Menggali Pasungan: Sejarah, Dampak, dan Upaya Penghapusan

Pasungan. Mendengar kata ini saja sudah cukup untuk membayangkan praktik yang kejam, tak manusiawi, dan sarat akan penderitaan. Bagi banyak orang di era modern, pasungan mungkin terdengar seperti peninggalan masa lalu yang kelam, sebuah cerita dari zaman di mana pemahaman tentang kesehatan mental masih minim dan metode pengobatan belum ditemukan. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Praktik pasungan, meski telah dilarang dan secara luas dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia, masih ditemukan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Artikel ini akan menyelami lebih dalam tentang pasungan, mulai dari akar sejarahnya, dampak mengerikan yang ditimbulkannya, faktor-faktor pemicu kelanggengannya, hingga upaya-upaya heroik yang dilakukan untuk menghapusnya demi martabat kemanusiaan.

Pengantar: Mengapa Pasungan Masih Ada?

Pasungan adalah sebuah metode pengekangan fisik yang digunakan untuk mengikat atau mengunci seseorang, seringkali individu dengan gangguan jiwa (ODGJ), dalam posisi yang tidak wajar dan membatasi gerak secara ekstrem. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari rantai yang membelenggu kaki atau tangan, ikatan tali pada tubuh, hingga kurungan kayu atau bambu yang memaksa seseorang untuk tetap diam di satu tempat selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tujuan utama dari praktik ini, menurut pandangan masyarakat tradisional yang melanggengkannya, adalah untuk mengendalikan perilaku "tidak wajar" atau "membahayakan" dari individu tersebut, serta untuk "melindungi" diri mereka sendiri atau anggota keluarga lainnya dari apa yang mereka anggap sebagai ancaman.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa praktik yang begitu kejam ini masih bertahan di tengah gempuran informasi dan kemajuan teknologi? Jawabannya kompleks, melibatkan berbagai lapisan permasalahan sosial, ekonomi, budaya, dan kesehatan. Stigma yang melekat pada gangguan jiwa menjadi salah satu akar masalah terbesar. Masyarakat seringkali memandang ODGJ sebagai orang gila yang harus dijauhi, ditakuti, atau bahkan diperlakukan sebagai aib keluarga. Kurangnya pemahaman bahwa gangguan jiwa adalah penyakit medis yang bisa diobati, bukan kutukan atau kerasukan, memperparah situasi.

Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan mental yang memadai seringkali menjadi barang mewah, terutama di daerah pedesaan atau terpencil. Keterbatasan fasilitas, tenaga profesional yang minim, biaya pengobatan yang mahal, serta jauhnya lokasi pelayanan, membuat keluarga merasa tidak punya pilihan lain selain menggunakan metode tradisional seperti pasungan. Ketidakberdayaan ekonomi keluarga, rasa malu, dan kurangnya dukungan sosial juga turut berkontribusi dalam melestarikan praktik ini.

Ilustrasi Simbolis Pasungan Gambar orang dalam kurungan dengan garis-garis silang, melambangkan isolasi dan pembatasan dalam pasungan.

Sejarah dan Konteks Budaya Pasungan di Indonesia

Praktik pasungan bukanlah fenomena baru. Akar sejarahnya dapat ditelusuri jauh ke masa lalu, di mana pemahaman tentang penyakit mental sangat terbatas atau bahkan tidak ada. Di berbagai kebudayaan, individu dengan perilaku yang berbeda dari norma sering kali dianggap kerasukan roh jahat, terkena kutukan, atau memiliki kekuatan gaib yang membahayakan. Respons terhadap fenomena ini bervariasi, mulai dari pengucilan, ritual pengusiran roh, hingga pengekangan fisik. Di Indonesia, praktik pasungan telah menjadi bagian dari sejarah sosial di banyak daerah.

Pandangan Tradisional tentang Gangguan Jiwa

Sebelum masuknya pengobatan modern, masyarakat Indonesia seringkali menafsirkan gangguan jiwa melalui lensa mistisisme dan kepercayaan lokal. Orang yang mengalami halusinasi, delusi, atau perubahan perilaku drastis kerap dianggap sebagai individu yang sedang "diganggu" oleh makhluk halus, terkena santet, atau menerima hukuman dari leluhur karena melanggar adat. Dalam konteks ini, pasungan bisa dilihat sebagai salah satu upaya untuk "menjinakkan" gangguan tersebut, kadang disertai dengan ritual pengobatan tradisional, doa, atau bahkan tindakan kekerasan yang dianggap sebagai bagian dari "penyembuhan".

Ada juga pandangan bahwa pasungan adalah cara untuk "melindungi" masyarakat dari perilaku agresif yang mungkin ditunjukkan oleh ODGJ. Tanpa pemahaman medis yang adekuat dan fasilitas yang aman, keluarga dan komunitas merasa bahwa menahan individu tersebut adalah satu-satunya jalan untuk mencegah potensi bahaya, baik bagi ODGJ itu sendiri maupun orang lain di sekitarnya. Ironisnya, tindakan pengekangan ini seringkali justru memperburuk kondisi mental dan fisik pasien.

Bentuk-bentuk Pasungan

Pasungan tidak memiliki satu bentuk tunggal. Variasinya tergantung pada bahan yang tersedia, kreativitas (yang sayangnya seringkali brutal) para pelakunya, dan tingkat keparahan pengekangan yang diinginkan. Beberapa bentuk pasungan yang umum ditemukan meliputi:

Terlepas dari bentuknya, esensi dari pasungan adalah pembatasan gerak yang ekstrem, isolasi, dan dehumanisasi, yang semuanya berkontribusi pada penderitaan luar biasa bagi korbannya.

Dampak Mengerikan Pasungan: Fisik dan Psikologis

Praktik pasungan meninggalkan luka mendalam yang seringkali tak tersembuhkan, baik secara fisik maupun psikologis. Dampak-dampak ini bukan hanya dirasakan oleh individu yang dipasung, tetapi juga oleh keluarga dan komunitas di sekitarnya, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Dampak Fisik

Kondisi hidup yang tidak layak dan pengekangan fisik yang terus-menerus menyebabkan berbagai masalah kesehatan fisik yang serius:

Dampak Psikologis

Kerusakan psikologis akibat pasungan seringkali lebih parah dan lebih sulit diobati daripada luka fisik. Individu yang dipasung mengalami trauma yang sangat kompleks:

Dampak-dampak ini menunjukkan bahwa pasungan bukan solusi, melainkan sumber penderitaan yang tak berujung, menciptakan lingkaran setan kekerasan dan penyakit.

Aspek Hukum dan Hak Asasi Manusia

Dari perspektif hukum dan hak asasi manusia, praktik pasungan adalah pelanggaran berat dan tidak dapat ditoleransi. Berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional melarang praktik semacam ini dan menyerukan perlindungan bagi individu dengan gangguan jiwa.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Universal

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas martabat dan integritas fisik dan mental. Pasungan melanggar prinsip-prinsip dasar ini:

Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD), yang telah diratifikasi oleh banyak negara, termasuk Indonesia, lebih lanjut memperkuat perlindungan bagi individu dengan disabilitas mental. CRPD secara tegas melarang segala bentuk pengekangan paksa dan menyerukan negara-negara untuk memastikan bahwa individu dengan disabilitas mental memiliki hak untuk hidup di masyarakat dengan pilihan yang sama seperti orang lain.

Hukum Nasional Indonesia

Di Indonesia, praktik pasungan telah secara resmi dilarang oleh Undang-Undang. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, khususnya, merupakan tonggak penting dalam upaya penghapusan pasungan. Undang-Undang ini menegaskan bahwa:

Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga dapat diterapkan untuk menjerat pelaku pemasungan yang mengakibatkan luka atau penderitaan, melalui pasal-pasal tentang penganiayaan atau perampasan kemerdekaan. Meskipun demikian, penegakan hukum seringkali terkendala oleh kurangnya pelaporan, stigma masyarakat, dan pemahaman yang masih kurang tentang apa yang merupakan pelanggaran hukum dalam konteks ini.

Faktor Pemicu Kelanggengan Pasungan

Mengapa pasungan masih menjadi pilihan, bahkan di tengah regulasi dan kesadaran yang meningkat? Ada beberapa faktor kompleks yang saling terkait:

1. Stigma dan Diskriminasi

Stigma adalah pemicu utama. Gangguan jiwa masih sering dianggap sebagai aib, kutukan, atau bahkan dosa. Keluarga yang memiliki anggota ODGJ seringkali merasa malu, takut akan penilaian sosial, dan berupaya menyembunyikan kondisi tersebut. Pasungan dianggap sebagai cara untuk "mengamankan" situasi dan menjaga rahasia keluarga dari pandangan publik, meski dengan biaya yang sangat mahal bagi korban.

2. Kurangnya Akses ke Layanan Kesehatan Mental

Ini adalah masalah sistemik. Di banyak daerah, terutama di pedesaan dan terpencil, fasilitas kesehatan mental sangat terbatas atau tidak ada sama sekali. Puskesmas mungkin tidak memiliki tenaga medis yang terlatih dalam kesehatan jiwa, rumah sakit jiwa (RSJ) jaraknya jauh, dan biaya pengobatan (termasuk transportasi, obat-obatan, dan perawatan) di luar jangkauan keluarga miskin. Tanpa alternatif yang layak, pasungan seringkali menjadi pilihan yang "paling mudah" atau satu-satunya yang terlihat.

3. Keterbatasan Ekonomi Keluarga

Kondisi ekonomi yang sulit memperparah masalah. Perawatan jangka panjang bagi ODGJ membutuhkan biaya besar, baik untuk pengobatan, nutrisi, maupun pengawasan. Banyak keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak mampu menanggung biaya ini. Dalam keputusasaan, pasungan dianggap sebagai solusi "murah" atau bahkan "gratis" karena hanya membutuhkan tenaga sendiri dan beberapa bahan sederhana.

4. Kurangnya Pengetahuan dan Pendidikan

Masyarakat, termasuk keluarga ODGJ, seringkali tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyebab, gejala, dan pengobatan gangguan jiwa. Mereka tidak tahu bahwa gangguan jiwa adalah penyakit medis yang bisa diobati, bukan sesuatu yang perlu ditakuti atau disembunyikan. Mitos dan kepercayaan takhayul masih mengakar kuat, yang kadang mengarahkan mereka pada pengobatan alternatif yang tidak efektif atau bahkan berbahaya.

5. Dukungan Sosial yang Lemah

Keluarga yang merawat ODGJ seringkali merasa sendirian dan terisolasi. Kurangnya dukungan dari tetangga, komunitas, atau bahkan lembaga pemerintah, membuat mereka merasa putus asa. Beban merawat ODGJ tanpa bantuan profesional atau dukungan emosional dapat sangat melelahkan, secara fisik dan mental, mendorong mereka untuk mencari jalan pintas seperti pasungan.

6. Penegakan Hukum yang Belum Optimal

Meskipun ada undang-undang yang melarang pasungan, penegakannya di lapangan belum optimal. Kurangnya pemantauan, koordinasi antarlembaga, dan kesadaran hukum di tingkat masyarakat membuat praktik ini sulit diberantas sepenuhnya. Seringkali, kasus pasungan baru terungkap setelah bertahun-tahun melalui laporan media atau organisasi non-pemerintah.

Ilustrasi Harapan dan Dukungan Kesehatan Mental Dua tangan saling menggenggam sebuah simbol otak atau pikiran, melambangkan dukungan, pemulihan, dan harapan dalam kesehatan mental.

Upaya Penghapusan Pasungan: Sebuah Perjalanan Panjang

Meskipun tantangannya besar, upaya untuk menghapus pasungan terus dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi non-pemerintah (LSM), komunitas lokal, hingga individu-individu yang peduli. Perjalanan ini adalah maraton, bukan sprint, membutuhkan komitmen jangka panjang dan pendekatan multidimensional.

Peran Pemerintah

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial, telah meluncurkan berbagai program untuk mengakhiri pasungan. Kampanye "Indonesia Bebas Pasung" menjadi salah satu inisiatif penting. Program ini melibatkan:

Tentu saja, implementasi program-program ini menghadapi berbagai hambatan, mulai dari keterbatasan anggaran, jangkauan geografis yang luas, hingga resistensi budaya. Namun, komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ini terus ada.

Peran Organisasi Non-Pemerintah (LSM) dan Komunitas

LSM dan organisasi berbasis komunitas seringkali menjadi garda terdepan dalam upaya penghapusan pasungan. Mereka memiliki fleksibilitas dan kedekatan dengan masyarakat yang memungkinkan mereka beroperasi di area yang sulit dijangkau pemerintah:

Kolaborasi antara pemerintah dan LSM sangat krusial. Kekuatan pemerintah dalam kebijakan dan sumber daya dapat dipadukan dengan kecepatan, fleksibilitas, dan kedekatan LSM dengan komunitas.

Peran Keluarga dan Masyarakat

Pada akhirnya, kunci penghapusan pasungan terletak pada perubahan pola pikir dan tindakan di tingkat keluarga dan masyarakat. Ini membutuhkan:

Alternatif Modern untuk Pasungan

Tidak ada alasan untuk terus melanggengkan pasungan di era modern ini. Ada banyak alternatif yang manusiawi, efektif, dan berbasis bukti ilmiah untuk penanganan gangguan jiwa:

1. Pengobatan Farmakologi

Obat-obatan antipsikotik, antidepresan, atau penstabil suasana hati dapat secara signifikan mengurangi gejala gangguan jiwa, memungkinkan pasien untuk berpikir lebih jernih, mengendalikan emosi, dan berinteraksi lebih baik dengan lingkungan. Ketersediaan obat generik yang lebih murah juga menjadi solusi penting.

2. Psikoterapi dan Konseling

Terapi bicara, terapi perilaku kognitif (CBT), atau bentuk psikoterapi lainnya membantu individu memahami kondisi mereka, mengembangkan strategi penanganan, mengubah pola pikir negatif, dan meningkatkan keterampilan sosial. Ini bisa dilakukan secara individu atau dalam kelompok.

3. Rehabilitasi Psikososial

Program rehabilitasi membantu ODGJ mendapatkan kembali fungsi sosial dan pekerjaan mereka. Ini bisa termasuk pelatihan keterampilan hidup sehari-hari, pendidikan vokasional, dukungan untuk mencari pekerjaan, serta pengembangan hobi dan minat. Tujuannya adalah agar individu dapat hidup mandiri dan produktif di masyarakat.

4. Perawatan Berbasis Komunitas

Model perawatan ini menekankan bahwa ODGJ harus dirawat di lingkungan komunitas mereka sendiri, bukan di institusi yang terpisah. Ini melibatkan tim kesehatan mental yang bekerja di masyarakat, memberikan dukungan di rumah, menghubungkan pasien dengan sumber daya lokal, dan melibatkan keluarga dalam proses perawatan.

5. Dukungan Kelompok Sebaya

Bergabung dengan kelompok dukungan yang terdiri dari individu yang juga mengalami gangguan jiwa atau keluarganya dapat memberikan rasa tidak sendiri, berbagi pengalaman, dan saling memberikan semangat. Ini sangat efektif dalam mengatasi isolasi dan stigma.

6. Intervensi Krisis

Untuk kasus-kasus akut atau perilaku yang berpotensi membahayakan, intervensi krisis jangka pendek di fasilitas yang aman dan manusiawi (bukan pasungan) dapat memberikan stabilisasi awal sebelum perawatan jangka panjang dimulai.

Semua alternatif ini membutuhkan investasi dalam sumber daya manusia (psikiater, psikolog, perawat jiwa, pekerja sosial), fasilitas yang memadai, dan sistem pendukung yang terintegrasi. Namun, investasi ini jauh lebih murah dan lebih manusiawi daripada biaya sosial dan penderitaan yang ditimbulkan oleh praktik pasungan.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Meskipun ada kemajuan signifikan dalam upaya penghapusan pasungan, tantangan yang dihadapi masih sangat besar:

Namun, di tengah tantangan ini, ada harapan besar. Kesadaran masyarakat yang semakin meningkat, komitmen pemerintah, peran aktif LSM, dan kolaborasi multipihak menjadi modal utama. Kisah-kisah sukses individu yang dulunya dipasung kini bisa kembali hidup normal dan produktif adalah bukti bahwa perubahan itu mungkin. Dengan terus-menerus mengedukasi, menyediakan akses, dan membangun sistem dukungan yang kuat, "Indonesia Bebas Pasung" bukanlah sekadar slogan, tetapi cita-cita yang dapat diwujudkan.

Kisah Nyata di Balik Pasungan: Suara yang Dibungkam

Untuk memahami sepenuhnya horor pasungan, penting untuk mendengarkan—atau setidaknya membayangkan—kisah-kisah di baliknya. Setiap individu yang dipasung adalah sebuah narasi tentang penderitaan yang tak terbayangkan, harapan yang direnggut, dan martabat yang diinjak-injak.

Kasus A: Belenggu Kayu di Rumah Sendiri

Seorang pria berusia sekitar 40-an, sebut saja Budi, telah dipasung selama lebih dari sepuluh tahun di balik rumahnya. Keluarganya, petani miskin di sebuah desa terpencil, merasa tidak berdaya ketika Budi mulai menunjukkan perilaku agresif setelah kematian ibunya. Mereka tidak tahu harus pergi ke mana, tidak punya uang untuk membawa Budi ke kota, dan tetangga mulai menjauhi mereka. Akhirnya, sang ayah membuat pasungan kayu sederhana dan mengunci kaki Budi di sana. Budi hidup dalam kegelapan, kotoran, dan kesepian. Ia kehilangan kemampuan berbicara, otot-ototnya mengecil, dan tatapannya kosong. Ia hanya bisa makan dari suapan anggota keluarga dan buang air di tempatnya. Bau tak sedap selalu menyelimuti area tersebut, dan tak ada satu pun warga yang berani mendekat.

Ketika tim dari dinas sosial dan LSM datang, mereka menemukan Budi dalam kondisi yang sangat mengenaskan. Kulitnya pucat, banyak luka di kakinya, dan ia tampak jauh lebih tua dari usianya. Proses pembebasan Budi penuh haru, dengan air mata dari keluarga yang selama ini terbebani namun tidak tahu cara lain. Budi kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa, memerlukan waktu berbulan-bulan untuk perawatan fisik dan psikis. Perlahan, ia mulai merespons, namun trauma mendalam akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Kisah Budi adalah potret bagaimana keterbatasan ekonomi, ketidaktahuan, dan stigma dapat menjebak seseorang dalam siklus penderitaan yang tak berakhir.

Kasus B: Wanita Muda yang Terasing

Lain lagi dengan Sari, seorang wanita muda berusia 20-an. Ia mengalami skizofrenia sejak SMA, yang memaksanya putus sekolah. Keluarga awalnya berusaha membawanya ke pengobatan tradisional, namun tidak berhasil. Gejala Sari semakin parah, dan ia sering berbicara sendiri, tertawa tanpa sebab, atau kadang berteriak histeris. Karena malu dan takut mengganggu tetangga, keluarganya memutuskan untuk mengikat Sari dengan rantai di sebuah kamar yang sempit. Jendela kamar tersebut selalu tertutup, dan Sari jarang melihat sinar matahari.

Selama lima tahun di pasungan, Sari tidak pernah mandi atau berganti pakaian secara layak. Rambutnya gimbal, kulitnya menghitam dan penuh luka, dan ia mengalami malnutrisi parah. Saat ditemukan, ia sangat kurus dan hanya bisa meringkuk di sudut ruangan. Ia tidak lagi mampu mengenali anggota keluarganya sendiri. Perjalanan pemulihan Sari sangat panjang. Ia membutuhkan intervensi psikiatri intensif, nutrisi yang cukup, dan terapi okupasi untuk mengembalikan sebagian fungsi tubuhnya. Yang paling sulit adalah mengembalikan kembali kemampuannya untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Kasus Sari menyoroti bagaimana isolasi dan penelantaran dapat mempercepat kemunduran mental dan fisik, bahkan pada usia muda.

Kasus C: Harapan di Balik Puing-puing Trauma

Tidak semua kisah berakhir tanpa harapan. Dika, seorang pemuda yang pernah dipasung selama dua tahun, adalah contoh nyata kekuatan resiliensi manusia. Dika mengalami gangguan bipolar. Ketika episode manik menyerang, ia menjadi sangat hiperaktif, tidak bisa tidur, dan seringkali impulsif. Keluarga merasa kewalahan dan memasungnya di kandang ayam kosong. Dika menderita luka fisik dan mental yang parah.

Namun, setelah dibebaskan dan mendapatkan perawatan yang tepat, Dika menunjukkan kemajuan luar biasa. Dengan dukungan psikolog, obat-obatan yang teratur, dan yang terpenting, dukungan penuh dari keluarga yang kini diedukasi, Dika berhasil pulih secara bertahap. Ia kembali ke bangku sekolah Paket C, belajar menjahit, dan akhirnya membuka usaha kecil-kecilan. Dika menjadi seorang advokat bagi penyandang disabilitas mental, berbagi kisahnya untuk menginspirasi orang lain dan menghapus stigma. Kisah Dika adalah pengingat bahwa dengan intervensi yang tepat, empati, dan akses ke layanan kesehatan yang layak, pemulihan adalah mungkin, bahkan setelah penderitaan yang paling ekstrem.

Kisah-kisah ini, dan ribuan lainnya yang mungkin tak pernah terekspos, menegaskan urgensi untuk terus berjuang melawan pasungan. Mereka adalah pengingat pahit tentang dampak ketidaktahuan dan kurangnya empati, namun juga sumber inspirasi untuk terus membangun sistem dukungan yang lebih baik bagi mereka yang paling rentan di antara kita.

Kesimpulan: Menuju Masyarakat Tanpa Pasungan

Praktik pasungan adalah noda hitam pada kemanusiaan, sebuah pelanggaran hak asasi yang mendasar, dan bukti nyata dari kegagalan sistematis dalam memberikan pelayanan kesehatan mental yang memadai. Meskipun telah dilarang dan diupayakan penghapusannya, kelanggengan pasungan di beberapa daerah menunjukkan bahwa perjuangan masih panjang.

Untuk mencapai "Indonesia Bebas Pasung" yang seutuhnya, diperlukan upaya kolektif dan sinergis dari berbagai elemen: pemerintah harus terus memperkuat kebijakan, mengalokasikan anggaran yang cukup, dan meningkatkan akses layanan kesehatan mental hingga ke pelosok. Tenaga medis dan profesional kesehatan jiwa harus diperbanyak dan didistribusikan secara merata. Organisasi non-pemerintah harus terus menjadi mitra strategis dalam penjangkauan, advokasi, dan pendampingan. Dan yang terpenting, masyarakat harus terus diedukasi untuk menghapus stigma terhadap gangguan jiwa, memahami bahwa ini adalah penyakit yang bisa diobati, dan memberikan dukungan penuh kepada individu dengan gangguan jiwa serta keluarga mereka.

Setiap orang berhak atas martabat, kebebasan, dan perawatan kesehatan yang layak. Mengakhiri pasungan bukan hanya tentang membebaskan tubuh yang terbelenggu, tetapi juga tentang membebaskan pikiran dari stigma, membangun empati, dan menciptakan masyarakat yang inklusif, di mana setiap individu, terlepas dari kondisi kesehatan mentalnya, dihargai dan memiliki kesempatan untuk hidup bermakna. Ini adalah investasi bukan hanya untuk mereka yang dipasung, tetapi untuk masa depan masyarakat yang lebih manusiawi dan beradab.

🏠 Homepage