan akhirat. Semoga pemahaman ini semakin memantapkan langkah kita dalam beribadah kepada Allah SWT dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.