Parasintesis: Prosedur Diagnostik dan Terapeutik Penting untuk Asites
Parasintesis merupakan sebuah prosedur medis invasif yang melibatkan penarikan cairan dari rongga peritoneum (perut) menggunakan jarum atau kateter. Prosedur ini krusial dalam diagnosis dan penanganan kondisi asites, yaitu penumpukan cairan abnormal di dalam rongga perut. Asites sendiri bukanlah penyakit, melainkan manifestasi dari berbagai kondisi medis serius, yang paling umum adalah sirosis hati. Memahami parasintesis secara mendalam, mulai dari indikasi, persiapan, teknik, hingga interpretasi hasilnya, sangat penting bagi tenaga medis dan juga untuk edukasi pasien.
Penumpukan cairan di rongga peritoneum dapat menyebabkan berbagai gejala tidak nyaman, seperti nyeri perut, kembung, sesak napas (jika cairan menekan diafragma), dan rasa berat. Dalam banyak kasus, parasintesis menjadi satu-satunya cara untuk meredakan gejala ini secara cepat atau untuk mendapatkan informasi diagnostik yang vital guna menentukan penyebab asites dan rencana pengobatan yang tepat. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif segala aspek terkait parasintesis, memberikan panduan mendalam untuk memahami prosedur penting ini.
Ilustrasi sederhana menunjukkan lokasi umum prosedur parasintesis di kuadran bawah abdomen.
Definisi dan Jenis Parasintesis
Secara etimologi, "parasintesis" berasal dari bahasa Yunani, para (di samping) dan kentēsis (menusuk). Dalam konteks medis, ini merujuk pada tindakan penusukan atau aspirasi cairan dari rongga tubuh, namun paling sering digunakan untuk merujuk pada rongga abdomen (perut). Prosedur ini dikenal juga dengan istilah aspirasi asites atau abdominal tap.
Parasintesis dapat dibedakan menjadi dua jenis utama berdasarkan tujuannya:
Parasintesis Diagnostik: Dilakukan untuk mendapatkan sampel cairan asites guna analisis laboratorium. Tujuan utamanya adalah untuk menentukan penyebab asites (misalnya, infeksi, keganasan, atau penyakit hati) dan untuk mendeteksi komplikasi seperti peritonitis bakterial spontan (PBS). Volume cairan yang diambil umumnya kecil, sekitar 50-100 ml.
Parasintesis Terapeutik (Volume Besar): Dilakukan untuk mengeluarkan sejumlah besar cairan asites (biasanya lebih dari 5 liter) guna meredakan gejala yang disebabkan oleh penumpukan cairan berlebihan, seperti distensi abdomen yang signifikan, nyeri, atau kesulitan bernapas. Prosedur ini seringkali membutuhkan penggantian albumin intravena untuk mencegah komplikasi tertentu.
Kadangkala, kedua tujuan ini dapat digabungkan. Parasintesis terapeutik seringkali diawali dengan pengambilan sampel untuk diagnostik sebelum volume besar cairan dikeluarkan.
Anatomi dan Fisiologi Terkait Rongga Peritoneum
Untuk memahami parasintesis, penting untuk memiliki pemahaman dasar tentang anatomi dan fisiologi rongga abdomen dan peritoneum.
Rongga Peritoneum
Rongga peritoneum adalah ruang potensial di dalam abdomen yang dilapisi oleh selaput serosa yang disebut peritoneum. Peritoneum terdiri dari dua lapisan:
Peritoneum Parietalis: Melapisi dinding abdomen bagian dalam.
Peritoneum Visceralis: Melapisi sebagian besar organ-organ dalam abdomen (misalnya, usus, hati, lambung).
Di antara kedua lapisan ini terdapat sedikit cairan serosa (sekitar 50-100 ml pada orang sehat) yang berfungsi sebagai pelumas, memungkinkan organ-organ bergerak dengan lancar satu sama lain. Asites terjadi ketika produksi cairan melebihi reabsorpsinya, menyebabkan penumpukan volume cairan yang signifikan.
Fungsi Peritoneum
Peritoneum tidak hanya berfungsi sebagai lapisan pelindung dan pelumas, tetapi juga memiliki peran penting dalam:
Permeabilitas Selektif: Memungkinkan pertukaran cairan dan zat terlarut.
Imunitas: Mengandung sel-sel imun yang berperan dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi.
Penyembuhan Luka: Mampu meregenerasi dan membentuk adhesi setelah cedera.
Ketika terjadi kondisi patologis, seperti sirosis hati atau keganasan, keseimbangan produksi dan reabsorpsi cairan ini terganggu, menyebabkan asites.
Indikasi untuk Parasintesis
Parasintesis dilakukan untuk berbagai alasan, baik diagnostik maupun terapeutik. Pemilihan indikasi yang tepat sangat krusial untuk keselamatan dan efektivitas prosedur.
Indikasi Diagnostik
Setiap pasien dengan asites yang baru muncul (new-onset ascites) harus menjalani parasintesis diagnostik untuk menentukan penyebabnya. Selain itu, parasintesis diagnostik juga diindikasikan pada:
Kecurigaan Peritonitis Bakterial Spontan (PBS): Ini adalah infeksi serius pada cairan asites tanpa sumber infeksi intra-abdomen yang jelas. Gejala dapat meliputi demam, nyeri perut, perubahan status mental, atau memburuknya fungsi ginjal. Parasintesis adalah standar emas untuk mendiagnosis PBS.
Evaluasi Demam pada Pasien Asites: Demam tanpa sumber infeksi yang jelas pada pasien dengan asites harus selalu dicurigai sebagai PBS hingga terbukti sebaliknya.
Asites yang Etiologinya Tidak Jelas: Untuk membedakan asites akibat hipertensi portal (misalnya, sirosis) dari penyebab lain (misalnya, keganasan, tuberkulosis, gagal jantung, pankreatitis).
Evaluasi Gangguan Fungsi Ginjal atau Ensefalopati pada Pasien Sirosis dengan Asites: Membantu menyingkirkan PBS sebagai faktor pemicu.
Penentuan Jenis Asites: Seperti asites transudatif atau eksudatif.
Mendeteksi Keganasan: Pada pasien dengan riwayat kanker atau kecurigaan asites maligna.
Indikasi Terapeutik
Parasintesis terapeutik direkomendasikan untuk meredakan gejala yang disebabkan oleh asites berat:
Asites Refrakter: Asites yang tidak responsif terhadap dosis diuretik maksimal atau yang kambuh dengan cepat setelah pengobatan diuretik. Ini adalah indikasi paling umum untuk parasintesis volume besar berulang.
Distensi Abdomen Berat: Menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan, atau kesulitan makan.
Sesak Napas: Akibat tekanan diafragma oleh cairan asites, membatasi ekspansi paru-paru.
Hernia Umbilikalis yang Tegang: Mengurangi risiko ruptur hernia.
Hydrotoraks Hepatik: Jika cairan asites merembes ke rongga pleura, menyebabkan sesak napas.
Penting untuk diingat bahwa parasintesis terapeutik bersifat paliatif (meredakan gejala) dan bukan kuratif. Penanganan penyebab dasar asites tetap menjadi prioritas.
Kontraindikasi Parasintesis
Meskipun parasintesis adalah prosedur yang relatif aman, ada beberapa kontraindikasi yang perlu dipertimbangkan:
Kontraindikasi Absolut (Jarang)
Fibrinolisis Intravaskular Diseminata (FID) yang Tidak Terkendali: Kelainan koagulasi yang sangat parah dengan perdarahan aktif yang tidak dapat dikoreksi.
Obstruksi Usus Berat dengan Distensi Usus: Peningkatan risiko perforasi usus.
Absennya Asites yang Dapat Dipastikan: Tidak ada cairan yang dapat ditarik, seringkali dikonfirmasi dengan USG.
Kulit yang Terinfeksi di Lokasi Penusukan: Meningkatkan risiko infeksi.
Kontraindikasi Relatif
Kontraindikasi relatif berarti prosedur dapat dilakukan dengan kehati-hatian khusus atau setelah mengoreksi faktor risiko:
Gangguan Koagulasi Signifikan:
INR (International Normalized Ratio) > 2.0: Meningkatkan risiko perdarahan. Dapat dikoreksi dengan vitamin K atau plasma beku segar (FFP) sebelum prosedur.
Jumlah Trombosit < 50.000/µL: Meningkatkan risiko perdarahan. Dapat dikoreksi dengan transfusi trombosit.
Namun, perlu dicatat bahwa pada pasien sirosis, INR dan trombosit seringkali abnormal, dan risiko perdarahan dari parasintesis sebenarnya sangat rendah, bahkan tanpa koreksi, terutama untuk parasintesis diagnostik. Keputusan untuk mengoreksi harus individual dan berdasarkan penilaian klinis.
Kehamilan: Terutama pada trimester ketiga, karena risiko trauma pada uterus. Parasintesis harus dilakukan dengan panduan USG.
Pembesaran Organ Visceral (Hepatomegali, Splenomegali) atau Massa Intra-abdomen: Meningkatkan risiko trauma organ. Panduan USG sangat dianjurkan.
Adanya Jaringan Parut atau Adhesi Abdominal: Akibat operasi sebelumnya atau peritonitis. Dapat mempersulit akses dan meningkatkan risiko trauma. Panduan USG direkomendasikan.
Distensi Kandung Kemih: Risiko perforasi. Pasien harus mengosongkan kandung kemih sebelum prosedur.
Dalam kebanyakan kasus, manfaat diagnostik atau terapeutik dari parasintesis melebihi risikonya, terutama ketika tindakan pencegahan yang tepat diambil.
Persiapan Pasien untuk Parasintesis
Persiapan yang cermat sangat penting untuk memastikan keamanan dan efektivitas prosedur parasintesis.
Informasi dan Persetujuan (Informed Consent)
Dokter harus menjelaskan prosedur secara menyeluruh kepada pasien, termasuk:
Tujuan: Mengapa parasintesis diperlukan.
Langkah-langkah Prosedur: Apa yang akan dialami pasien.
Potensi Risiko dan Komplikasi: Perdarahan, infeksi, perforasi, kebocoran cairan, dll.
Manfaat yang Diharapkan: Diagnostik atau peredaan gejala.
Alternatif: Jika ada, dan mengapa parasintesis dipilih.
Pasien atau wali harus menandatangani formulir persetujuan setelah memahami semua informasi.
Evaluasi Klinis dan Laboratorium
Riwayat Medis: Riwayat penyakit hati, gagal jantung, keganasan, operasi abdomen sebelumnya (untuk mengidentifikasi potensi adhesi), alergi (terutama anestesi lokal), dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi (terutama antikoagulan atau antiplatelet).
Pemeriksaan Fisik: Penilaian ukuran asites, adanya massa, hernia, dan lokasi yang optimal untuk penusukan.
Pemeriksaan Laboratorium:
Hitung Darah Lengkap (HDL): Untuk menilai kadar hemoglobin (jika ada anemia) dan jumlah trombosit.
Panel Koagulasi: INR, waktu protrombin (PT), waktu tromboplastin parsial teraktivasi (APTT) untuk menilai risiko perdarahan.
Elektrolit dan Fungsi Ginjal: Penting sebelum dan sesudah parasintesis volume besar.
Golongan Darah dan Uji Silang: Jika ada risiko perdarahan signifikan.
Pencitraan:
USG Abdomen: Sangat direkomendasikan untuk mengkonfirmasi keberadaan asites, mengidentifikasi lokasi cairan terbesar, menyingkirkan adhesi, dan menghindari organ vital (usus, kandung kemih, pembuluh darah). USG juga dapat memandu penusukan secara real-time.
CT Scan: Dapat digunakan untuk kasus yang kompleks, tetapi USG lebih sering dan praktis.
Posisi Pasien
Pasien biasanya diposisikan semi-Fowler (setengah duduk dengan kepala sedikit terangkat) atau berbaring telentang. Posisi ini memungkinkan cairan asites berkumpul di bagian bawah abdomen oleh gravitasi, memudahkan penusukan di lokasi yang aman.
Persiapan Kandung Kemih
Pasien harus mengosongkan kandung kemih sebelum prosedur untuk mengurangi risiko perforasi kandung kemih. Jika pasien tidak bisa buang air kecil, kateterisasi kandung kemih mungkin diperlukan.
Peralatan yang Dibutuhkan
Persiapan peralatan yang steril dan lengkap adalah kunci untuk prosedur yang aman dan berhasil.
Antiseptik Kulit: Povidone-iodine atau chlorhexidine untuk membersihkan area penusukan.
Duk Steril: Untuk menciptakan area kerja steril.
Anestesi Lokal: Lidokain 1% atau 2% dengan jarum suntik 5-10 ml dan jarum ukuran 25G (untuk kulit) dan 22G (untuk jaringan lebih dalam).
Jarum Parasintesis/Kateter:
Jarum Diagnostik: Jarum ukuran 18G atau 20G, panjang 1,5-3 inci.
Kateter Terapeutik: Kateter plastik dengan trocar (misalnya, ukuran 15G atau 16G) atau jarum dengan selubung plastik (misalnya, jenis Pigtail) untuk drainase volume besar. Jarum ini dilengkapi dengan katup satu arah untuk mencegah kebocoran saat trocar dilepas.
Jarum Suntik (Syringe): Ukuran 10 ml, 20 ml, atau 50 ml untuk aspirasi cairan diagnostik.
Botol Koleksi/Kantong Drainase: Kantong tertutup atau botol vakum steril untuk mengumpulkan cairan asites.
Tabung Spesimen: Untuk berbagai analisis laboratorium (misalnya, tabung darah EDTA untuk hitung sel, tabung steril untuk kultur, tabung serum untuk kimia).
Selang Penghubung: Untuk menyambungkan jarum/kateter ke kantong drainase.
Plester dan Balutan Steril: Untuk menutup lokasi penusukan setelah prosedur.
Sarung Tangan Steril: Untuk petugas medis.
Masker dan Pelindung Mata: Untuk petugas medis sebagai tindakan pencegahan universal.
Ultrasound (USG) Portabel: Sangat dianjurkan untuk panduan visual.
Albumin Intravena (IV): Jika akan dilakukan parasintesis volume besar (lebih dari 5 liter), persiapkan infus albumin 25% (6-8 gram per liter cairan yang dikeluarkan) untuk mencegah disfungsi sirkulasi pasca-parasintesis.
Resusitasi: Peralatan resusitasi dasar harus tersedia jika terjadi komplikasi serius.
Prosedur Parasintesis: Langkah Demi Langkah
Prosedur parasintesis harus dilakukan dengan teknik aseptik yang ketat oleh tenaga medis yang terlatih.
1. Identifikasi Lokasi Penusukan
Pemilihan lokasi penusukan yang tepat sangat penting untuk menghindari cedera organ. Lokasi yang paling umum dan aman adalah:
Kuadran Kiri Bawah: Sekitar 2-4 cm medial dan inferior dari spina iliaka anterior superior. Ini adalah lokasi pilihan karena risiko perforasi usus dan perdarahan vaskular (terutama arteri epigastrika inferior) lebih rendah di sini.
Kuadran Kanan Bawah: Lokasi serupa di sisi kanan.
Garis Tengah (Linea Alba): Sekitar 2-3 cm di bawah umbilikus. Lokasi ini jarang dipilih karena risiko perforasi usus dan vena kandung kemih yang melekat pada dinding anterior lebih tinggi. Namun, beberapa klinisi menganggapnya sebagai lokasi yang aman jika tidak ada bekas luka operasi atau massa di area tersebut.
Panduan USG: Penggunaan USG sangat dianjurkan untuk:
Mengkonfirmasi keberadaan cairan dan mengidentifikasi kantung cairan terbesar.
Memvisualisasikan usus, kandung kemih, dan pembuluh darah epigastrika untuk menghindari cedera.
Mengidentifikasi adhesi atau massa.
Memastikan kedalaman penusukan yang tepat.
Pilihlah lokasi yang bebas dari bekas luka operasi (yang mungkin menunjukkan adhesi), massa, atau area yang terinfeksi.
2. Persiapan Area Steril
Pasien diposisikan dengan nyaman.
Area penusukan dibersihkan secara menyeluruh dengan larutan antiseptik (misalnya, povidone-iodine atau chlorhexidine) dalam gerakan melingkar dari tengah ke luar. Biarkan antiseptik mengering.
Area diselimuti dengan duk steril, hanya menyisakan lokasi penusukan yang terbuka.
3. Anestesi Lokal
Menggunakan jarum suntik 5-10 ml dengan jarum ukuran 25G, suntikkan anestesi lokal (lidokain 1% atau 2%) secara intradermal untuk membentuk benjolan kulit (wheal).
Ganti dengan jarum ukuran 22G yang lebih panjang dan suntikkan anestesi secara bertahap ke dalam lapisan subkutan, otot, dan peritoneum parietalis, sambil menarik plunger (aspirasi) untuk memastikan jarum tidak masuk ke dalam pembuluh darah. Lanjutkan hingga peritoneum dirasakan dan pasien merasa baal.
4. Penusukan dan Aspirasi Cairan
Untuk parasintesis diagnostik, gunakan jarum ukuran 18G atau 20G. Untuk terapeutik, gunakan kateter dengan trocar.
Pegang jarum atau kateter pada sudut 45-90 derajat terhadap kulit, tergantung pada ketebalan dinding abdomen dan preferensi klinisi.
Lakukan penusukan yang terkontrol dan perlahan melalui dinding abdomen. Anda mungkin merasakan "pop" atau "tekanan" saat jarum menembus peritoneum.
Setelah jarum masuk ke rongga peritoneum, aspirasi perlahan dengan jarum suntik untuk memastikan cairan asites keluar. Jika tidak ada cairan, sesuaikan posisi jarum secara hati-hati atau gunakan USG untuk memandu.
Jika menggunakan kateter dengan trocar, setelah cairan asites muncul, majukan kateter plastik ke dalam rongga dan tarik trocar keluar. Ini meninggalkan kateter fleksibel di dalam rongga, mengurangi risiko perforasi organ dan trauma saat drainase.
Untuk parasintesis diagnostik, ambil 50-100 ml cairan dan masukkan ke dalam tabung spesimen yang sesuai untuk analisis laboratorium.
Untuk parasintesis terapeutik, hubungkan kateter ke selang penghubung dan kantong drainase steril. Biarkan cairan mengalir secara gravitasi. Proses ini bisa memakan waktu 30-90 menit, tergantung volume cairan.
5. Penggantian Albumin (untuk Parasintesis Volume Besar)
Jika volume cairan yang dikeluarkan lebih dari 5 liter (parasintesis volume besar), infus albumin 25% intravena harus diberikan:
Dosis: Umumnya 6-8 gram albumin per liter cairan asites yang dikeluarkan. Misalnya, jika 8 liter dikeluarkan, berikan 48-64 gram albumin.
Tujuan: Mencegah disfungsi sirkulasi pasca-parasintesis (PCID), yang dapat menyebabkan hipotensi, hiponatremia, dan gagal ginjal.
6. Penarikan Jarum/Kateter dan Penutupan
Setelah volume cairan yang diinginkan terkumpul atau gejala pasien membaik, tarik jarum atau kateter dengan cepat.
Berikan tekanan pada lokasi penusukan dengan kain kasa steril selama beberapa menit untuk mencegah perdarahan atau kebocoran cairan.
Bersihkan area dan pasang plester steril atau balutan penekan.
Analisis Cairan Asites dan Interpretasinya
Analisis cairan asites adalah langkah kunci dalam mendiagnosis penyebab asites dan komplikasinya.
Pemeriksaan Makroskopis (Visual)
Bening kekuningan (Straw-colored): Paling umum, sering terlihat pada asites akibat sirosis.
Keruh/Berawan: Mengindikasikan infeksi (misalnya, PBS) atau peritonitis inflamasi.
Merah/Berwarna Darah: Dapat disebabkan oleh penusukan vaskular traumatis, keganasan, peritonitis hemoragik, atau cedera organ.
Kecoklatan: Perforasi usus atau bilier.
Seperti Susu (Chylous): Kadar trigliserida tinggi, sering akibat obstruksi saluran limfatik (misalnya, keganasan, trauma, tuberkulosis).
Pemeriksaan Laboratorium Kritis
Berikut adalah komponen utama analisis cairan asites:
1. Hitung Sel dan Diferensial
Jumlah Sel Darah Putih (SDP): Peningkatan > 250 SDP/µL pada asites merupakan indikasi kuat infeksi.
Jumlah Neutrofil Polimorfonuklear (PMN): Ini adalah indikator terpenting untuk PBS.
PMN ≥ 250 sel/µL: Diagnostik untuk PBS.
PMN harus dihitung segera setelah pengambilan sampel karena dapat lisis.
2. Konsentrasi Protein dan Albumin
Protein Total Cairan Asites: Membantu membedakan asites transudatif dari eksudatif, meskipun kurang spesifik dibandingkan SAAG.
< 2.5 g/dL: Cenderung transudatif (misalnya, sirosis, gagal jantung).
Cairan asites harus segera diinokulasi ke dalam botol kultur darah aerobik dan anaerobik di samping tempat tidur. Ini meningkatkan sensitivitas deteksi bakteri.
Penting untuk diagnosis PBS dan penentuan antibiotik yang tepat.
5. Sitologi
Dilakukan jika dicurigai asites maligna.
Mendeteksi sel-sel kanker dalam cairan. Sensitivitas bervariasi tergantung jenis kanker, tetapi seringkali sangat membantu.
6. Tes Tambahan (Berdasarkan Kecurigaan Klinis)
Glukosa: Rendah pada peritonitis bakterial atau keganasan.
LDH (Lactate Dehydrogenase): Tinggi pada keganasan atau infeksi.
Amilase: Sangat tinggi pada asites pankreatik.
Trigliserida: Tinggi (> 200 mg/dL, seringkali > 1000 mg/dL) pada asites chylous.
Adenosine Deaminase (ADA): Tinggi pada peritonitis tuberkulosis.
Pewarnaan Gram: Cepat, tetapi sensitivitas rendah pada PBS.
Tabel Interpretasi Hasil Cairan Asites Kunci
Parameter
PBS
Asites Maligna
Asites Pankreatik
Asites Tuberkulosis
Asites Gagal Jantung
SAAG
≥ 1.1 g/dL
< 1.1 g/dL (biasanya)
< 1.1 g/dL
< 1.1 g/dL (biasanya)
≥ 1.1 g/dL
PMN
≥ 250 sel/µL
Bervariasi, bisa tinggi jika terinfeksi
Bervariasi
Bervariasi, dapat tinggi
< 250 sel/µL
Protein Total
< 2.5 g/dL (sirosis)
> 2.5 g/dL
> 2.5 g/dL
> 2.5 g/dL
> 2.5 g/dL
Glukosa
Rendah
Rendah
Normal/Rendah
Rendah
Normal
LDH
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Normal
Amilase
Normal
Normal
Sangat Tinggi (> normal serum)
Normal
Normal
Sitologi
Negatif
Positif (pada 60-90% kasus)
Negatif
Negatif
Negatif
Kultur
Positif (sering monobakterial)
Negatif (kecuali ada infeksi sekunder)
Negatif
Positif (M. tuberculosis)
Negatif
ADA
Normal
Normal
Normal
Tinggi (> 30-40 U/L)
Normal
Manajemen Pasca-Parasintesis
Setelah prosedur parasintesis selesai, perawatan pasca-prosedur sangat penting untuk memantau pasien dan mencegah komplikasi.
Pemantauan Pasien
Tanda-tanda Vital: Pantau tekanan darah, denyut nadi, laju pernapasan secara teratur (misalnya, setiap 15-30 menit selama 1-2 jam pertama, kemudian setiap 4 jam) untuk mendeteksi hipotensi atau tanda-tanda syok.
Lokasi Penusukan: Periksa lokasi penusukan untuk tanda-tanda perdarahan, kebocoran cairan asites, atau tanda-tanda infeksi (kemerahan, bengkak, nyeri).
Volume Urine: Pantau output urine, terutama setelah parasintesis volume besar.
Gejala: Tanyakan pasien tentang nyeri, mual, pusing, atau ketidaknyamanan lainnya.
Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
Kebocoran Cairan Asites: Ini adalah komplikasi paling umum. Biasanya dapat ditangani dengan balutan tekan. Jika persisten, jahitan kulit kecil atau penggunaan kantong kolostomi di atas lokasi penusukan dapat membantu.
Hipotensi: Terutama setelah parasintesis volume besar. Pencegahan utamanya adalah pemberian albumin IV. Jika terjadi hipotensi, dapat ditangani dengan infus cairan IV (kristaloid) atau vasopresor jika berat.
Disfungsi Ginjal: Perburukan fungsi ginjal dapat terjadi setelah parasintesis volume besar tanpa penggantian albumin. Pantau kreatinin dan elektrolit.
Nyeri: Nyeri ringan di lokasi penusukan adalah normal dan dapat diatasi dengan analgesik non-opioid.
Transfusi Albumin: Pastikan albumin diberikan sesuai protokol setelah parasintesis volume besar.
Edukasi Pasien
Pasien harus diinstruksikan untuk mencari pertolongan medis jika mengalami gejala berikut setelah pulang:
Demam atau menggigil.
Nyeri perut yang memburuk atau nyeri baru.
Kemerahan, bengkak, atau nanah di lokasi penusukan.
Perdarahan aktif atau kebocoran cairan yang signifikan dari lokasi penusukan.
Pusing, pingsan, atau kelemahan ekstrem.
Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut harus dibuat berdasarkan penyebab asites dan kondisi pasien. Ini mungkin melibatkan penyesuaian diuretik, pengobatan penyebab dasar, atau parasintesis berulang.
Komplikasi Parasintesis
Meskipun umumnya aman, parasintesis tidak lepas dari potensi komplikasi. Penting untuk menyadari risiko ini dan mengambil langkah-langkah pencegahan.
1. Perdarahan
Hematoma Dinding Abdomen: Paling umum, biasanya terjadi jika pembuluh darah epigastrika terkena. Risiko meningkat pada pasien dengan koagulopati.
Perdarahan Intraperitoneal: Jarang, tetapi lebih serius. Dapat menyebabkan hipotensi dan syok. Terjadi jika pembuluh darah besar atau organ padat terluka.
Penanganan: Tekanan lokal, transfusi darah/produk darah, dan dalam kasus yang parah, intervensi bedah atau radiologi (embolisasi) mungkin diperlukan.
2. Perforasi Organ
Perforasi Usus: Sangat jarang (sekitar 0.1-0.2%) tetapi merupakan komplikasi serius. Dapat menyebabkan peritonitis, sepsis, dan abses intra-abdomen. Risiko meningkat pada pasien dengan adhesi atau usus yang distensi.
Perforasi Kandung Kemih: Risiko tinggi jika kandung kemih tidak dikosongkan sebelum prosedur.
Cedera Organ Lain (Hati, Limpa, Pankreas): Sangat jarang, terutama dengan panduan USG.
Penanganan: Membutuhkan intervensi bedah segera.
3. Infeksi
Infeksi Kulit Lokal: Di lokasi penusukan, jarang jika teknik aseptik ketat diikuti.
Peritonitis (Bakterial): Infeksi rongga peritoneum, dapat disebabkan oleh kontaminasi eksternal atau perforasi usus. PBS adalah kondisi terpisah dan bukan komplikasi parasintesis.
Penanganan: Antibiotik yang tepat dan drainase jika terbentuk abses.
4. Kebocoran Cairan Asites
Cairan asites terus menerus merembes dari lokasi penusukan setelah jarum/kateter ditarik. Ini adalah komplikasi paling umum dan biasanya ringan.
Penyebab: Diameter jarum yang besar, kegagalan jaringan untuk menutup rapat, atau peningkatan tekanan intra-abdomen.
Penanganan: Balutan tekan, penggantian balutan secara teratur. Jarang membutuhkan jahitan.
5. Disfungsi Sirkulasi Pasca-Parasintesis (PCID)
Terjadi setelah parasintesis volume besar (biasanya > 5 liter) tanpa penggantian albumin.
Gejala: Hipotensi, hiponatremia, gagal ginjal, dan peningkatan risiko PBS.
Pencegahan: Infus albumin intravena.
6. Hipotensi
Dapat terjadi akibat PCID atau respon vasovagal (jarang).
Penanganan: Posisikan pasien telentang, infus cairan IV, dan albumin jika karena PCID.
7. Hiponatremia
Dapat terjadi atau memburuk setelah parasintesis volume besar, terutama jika PCID terjadi.
Penanganan: Batasi asupan cairan, sesuaikan diuretik, dan koreksi jika berat.
8. Ensefalopati Hepatik
Perburukan ensefalopati hepatik jarang terjadi setelah parasintesis, tetapi mungkin terkait dengan PCID atau dehidrasi.
Pencegahan: Hindari PCID, pertahankan hidrasi yang adekuat.
Mayoritas komplikasi dapat diminimalkan dengan persiapan pasien yang adekuat, penggunaan USG untuk panduan, teknik aseptik yang ketat, dan pemberian albumin untuk parasintesis volume besar.
Parasintesis Terapeutik untuk Asites Refrakter
Asites refrakter didefinisikan sebagai asites yang tidak dapat diatasi atau kambuh dengan cepat meskipun telah diberikan terapi diuretik dosis maksimal (misalnya, spironolakton 400 mg/hari dan furosemid 160 mg/hari). Ini adalah tantangan klinis yang signifikan pada pasien sirosis hati, dan parasintesis terapeutik berulang menjadi pilihan manajemen utama.
Definisi dan Kriteria Asites Refrakter
Asites refrakter dibagi menjadi dua kategori:
Asites Resisten Diuretik: Gagal merespons dosis diuretik maksimal (spironolakton 400 mg/hari, furosemid 160 mg/hari) selama setidaknya satu minggu, atau kambuh dalam waktu 4 minggu setelah pengurangan volume cairan yang berhasil.
Asites Intoleran Diuretik: Pengembangan komplikasi terkait diuretik yang mencegah penggunaan dosis efektif (misalnya, ensefalopati hepatik, insufisiensi ginjal, hiponatremia, hiperkalemia, kram otot yang parah).
Penanganan asites refrakter bertujuan untuk meredakan gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Peran Parasintesis Volume Besar Berulang
Parasintesis volume besar adalah terapi lini pertama untuk asites refrakter karena memberikan peredaan gejala yang cepat dan efektif. Pasien dengan asites refrakter seringkali memerlukan prosedur ini secara teratur, kadang-kadang setiap 1-2 minggu, untuk menjaga kenyamanan.
Pentingnya Penggantian Albumin: Setiap kali lebih dari 5 liter cairan asites dikeluarkan, pemberian albumin 25% intravena (6-8 gram per liter cairan yang ditarik) sangat dianjurkan. Ini karena:
Albumin adalah protein plasma utama yang bertanggung jawab untuk tekanan onkotik.
Penarikan cairan asites volume besar dapat menyebabkan pergeseran cairan dari intravaskular ke interstisial, menyebabkan hipovolemia relatif, aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan disfungsi sirkulasi pasca-parasintesis (PCID).
PCID dapat bermanifestasi sebagai hipotensi, hiponatremia, dan yang paling parah, memperburuk fungsi ginjal atau memicu ensefalopati hepatik.
Pemberian albumin membantu menjaga volume plasma efektif, mencegah PCID, dan telah terbukti meningkatkan kelangsungan hidup pada pasien dengan sirosis.
Alternatif untuk Parasintesis Berulang
Meskipun parasintesis efektif, ini adalah prosedur invasif berulang. Alternatif lain untuk asites refrakter meliputi:
Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt (TIPS): Prosedur radiologi intervensi yang membuat saluran antara vena portal dan vena hepatika di dalam hati, mengurangi tekanan portal. TIPS sangat efektif dalam mengontrol asites, tetapi memiliki risiko komplikasi, terutama ensefalopati hepatik, dan tidak cocok untuk semua pasien (misalnya, dengan gagal jantung berat atau disfungsi hati yang parah).
Transplantasi Hati: Satu-satunya pengobatan kuratif untuk asites refrakter akibat sirosis. Ini adalah pilihan bagi pasien yang memenuhi kriteria transplantasi.
Shunt Peritoneovenous (LeVeen Shunt): Jarang digunakan saat ini karena tingginya tingkat komplikasi (infeksi, oklusi, koagulopati, gagal jantung).
Aquapheresis (Ultrafiltrasi): Pengeluaran cairan dari tubuh menggunakan mesin khusus. Masih dalam tahap penelitian untuk asites.
Keputusan untuk memilih modalitas pengobatan lain selain parasintesis harus didasarkan pada kondisi klinis pasien, harapan hidup, dan adanya kontraindikasi.
Kondisi Medis Penyebab Asites
Asites bukanlah penyakit, melainkan tanda dari kondisi medis yang mendasarinya. Memahami berbagai penyebab asites sangat penting untuk diagnosis dan penanganan yang tepat.
1. Sirosis Hati (Penyebab Paling Umum)
Sirosis hati menyumbang sekitar 80% dari semua kasus asites. Mekanismenya kompleks dan melibatkan:
Hipertensi Portal: Peningkatan tekanan dalam vena portal, biasanya karena fibrosis dan nodul regeneratif di hati. Ini menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di dalam sirkulasi splanknikus, mendorong cairan keluar ke rongga peritoneum.
Vasodilatasi Sistemik: Pada sirosis lanjut, terjadi vasodilatasi perifer yang parah. Tubuh merespons dengan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan sistem saraf simpatis, menyebabkan retensi natrium dan air.
Penurunan Sintesis Albumin: Hati yang sirotik tidak dapat memproduksi albumin secara adekuat, menyebabkan hipoalbuminemia. Penurunan tekanan onkotik plasma ini memperburuk perpindahan cairan dari intravaskular ke rongga peritoneum.
Asites pada sirosis seringkali memiliki SAAG tinggi (≥ 1.1 g/dL).
2. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung berat, terutama gagal jantung sisi kanan, dapat menyebabkan peningkatan tekanan vena sentral dan vena hepatika, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan hidrostatik di hati dan menyebabkan pembentukan asites. Mekanisme juga melibatkan aktivasi RAAS akibat penurunan cardiac output. Asites pada gagal jantung juga biasanya memiliki SAAG tinggi.
3. Keganasan (Asites Maligna)
Keganasan adalah penyebab asites nomor dua setelah sirosis. Dapat disebabkan oleh:
Karsinomatosis Peritoneum: Penyebaran sel kanker ke peritoneum, biasanya dari kanker ovarium, lambung, usus besar, pankreas, atau payudara. Sel-sel kanker mengganggu permeabilitas peritoneum dan produksi cairan.
Obstruksi Saluran Limfatik: Kanker dapat menyumbat saluran limfatik, mencegah drainase cairan dan menyebabkan asites chylous.
Metastasis Hati Ekstensif: Dapat menyebabkan hipertensi portal atau kerusakan hati.
Asites maligna biasanya memiliki SAAG rendah (< 1.1 g/dL), protein total tinggi, dan sitologi positif untuk sel ganas.
4. Pankreatitis
Pankreatitis akut atau kronis dapat menyebabkan asites jika terjadi kebocoran cairan kaya enzim pankreas ke dalam rongga peritoneum (misalnya, dari pseudokista pankreas yang pecah atau fistula). Cairan asites ini akan memiliki kadar amilase yang sangat tinggi dan biasanya SAAG rendah.
5. Tuberkulosis Peritoneum
Infeksi Mycobacterium tuberculosis pada peritoneum dapat menyebabkan peritonitis granulomatosa dengan pembentukan asites. Ini lebih sering terjadi di daerah endemik TB. Cairan asites biasanya eksudatif (protein tinggi, SAAG rendah) dengan limfositosis dan kadar adenosin deaminase (ADA) yang tinggi.
6. Sindrom Nefrotik
Kondisi ginjal yang menyebabkan kehilangan protein masif melalui urine (proteinuria), mengakibatkan hipoalbuminemia berat. Hipoalbuminemia menurunkan tekanan onkotik plasma, menyebabkan cairan bergeser ke ruang interstisial, termasuk rongga peritoneum. Asites pada sindrom nefrotik memiliki SAAG rendah.
7. Kondisi Lain yang Lebih Jarang
Sindrom Budd-Chiari: Obstruksi aliran keluar vena hepatika, menyebabkan hipertensi portal post-hepatik dan asites SAAG tinggi.
Myxedema (Hipotiroidisme Berat): Dapat menyebabkan asites protein tinggi dengan SAAG rendah.
Peritonitis Eosinofilik: Jarang, biasanya terkait dengan alergi atau parasit.
Dialisis Peritoneal: Pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal, cairan dialisat dapat mengendap di rongga peritoneum, seringkali salah diinterpretasikan sebagai asites.
Diagnosis yang akurat dari penyebab asites sangat penting karena panduan pengobatan yang berbeda secara signifikan untuk setiap kondisi.
Peran Farmakoterapi dalam Manajemen Asites
Meskipun parasintesis adalah intervensi kunci, farmakoterapi memainkan peran vital dalam manajemen jangka panjang asites, terutama yang disebabkan oleh sirosis.
1. Diuretik
Diuretik adalah pilar utama dalam penanganan asites pada sirosis, dengan tujuan meningkatkan ekskresi natrium dan air.
Antagonis Aldosteron (Spironolakton): Ini adalah diuretik lini pertama untuk asites sirotik. Aldosteron berperan besar dalam retensi natrium pada sirosis. Spironolakton bekerja di tubulus kolektivus untuk memblokir reseptor aldosteron.
Dosis: Dimulai dari 100 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 400 mg/hari.
Diuretik Loop (Furosemid): Bekerja di ansa Henle untuk menghambat reabsorpsi natrium dan klorida. Digunakan bersama spironolakton untuk mencegah hiperkalemia dan meningkatkan efek diuretik.
Dosis: Dimulai dari 40 mg/hari, dapat ditingkatkan hingga 160 mg/hari.
Rasio Ideal: Spironolakton dan furosemid sering diberikan dalam rasio 100:40 mg (misalnya, 100 mg spironolakton dan 40 mg furosemid), untuk mempertahankan keseimbangan elektrolit dan mencegah hipokalemia atau hiperkalemia berlebihan.
Pemantauan: Pasien yang memakai diuretik memerlukan pemantauan ketat terhadap berat badan, volume urin, elektrolit (natrium, kalium), dan fungsi ginjal (kreatinin, BUN).
2. Albumin
Selain digunakan selama parasintesis volume besar, infus albumin dapat dipertimbangkan dalam kondisi tertentu pada pasien sirosis, seperti:
Peritonitis Bakterial Spontan (PBS): Albumin intravena diberikan bersama antibiotik untuk mencegah disfungsi ginjal dan meningkatkan kelangsungan hidup. Dosis umumnya 1.5 g/kgBB pada hari ke-1 dan 1.0 g/kgBB pada hari ke-3.
Sindrom Hepatorenal (HRS): Albumin digunakan bersama vasokonstriktor (terlipressin atau norepinefrin) untuk meningkatkan perfusi ginjal.
3. Vasokonstriktor
Pada kasus tertentu, obat vasokonstriktor dapat digunakan pada pasien sirosis dengan asites dan komplikasi terkait, terutama pada HRS.
Terlipressin: Agonis reseptor vasopresin V1 yang menyebabkan vasokonstriksi splanknikus, mengurangi tekanan portal, dan meningkatkan perfusi ginjal.
Norepinefrin: Digunakan di ICU untuk efek vasokonstriksi serupa.
4. Antibiotik Profilaksis
Pada pasien sirosis dengan asites yang memiliki risiko tinggi PBS (misalnya, perdarahan gastrointestinal atas, riwayat PBS sebelumnya, protein cairan asites < 1.5 g/dL dengan disfungsi ginjal/hati yang parah), antibiotik profilaksis (misalnya, norfloxacin atau ciprofloxacin) dapat diberikan untuk mencegah PBS.
5. Antagonis Reseptor Vasopresin (Vaptan)
Obat seperti tolvaptan, yang memblokir reseptor vasopresin (ADH), dapat digunakan untuk mengatasi hiponatremia dilusional pada asites yang tidak responsif terhadap pembatasan cairan. Namun, penggunaannya perlu hati-hati karena potensi efek samping dan biaya.
Pendekatan farmakoterapi harus disesuaikan dengan penyebab asites, tingkat keparahan, respons pasien, dan profil komplikasi. Kolaborasi antara berbagai spesialis (hepatolog, nefrolog, kardiolog) seringkali diperlukan.
Aspek Etika dan Edukasi Pasien
Selain aspek teknis dan klinis, pertimbangan etika dan edukasi pasien memegang peranan penting dalam prosedur parasintesis.
Persetujuan Informasi yang Komprehensif (Informed Consent)
Seperti prosedur medis invasif lainnya, informed consent adalah kewajiban etis dan hukum. Ini bukan sekadar penandatanganan formulir, tetapi proses komunikasi dua arah di mana pasien:
Memahami: Kondisi medis mereka dan mengapa parasintesis diusulkan.
Mengetahui: Detail prosedur, termasuk langkah-langkah, lama waktu, dan ketidaknyamanan yang mungkin dirasakan.
Menjelajahi Alternatif: Jika ada pilihan pengobatan lain dan mengapa parasintesis adalah pilihan yang direkomendasikan.
Memiliki Kesempatan untuk Bertanya: Segala kekhawatiran atau pertanyaan harus dijawab dengan jujur dan jelas.
Penting untuk menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien dan menghindari jargon medis yang berlebihan. Jika pasien memiliki keterbatasan bahasa, penerjemah medis yang terlatih harus disediakan.
Edukasi Pasien yang Berkesinambungan
Edukasi tidak berhenti setelah informed consent. Pasien dengan asites, terutama yang kronis atau refrakter, akan sering membutuhkan parasintesis berulang atau manajemen diuretik jangka panjang. Edukasi berkesinambungan meliputi:
Manajemen Diri: Pentingnya kepatuhan terhadap rejimen diuretik, pembatasan natrium, dan pemantauan berat badan harian.
Mengenali Tanda dan Gejala Komplikasi: Misalnya, tanda-tanda infeksi (demam, nyeri perut), perdarahan, atau perburukan asites yang membutuhkan intervensi.
Pentingnya Nutrisi: Diet seimbang, dengan pembatasan natrium yang ketat. Pada beberapa pasien, pembatasan cairan juga mungkin diperlukan.
Kapan Harus Mencari Pertolongan Medis: Memberikan panduan jelas tentang gejala yang memerlukan kunjungan ke dokter atau unit gawat darurat.
Dampak Psikososial: Asites kronis dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien dan keluarga. Memberikan dukungan emosional, informasi tentang kelompok dukungan, dan rujukan ke layanan psikologi jika diperlukan dapat sangat membantu.
Komunikasi yang efektif dan empati dapat membangun kepercayaan pasien, meningkatkan kepatuhan pengobatan, dan pada akhirnya, meningkatkan hasil klinis.
Perkembangan dan Penelitian Terbaru
Bidang manajemen asites dan teknik parasintesis terus berkembang. Penelitian berfokus pada peningkatan keamanan, efisiensi, dan pengembangan modalitas baru.
1. Peningkatan Penggunaan Ultrasonografi
Penggunaan USG telah menjadi standar praktik dalam parasintesis. Penelitian terus menunjukkan bahwa panduan USG:
Meningkatkan Keamanan: Secara signifikan mengurangi risiko komplikasi seperti perdarahan dan perforasi organ dengan mengidentifikasi lokasi cairan optimal dan menghindari struktur vital.
Meningkatkan Keberhasilan: Memastikan penusukan yang berhasil pada upaya pertama, terutama pada asites minimal atau pada pasien dengan anatomi yang rumit (misalnya, obesitas, bekas luka operasi).
Bahkan untuk klinisi berpengalaman, USG selalu direkomendasikan untuk memvisualisasikan dinding abdomen dan isi abdomen sebelum penusukan.
2. Pengembangan Perangkat Baru
Inovasi dalam desain kateter drainase bertujuan untuk mengurangi risiko kebocoran cairan dan meningkatkan kenyamanan pasien. Beberapa perangkat baru yang sedang dikembangkan meliputi:
Kateter Cacing (Pigtail Catheters): Kateter fleksibel berdiameter kecil yang dapat ditinggalkan di tempat untuk drainase intermiten atau terus menerus.
Jarum dengan Katup Keamanan: Untuk mencegah paparan darah dan cairan tubuh.
Perangkat Drainase Asites yang dapat Ditanam (Implantable Peritoneal Catheters): Untuk manajemen asites refrakter pada pasien paliatif, memungkinkan pasien atau perawat melakukan drainase di rumah. Ini adalah area yang menjanjikan untuk meningkatkan kualitas hidup.
3. Penelitian tentang Penggantian Albumin
Meskipun penggantian albumin untuk parasintesis volume besar telah menjadi standar, penelitian masih terus berlanjut mengenai dosis optimal, jenis albumin, dan kriteria pasien yang paling diuntungkan. Ada juga studi yang mengeksplorasi peran albumin pada asites tanpa parasintesis, terutama untuk mencegah komplikasi sirosis.
4. Biometer Baru untuk Analisis Cairan Asites
Penelitian terus mencari biomarker baru dalam cairan asites yang dapat membantu diagnosis lebih cepat atau memprediksi respons pengobatan. Contohnya adalah penanda inflamasi atau genetik yang mungkin lebih akurat dalam mendiagnosis infeksi atau keganasan pada cairan asites.
5. Terapi Adjuvan Baru
Di luar diuretik dan albumin, penelitian sedang mengeksplorasi obat-obatan baru yang menargetkan mekanisme patofisiologis asites, seperti antagonis reseptor vasopresin yang lebih selektif atau terapi yang memodulasi sirkulasi splanknikus.
Perkembangan ini menunjukkan komitmen untuk terus meningkatkan perawatan pasien dengan asites, menjadikan parasintesis sebagai prosedur yang lebih aman, lebih efektif, dan lebih berpusat pada pasien.
Kesimpulan
Parasintesis adalah prosedur medis yang sangat berharga dan seringkali penyelamat jiwa dalam penanganan asites. Baik sebagai alat diagnostik untuk mengungkap penyebab asites dan komplikasinya, maupun sebagai intervensi terapeutik untuk meredakan gejala yang mengganggu, perannya tidak dapat diremehkan. Memahami indikasi yang tepat, persiapan pasien yang cermat, teknik prosedur yang teliti, dan interpretasi analisis cairan yang akurat adalah fondasi untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya.
Asites, terutama yang refrakter, merupakan tantangan kompleks yang membutuhkan pendekatan multidisiplin. Dengan kemajuan dalam teknik pencitraan (khususnya ultrasonografi), pengembangan peralatan, dan pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi, parasintesis terus berevolusi menjadi prosedur yang semakin aman dan efisien. Namun, keberhasilan jangka panjang dalam manajemen asites tetap bergantung pada pengobatan penyebab dasarnya, dengan parasintesis seringkali berfungsi sebagai jembatan penting untuk diagnosis dan peredaan gejala sementara. Edukasi pasien dan komunikasi yang efektif juga merupakan elemen krusial untuk memastikan pasien memahami kondisi mereka dan berpartisipasi aktif dalam rencana perawatan.
Dengan terus menerapkan praktik terbaik dan mengikuti perkembangan penelitian terbaru, tenaga medis dapat secara optimal memanfaatkan parasintesis untuk meningkatkan kualitas hidup dan hasil klinis pasien yang menderita asites.