Dalam setiap peradaban, dari masa lalu yang paling kuno hingga era digital yang serbacanggih, terdapat satu elemen yang selalu menjadi denyut nadi, fondasi, dan sekaligus tulang punggung: “orang am”. Istilah ini, meski terdengar sederhana, merujuk pada lapisan masyarakat yang luas, mereka yang sehari-hari menggerakkan roda kehidupan, membangun peradaban dengan keringat dan kerja keras, namun seringkali luput dari sorotan sejarah dan narasi besar. Mereka adalah petani yang mengolah tanah, buruh yang menggerakkan industri, pedagang kecil yang menghidupkan pasar, pengrajin yang melestarikan warisan, ibu rumah tangga yang membangun keluarga, dan jutaan individu lain yang, melalui aktivitas rutin mereka, membentuk struktur sosial, ekonomi, dan budaya sebuah bangsa. Memahami "orang am" bukan hanya tentang mengidentifikasi kelompok demografi, tetapi menyelami esensi kemanusiaan, ketahanan, kearifan lokal, serta kekuatan yang tak tergoyahkan dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Artikel ini akan membawa kita pada sebuah perjalanan komprehensif untuk menyingkap identitas, warisan, dan kontribusi abadi "orang am" dalam konteks Indonesia. Kita akan menjelajahi berbagai aspek kehidupan mereka, mulai dari definisi dan sejarah, peran sosial-ekonomi, kekayaan budaya, hingga keterlibatan dalam dinamika politik dan tantangan kontemporer. Tujuan utamanya adalah untuk mengangkat narasi yang sering tersembunyi, memberikan pengakuan terhadap peran fundamental mereka, dan menginspirasi apresiasi yang lebih mendalam terhadap kekuatan kolektif yang mendasari eksistensi kita sebagai sebuah bangsa.
Istilah "orang am" dalam bahasa Indonesia secara harfiah dapat diartikan sebagai "orang umum" atau "masyarakat umum." Namun, maknanya jauh lebih dalam dari sekadar definisi kamus. Ia merujuk pada mayoritas penduduk yang bukan bagian dari elit penguasa, bangsawan, cendekiawan terkemuka, atau kelompok istimewa lainnya. Mereka adalah rakyat biasa, kaum jelata, warga negara yang tidak memegang kekuasaan politik signifikan, kekayaan berlimpah, atau pengaruh sosial yang luar biasa. Namun, justru dalam "ke-biasa-an" inilah terletak kekuatan mereka yang luar biasa.
Dalam konteks sosiologi dan sejarah, "orang am" seringkali dikaitkan dengan istilah-istilah seperti "rakyat kecil," "kaum marjinal," "akar rumput," atau "wong cilik" dalam tradisi Jawa. Istilah-istilah ini mencerminkan posisi mereka di dasar piramida sosial, namun sekaligus mengindikasikan bahwa mereka adalah fondasi piramida itu sendiri. Mereka adalah sumber daya manusia terbesar, basis konsumen dan produsen, serta penjaga tradisi dan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Penting untuk diingat bahwa identitas "orang am" tidaklah statis. Ia terus berevolusi seiring dengan perubahan zaman dan struktur sosial. Di masa feodal, mereka adalah rakyat jelata yang terikat pada tanah dan penguasa. Di era kolonial, mereka adalah subjek yang dieksploitasi. Di masa kemerdekaan, mereka adalah warga negara yang berhak atas partisipasi dan kesejahteraan. Meski demikian, inti dari identitas mereka—yakni sebagai mayoritas non-elit yang menggerakkan kehidupan sehari-hari—tetap konsisten.
Jauh sebelum konsep negara modern lahir, "orang am" sudah menjadi pilar utama dalam masyarakat pra-modern di Nusantara. Di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, mereka adalah para petani yang menyediakan pangan, para pengrajin yang menciptakan barang-barang kebutuhan dan kemewahan, serta prajurit yang membela wilayah. Struktur sosial pada masa itu memang sangat hierarkis, dengan raja dan bangsawan di puncak, namun keberadaan dan kerja keras "orang am" adalah prasyarat bagi kelangsungan sistem tersebut.
Dalam sistem feodal, "orang am" seringkali terikat pada tanah atau wilayah tertentu, di bawah kekuasaan seorang bangsawan atau raja. Mereka wajib memberikan upeti, tenaga kerja (corvée), atau hasil panen sebagai bentuk pengabdian. Meskipun demikian, dalam komunitas-komunitas pedesaan, mereka memiliki otonomi tertentu dalam mengelola kehidupan sehari-hari melalui adat istiadat dan tradisi lokal. Gotong royong, musyawarah desa, dan sistem irigasi komunal adalah contoh-contoh nyata bagaimana "orang am" membangun tatanan sosial yang mandiri dan berdaya.
Narasi sejarah seringkali berfokus pada para raja, pahlawan, dan peristiwa besar di istana. Namun, sejarah sejati sebuah peradaban juga terukir dalam cerita-cerita rakyat yang diturunkan dari generasi ke generasi, dalam lagu-lagu yang dinyanyikan saat bekerja di sawah, dalam arsitektur rumah-rumah sederhana, dan dalam ritual-ritual yang menjaga keseimbangan alam dan spiritual. Semua ini adalah warisan tak ternilai dari "orang am" yang membentuk kebudayaan kita.
Kedatangan kekuatan kolonial membawa perubahan drastis dalam kehidupan "orang am." Struktur hierarki tradisional dimodifikasi untuk kepentingan eksploitasi sumber daya. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), kerja rodi, dan berbagai bentuk pajak serta pungutan memaksa "orang am" untuk bekerja lebih keras dengan imbalan yang minim, bahkan seringkali tanpa imbalan sama sekali.
Meskipun demikian, masa kolonial juga menjadi saksi bisu atas ketahanan dan perlawanan "orang am." Perlawanan ini tidak selalu dalam bentuk perang besar yang dipimpin oleh pahlawan nasional. Seringkali, perlawanan mereka adalah perlawanan sehari-hari: sabotase kecil, penolakan diam-diam untuk mematuhi perintah, melarikan diri dari kerja paksa, atau sekadar mempertahankan adat dan kepercayaan mereka di tengah tekanan asing. Pemberontakan petani di berbagai daerah, meskipun seringkali berakhir tragis, menunjukkan bahwa api perlawanan tidak pernah sepenuhnya padam.
Di balik narasi besar perang kemerdekaan, ada jutaan "orang am" yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung perjuangan. Mereka menyediakan makanan untuk para pejuang, menyembunyikan mereka dari kejaran musuh, menjadi informan, atau sekadar menjaga moral dan semangat di tengah krisis. Kontribusi mereka, meskipun tidak selalu tercatat dalam buku-buku sejarah formal, adalah essential bagi keberhasilan perjuangan bangsa.
Gerakan nasionalis yang muncul pada awal abad modern mulai mencoba merangkul "orang am" sebagai basis massa. Para intelektual dan pemimpin pergerakan menyadari bahwa kemerdekaan tidak akan tercapai tanpa dukungan dan partisipasi rakyat luas. Organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, yang awalnya bergerak di bidang ekonomi dan agama, berhasil menarik jutaan anggota dari kalangan pedagang kecil, petani, dan buruh, menunjukkan potensi kekuatan politik "orang am."
Pada puncak perjuangan kemerdekaan, "orang am" adalah kekuatan utama. Mereka adalah tentara rakyat, laskar-laskar perjuangan, dan pendukung logistik yang tak terhitung jumlahnya. Proklamasi kemerdekaan adalah momentum yang mentransformasi "orang am" dari subjek jajahan menjadi warga negara merdeka, dengan hak dan kewajiban yang sama. Ini adalah janji bahwa pengorbanan mereka tidak akan sia-sia, dan bahwa masa depan bangsa akan dibangun atas dasar keadilan dan kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.
Kehidupan sosial-ekonomi "orang am" adalah cerminan dari dinamika sebuah bangsa. Mereka adalah para pekerja, konsumen, dan inovator kecil yang tak henti-hentinya berusaha menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi diri dan keluarga mereka. Di sinilah terletak detak jantung ekonomi riil dan keberlanjutan sosial.
Mayoritas "orang am" di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, bergantung pada sektor-sektor primer seperti pertanian dan perikanan. Petani adalah tulang punggung ketersediaan pangan nasional. Dengan tangan dan alat sederhana, mereka mengolah tanah, menanam padi, sayuran, buah-buahan, dan komoditas lainnya. Kehidupan mereka sangat terkait dengan ritme alam: musim tanam, musim panen, cuaca, dan kesuburan tanah. Meskipun menghadapi tantangan seperti perubahan iklim, fluktuasi harga pupuk, dan keterbatasan lahan, mereka terus berjuang untuk menopang keluarga dan menyediakan kebutuhan pokok masyarakat.
Sama halnya dengan nelayan, yang dengan perahu kecil dan jaring mereka melaut setiap hari, mempertaruhkan nyawa demi mencari ikan. Mereka adalah bagian dari ekosistem pesisir, menjaga tradisi maritim, dan menyediakan protein penting bagi masyarakat. Namun, mereka juga rentan terhadap eksploitasi, alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta dampak perubahan iklim dan pencemaran laut.
Di perkotaan dan daerah industri, "orang am" seringkali menjadi buruh harian, pekerja lepas, atau karyawan pabrik dengan upah minimum. Mereka bekerja di sektor konstruksi, manufaktur, jasa, atau informal. Kehidupan mereka penuh ketidakpastian: tidak ada jaminan pekerjaan tetap, pendapatan yang fluktuatif, dan minimnya akses terhadap jaminan sosial. Meskipun demikian, mereka adalah roda penggerak ekonomi, menyumbangkan tenaga dan waktu mereka untuk membangun infrastruktur, memproduksi barang, dan menyediakan jasa yang kita nikmati setiap hari.
Di samping sektor primer dan buruh, "orang am" juga aktif dalam perdagangan kecil dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Mereka adalah pemilik warung kelontong di sudut jalan, pedagang sayur keliling, tukang bakso, penjahit rumahan, atau pengrajin batik skala kecil. UMKM adalah tulang punggung ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, mendistribusikan pendapatan, dan menyediakan barang serta jasa yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari.
Keberadaan mereka sangat penting untuk ekonomi yang inklusif. Mereka seringkali menjadi jaring pengaman sosial bagi keluarga yang tidak memiliki akses ke pekerjaan formal. Dengan modal yang terbatas dan kegigihan yang luar biasa, mereka berjuang untuk menghidupi keluarga dan bahkan mengembangkan usaha mereka sedikit demi sedikit. Mereka adalah contoh nyata dari semangat kewirausahaan akar rumput yang tak pernah padam, meskipun seringkali menghadapi tantangan birokrasi, persaingan ketat, dan keterbatasan akses modal.
Salah satu ciri khas kehidupan sosial-ekonomi "orang am" adalah kuatnya solidaritas komunal. Konsep gotong royong, yang sudah mengakar dalam budaya Indonesia, adalah manifestasi nyata dari semangat ini. Dari membangun rumah, membersihkan lingkungan, hingga membantu tetangga yang sedang kesusahan, gotong royong menunjukkan bahwa dalam kebersamaan, beban menjadi lebih ringan dan pekerjaan menjadi lebih mudah.
Di luar gotong royong, terdapat pula berbagai bentuk jaring pengaman sosial tradisional lainnya, seperti arisan, simpan pinjam di tingkat RT/RW, atau saling bantu-membantu dalam momen-momen penting seperti pernikahan atau kematian. Mekanisme-mekanisme informal ini berfungsi sebagai "bantalan" ekonomi dan sosial, terutama bagi mereka yang tidak memiliki akses ke sistem perbankan formal atau asuransi. Ini menunjukkan kearifan lokal dalam menciptakan sistem dukungan timbal balik yang berbasis pada kepercayaan dan hubungan kekeluargaan atau bertetangga.
Akses terhadap pendidikan formal seringkali menjadi tantangan bagi "orang am," terutama di daerah terpencil atau bagi keluarga dengan ekonomi terbatas. Namun, ini tidak berarti mereka miskin pengetahuan. Sebaliknya, "orang am" adalah pewaris dan penjaga pengetahuan lokal dan tradisional yang sangat kaya. Pengetahuan tentang pertanian, pengobatan herbal, navigasi, kerajinan tangan, dan berbagai kearifan hidup lainnya diturunkan dari generasi ke generasi melalui praktik dan tradisi lisan.
Meski demikian, perjuangan untuk mendapatkan pendidikan formal tetap menjadi prioritas. Banyak keluarga "orang am" yang berjuang keras agar anak-anak mereka bisa bersekolah, bahkan hingga jenjang perguruan tinggi, demi mewujudkan mimpi akan masa depan yang lebih baik. Kisah-kisah inspiratif tentang anak petani yang berhasil menjadi dokter atau anak buruh yang menjadi insinyur adalah bukti nyata dari kegigihan dan harapan yang diemban oleh "orang am" melalui pendidikan.
Sama halnya dengan pendidikan, akses terhadap layanan kesehatan yang layak juga menjadi isu krusial bagi "orang am." Jarak ke fasilitas kesehatan, biaya pengobatan, dan kurangnya informasi seringkali menjadi penghalang. Akibatnya, mereka seringkali mengandalkan pengobatan tradisional, dukun, atau praktik-praktik pengobatan alternatif yang telah diwariskan secara turun-temurun. Meskipun beberapa di antaranya memiliki nilai dan efektivitas tertentu, ketiadaan akses ke layanan medis modern yang komprehensif tetap merupakan masalah serius.
Pemerintah dan berbagai organisasi berupaya untuk meningkatkan akses kesehatan bagi "orang am" melalui program-program kesehatan masyarakat, puskesmas, dan asuransi kesehatan. Namun, tantangan masih besar, terutama dalam memastikan kualitas layanan dan pemerataan akses di seluruh pelosok negeri. Kesejahteraan "orang am" sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk mengakses layanan dasar ini.
Budaya adalah cerminan jiwa sebuah bangsa, dan "orang am" adalah penjaga sekaligus pencipta budaya yang paling otentik. Dari tradisi lisan hingga seni pertunjukan, warisan budaya yang mereka lestarikan membentuk identitas kolektif kita.
Sebelum era tulisan dan media massa, sejarah, nilai-nilai, dan kearifan lokal diturunkan melalui tradisi lisan. "Orang am" adalah para pencerita ulung yang menjaga warisan ini. Cerita rakyat, legenda, mitos, dongeng, dan peribahasa tidak hanya menghibur, tetapi juga berfungsi sebagai media pendidikan moral, sejarah, dan filosofi hidup.
Melalui cerita-cerita ini, anak-anak belajar tentang asal-usul tempat mereka, tokoh-tokoh lokal, pentingnya kejujuran, keberanian, gotong royong, dan penghormatan terhadap alam. Ini adalah bentuk pendidikan informal yang sangat kuat, membentuk karakter dan pandangan dunia masyarakat. Meskipun modernisasi dan gempuran media digital mengancam keberlanjutan tradisi ini, masih banyak "orang am" yang setia melestarikan dan menuturkannya kepada generasi muda.
Seni pertunjukan rakyat adalah salah satu bentuk ekspresi budaya "orang am" yang paling kaya dan beragam. Dari musik tradisional seperti gamelan, angklung, kolintang, hingga tari-tarian daerah yang meriah, serta teater rakyat seperti wayang kulit, ludruk, lenong, atau ketoprak, semuanya adalah hasil kreasi dan pelestarian oleh "orang am."
Seni pertunjukan ini bukan hanya hiburan. Ia memiliki fungsi sosial yang mendalam: sebagai sarana ritual keagamaan, perayaan panen, upacara adat, penyampaian kritik sosial secara halus, hingga media pemersatu komunitas. Para seniman dan penari rakyat, meskipun seringkali tidak terkenal di tingkat nasional, adalah pahlawan budaya di komunitas mereka, mendedikasikan hidup mereka untuk menjaga api seni tetap menyala dan menurunkannya kepada generasi berikutnya.
Kehidupan "orang am" sangat kental dengan ritual dan adat istiadat yang mengatur berbagai aspek kehidupan, mulai dari siklus kelahiran, pernikahan, kematian, hingga kegiatan pertanian dan penanggulangan bencana. Setiap ritual memiliki makna simbolis yang mendalam, mencerminkan pandangan dunia, spiritualitas, dan hubungan mereka dengan alam semesta.
Contohnya, upacara bersih desa sebagai wujud syukur atas panen dan memohon perlindungan, sedekah laut sebagai penghormatan kepada penguasa laut, atau berbagai upacara daur hidup yang menandai setiap fase kehidupan individu. Adat istiadat ini bukan hanya warisan masa lalu, tetapi juga sistem nilai yang memandu perilaku, menjaga harmoni sosial, dan membentuk identitas komunal. Pelanggaran terhadap adat seringkali dianggap sebagai pelanggaran terhadap tatanan sosial dan kosmis.
Indonesia adalah negara kepulauan dengan ribuan bahasa dan dialek lokal yang berbeda. "Orang am" adalah penutur utama dan penjaga keberagaman linguistik ini. Setiap bahasa atau dialek membawa serta kekayaan kosakata, struktur gramatikal, dan cara berpikir yang unik, mencerminkan kearifan lokal dan sejarah komunitas penuturnya.
Meskipun bahasa nasional, Bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca yang mempersatukan bangsa, bahasa dan dialek lokal adalah penanda identitas yang kuat bagi "orang am" di komunitas mereka. Pelestarian bahasa-bahasa ini penting untuk menjaga keragaman budaya dan mencegah kepunahan warisan tak benda yang tak ternilai harganya. Generasi muda yang masih menggunakan bahasa daerah adalah harapan untuk kelangsungan warisan linguistik ini.
Batik, tenun, ukiran kayu, anyaman bambu, kerajinan perak, dan berbagai bentuk kerajinan tangan lainnya adalah hasil karya "orang am." Keterampilan ini seringkali diturunkan secara turun-temurun dalam keluarga atau komunitas, menjadi mata pencarian sekaligus ekspresi artistik. Setiap motif, pola, dan bentuk kerajinan memiliki cerita, makna filosofis, dan nilai estetika yang tinggi.
Selain nilai ekonominya, kerajinan tangan ini juga merupakan penanda identitas budaya yang kuat. Misalnya, motif batik tertentu dapat menunjukkan asal daerah atau status sosial pemakainya. Melalui kerajinan ini, "orang am" tidak hanya menciptakan produk yang indah dan fungsional, tetapi juga melestarikan pengetahuan tradisional tentang bahan baku, teknik pembuatan, dan simbolisme budaya. Mereka adalah artisan yang menjaga kehalusan seni dan kearifan lokal.
Meskipun sering dianggap apolitis atau pasif, "orang am" memiliki peran krusial dalam dinamika politik dan perubahan sosial. Suara mereka, baik melalui partisipasi langsung maupun resistensi diam-diam, membentuk arah sebuah negara.
Transformasi dari subjek jajahan menjadi warga negara merdeka adalah lompatan politik terbesar bagi "orang am." Dengan kemerdekaan, mereka secara teori memiliki hak-hak sipil dan politik yang setara: hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Namun, realitasnya, perjuangan untuk mewujudkan hak-hak ini secara penuh masih terus berlangsung.
Selama beberapa dekade setelah kemerdekaan, "orang am" seringkali menjadi objek politik, suara mereka dimobilisasi dalam pemilu atau referendum, namun aspirasi mereka belum sepenuhnya terwakili. Perjuangan untuk demokrasi yang lebih inklusif, di mana setiap suara "orang am" benar-benar berarti, adalah inti dari pembangunan politik di Indonesia.
Ketika hak-hak mereka diabaikan atau kesejahteraan mereka terancam, "orang am" tidak jarang bangkit dalam gerakan sosial. Sejarah Indonesia penuh dengan kisah-kisah gerakan petani yang menuntut reforma agraria, gerakan buruh yang menuntut upah layak dan kondisi kerja manusiawi, atau gerakan masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat mereka dari eksploitasi korporasi.
Gerakan-gerakan ini seringkali dimulai dari tingkat lokal, berbasis pada solidaritas komunitas dan kepemimpinan informal. Meskipun kadang-kadang menghadapi penindasan atau resistensi, mereka berhasil menarik perhatian publik, menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan, dan menjadi kekuatan penting dalam mendorong keadilan sosial. Ini adalah bukti bahwa "orang am" bukanlah kelompok pasif, melainkan aktor aktif dalam pembentukan sejarah dan masa depan bangsa.
Dalam sistem demokrasi, pemilu adalah salah satu mekanisme paling langsung bagi "orang am" untuk menyuarakan pilihan mereka. Jutaan "orang am" berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum, dari tingkat desa hingga nasional, memilih pemimpin yang mereka harapkan dapat mewakili kepentingan mereka.
Namun, seringkali terjadi kesenjangan antara janji politik dan realitas setelah pemilihan. Aspirasi "orang am" mengenai pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang terjangkau, kesempatan kerja, atau keadilan agraria seringkali terabaikan di tengah hiruk-pikuk politik elit. Ini menimbulkan tantangan besar bagi konsolidasi demokrasi dan kepercayaan publik terhadap institusi politik. Pentingnya pendidikan politik dan literasi media bagi "orang am" menjadi semakin krusial agar mereka dapat membuat keputusan yang terinformasi dan menuntut akuntabilitas dari para pemimpin.
Setiap kebijakan pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, secara langsung atau tidak langsung akan berdampak pada kehidupan "orang am." Kebijakan populis seperti subsidi bahan bakar atau harga pangan dapat memberikan kelegaan sementara, namun kebijakan struktural seperti reforma agraria, program pengentasan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, atau investasi dalam pendidikan dan kesehatan memiliki dampak jangka panjang yang lebih signifikan.
Sayangnya, tidak semua kebijakan selalu berpihak pada "orang am." Proyek pembangunan besar seringkali mengorbankan tanah mereka, atau kebijakan ekonomi yang menguntungkan korporasi besar dapat menyingkirkan usaha kecil. Oleh karena itu, pengawasan publik dan partisipasi "orang am" dalam proses perumusan kebijakan sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan berjalan secara inklusif dan adil.
Secara kolektif, "orang am" adalah kontributor terbesar bagi pembangunan nasional. Tenaga kerja mereka menggerakkan sektor pertanian, industri, dan jasa. Pajak yang mereka bayarkan, meskipun dalam jumlah kecil secara individu, secara agregat menjadi sumber pendapatan penting bagi negara. Mereka adalah konsumen yang menggerakkan pasar domestik. Selain itu, dengan menjaga harmoni dan ketertiban di lingkungan mereka, "orang am" juga secara tidak langsung menjaga stabilitas sosial dan keamanan nasional, yang merupakan prasyarat bagi pembangunan.
Tanpa kontribusi harian yang tak terlihat dari "orang am," sebuah negara tidak akan bisa berdiri tegak, apalagi berkembang. Oleh karena itu, investasi pada kesejahteraan, pendidikan, dan pemberdayaan "orang am" bukanlah sekadar bentuk kebaikan, melainkan investasi strategis untuk masa depan dan keberlanjutan bangsa.
Di era modern yang berubah cepat, "orang am" menghadapi tantangan baru yang kompleks, namun juga menyimpan aspirasi dan harapan yang tak tergoyahkan.
Arus globalisasi telah membawa dampak besar bagi "orang am." Produk-produk asing membanjiri pasar, menekan produk lokal dan UMKM. Pola konsumsi bergeser dari produk tradisional ke produk modern yang seringkali diiklankan secara masif. Budaya global juga merembes masuk melalui media, mengikis beberapa nilai dan tradisi lokal, terutama di kalangan generasi muda.
Namun, globalisasi juga membawa peluang. Beberapa "orang am" berhasil memanfaatkan platform digital untuk menjual produk kerajinan mereka ke pasar internasional, atau mengembangkan pariwisata berbasis komunitas. Tantangannya adalah bagaimana "orang am" dapat beradaptasi dengan perubahan ini tanpa kehilangan identitas dan kearifan lokal mereka, serta bagaimana pemerintah dapat melindungi dan memberdayakan mereka untuk bersaing di pasar global.
Revolusi digital adalah kekuatan transformatif lainnya. "Orang am" mulai merasakan dampaknya, baik positif maupun negatif. Akses ke internet dan telepon pintar semakin meluas, memungkinkan mereka untuk berkomunikasi, mencari informasi, dan bahkan berpartisipasi dalam ekonomi digital.
Namun, masih ada kesenjangan digital yang signifikan. Banyak "orang am," terutama di daerah terpencil atau yang lebih tua, tidak memiliki akses atau keterampilan untuk memanfaatkan teknologi digital secara optimal. Ini menciptakan risiko marginalisasi lebih lanjut. Di sisi lain, teknologi juga membuka peluang baru: petani dapat mengakses informasi pasar, pedagang kecil dapat menjual produk secara daring, dan komunitas dapat mengorganisir diri melalui media sosial. Pemberdayaan digital bagi "orang am" adalah kunci untuk memastikan mereka tidak tertinggal dalam era ini.
"Orang am" adalah kelompok yang paling rentan terhadap dampak perubahan lingkungan dan bencana alam. Petani menghadapi kekeringan atau banjir yang merusak panen mereka. Nelayan menghadapi perubahan pola ikan dan cuaca ekstrem. Masyarakat pesisir terancam oleh kenaikan permukaan air laut. Krisis iklim secara langsung mengancam mata pencarian dan kehidupan sehari-hari mereka.
Kearifan lokal dalam mengelola lingkungan dan beradaptasi dengan alam menjadi semakin penting. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil memiliki peran krusial dalam membantu "orang am" untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim, menyediakan akses ke sumber daya yang berkelanjutan, dan melindungi mereka dari eksploitasi lingkungan.
Arus urbanisasi yang kuat menyebabkan banyak "orang am" dari pedesaan bermigrasi ke kota besar dengan harapan mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik. Namun, realitas di kota seringkali jauh dari harapan: persaingan ketat, upah rendah, kurangnya tempat tinggal yang layak, dan hilangnya jaringan dukungan sosial tradisional. Banyak yang berakhir di sektor informal, hidup di permukiman kumuh, dan menghadapi diskriminasi.
Fenomena ini menciptakan tantangan sosial yang kompleks, baik di daerah asal yang kehilangan tenaga produktif maupun di kota-kota yang kewalahan menghadapi pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Kebijakan pembangunan regional yang seimbang dan program pemberdayaan ekonomi di pedesaan sangat diperlukan untuk mengurangi tekanan urbanisasi dan memastikan kesejahteraan "orang am" di mana pun mereka berada.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, "orang am" tidak pernah kehilangan harapan dan aspirasi. Mereka mendambakan keadilan sosial, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama tanpa memandang latar belakang. Mereka berharap anak-anak mereka dapat mengenyam pendidikan yang layak, agar memiliki masa depan yang lebih cerah dari orang tua mereka.
Mereka menginginkan akses yang merata terhadap layanan kesehatan, jaminan pekerjaan yang stabil, dan peluang ekonomi yang adil. Aspirasi mereka adalah aspirasi universal manusia: hidup yang bermartabat, aman, dan penuh harapan. Adalah tugas bersama, baik pemerintah, masyarakat sipil, maupun seluruh elemen bangsa, untuk bekerja sama mewujudkan aspirasi ini, memastikan bahwa "orang am," yang merupakan mayoritas bangsa ini, dapat meraih potensi penuh mereka.
Meningkatnya kesadaran akan pentingnya peran "orang am" telah mendorong tumbuhnya berbagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemberdayaan dan advokasi. Organisasi-organisasi ini bekerja di tingkat akar rumput, membantu "orang am" untuk mengakses informasi, mengembangkan keterampilan, mengorganisir diri, dan menyuarakan tuntutan mereka kepada pemerintah.
Pemberdayaan ekonomi melalui pelatihan kewirausahaan, advokasi hak-hak tanah, pendampingan hukum, hingga program pendidikan kesehatan adalah beberapa contoh kontribusi OMS. Mereka berperan sebagai jembatan antara "orang am" dengan pemangku kepentingan lainnya, memastikan bahwa suara mereka didengar dan kebutuhan mereka diakomodasi dalam proses pembangunan nasional. Dengan adanya OMS, "orang am" memiliki saluran yang lebih terorganisir untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan yang berdampak pada kehidupan mereka.
"Orang am" adalah tulang punggung peradaban, fondasi yang menopang segala struktur sosial, ekonomi, dan budaya sebuah bangsa. Dari kerja keras mereka di ladang, pabrik, dan pasar, hingga kearifan lokal yang mereka lestarikan melalui tradisi lisan dan seni, kontribusi mereka tak terhingga dan seringkali tak terlihat. Mereka adalah penjaga identitas bangsa, penutur cerita-cerita kuno, dan aktor aktif dalam setiap perubahan sosial-politik, meskipun seringkali tanpa pengakuan yang layak.
Memahami "orang am" berarti memahami esensi bangsa ini. Ini berarti mengakui bahwa kemajuan sejati tidak hanya diukur dari pencapaian elit atau indikator makroekonomi semata, tetapi juga dari kesejahteraan, martabat, dan keadilan yang dirasakan oleh setiap individu, terutama mereka yang berada di lapisan paling dasar masyarakat. Tantangan modern seperti globalisasi, teknologi digital, dan perubahan iklim memang memberikan tekanan baru, namun ketahanan, kreativitas, dan solidaritas "orang am" selalu menjadi sumber harapan yang tak ada habisnya.
Pada akhirnya, kekuatan abadi sebuah bangsa terletak pada kekuatan kolektif "orang am"—kemampuan mereka untuk beradaptasi, berinovasi, berjuang, dan terus bermimpi akan masa depan yang lebih baik. Adalah tugas kita bersama untuk memastikan bahwa narasi mereka didengar, hak-hak mereka dihormati, dan kontribusi mereka dihargai sebagai fondasi yang kokoh bagi Indonesia yang adil, makmur, dan berbudaya.