Dalam lanskap politik dan hukum, konsep "pendaulat" adalah salah satu pilar fundamental yang menopang keberadaan sebuah negara dan tatanan masyarakat. Kata "pendaulat" merujuk pada entitas, baik individu, kelompok, maupun lembaga, yang memiliki kekuasaan tertinggi dan tidak tunduk pada otoritas lain dalam suatu wilayah geografis tertentu. Ini adalah jantung dari kedaulatan, prinsip yang menentukan bahwa setiap negara memiliki hak eksklusif untuk mengatur urusan internalnya tanpa campur tangan pihak luar, sekaligus menegaskan legitimasi kekuasaan di dalamnya. Pemahaman mendalam tentang siapa atau apa yang menjadi pendaulat dalam suatu sistem politik sangat krusial untuk mengurai struktur kekuasaan, hak-hak warga negara, serta interaksi antarnegara.
Seiring berjalannya waktu, definisi dan manifestasi pendaulat telah mengalami evolusi signifikan. Dari konsep raja atau kaisar sebagai pendaulat absolut yang kekuasaannya berasal dari ilahi, hingga gagasan rakyat sebagai pendaulat tertinggi yang menjadi dasar demokrasi modern, perjalanan ini mencerminkan perubahan paradigma dalam cara manusia memahami pemerintahan dan legitimasi. Di era kontemporer, diskusi tentang pendaulat semakin kompleks, terutama dengan munculnya fenomena globalisasi, organisasi supranasional, tantangan hak asasi manusia universal, dan perkembangan teknologi yang melampaui batas-batas fisik. Artikel ini akan menjelajahi berbagai dimensi konsep pendaulat, dari akar sejarahnya, jenis-jenisnya, sumber legitimasi, tantangan modern, hingga relevansinya dalam konteks Indonesia.
Ilustrasi: Simbol Kedaulatan Negara, menegaskan otoritas tertinggi dalam wilayahnya.
Pendaulat, secara etimologis, berasal dari kata "daulat" yang berarti kekuasaan, pemerintahan, atau keagungan. Menjadi "pendaulat" berarti menjadi pemegang daulat atau kekuasaan tertinggi yang tidak dapat diganggu gugat. Dalam konteks ilmu politik dan hukum, pendaulat adalah entitas yang memiliki kedaulatan, yaitu kekuasaan penuh dan independen untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam batas-batas teritorialnya, tanpa campur tangan eksternal.
Kedaulatan adalah konsep abstrak yang mewujudkan kekuasaan pendaulat. Jean Bodin, seorang filsuf politik Prancis abad ke-16, adalah salah satu pemikir awal yang menguraikan kedaulatan secara sistematis. Baginya, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi atas warga negara dan subjek yang tidak dibatasi oleh hukum. Ini berarti bahwa pendaulat memiliki hak tunggal untuk:
Esensi dari kedaulatan adalah kemandirian dan supremasi. Sebuah entitas yang merupakan pendaulat tidak tunduk pada entitas lain dalam urusan domestiknya dan diakui sebagai independen dalam hubungannya dengan entitas internasional.
Untuk memahami sepenuhnya konsep pendaulat, penting untuk mengidentifikasi atribut-atribut kedaulatan:
Gagasan tentang kekuasaan tertinggi atau pendaulat bukanlah penemuan modern, tetapi evolusinya telah membentuk tatanan politik dunia seperti yang kita kenal sekarang. Dari kekuasaan teokratis hingga kedaulatan rakyat, konsep ini terus beradaptasi dengan perubahan sosial, politik, dan filosofis.
Di peradaban kuno, kekuasaan tertinggi seringkali dikaitkan dengan kekuatan ilahi. Firaun di Mesir, Kaisar di Roma, atau raja-raja yang mengaku sebagai keturunan dewa, adalah pendaulat yang legitimasinya berasal dari surga. Kekuasaan mereka bersifat absolut, dan penentangan terhadap mereka dianggap sebagai penentangan terhadap kehendak Tuhan. Dalam sistem ini, rakyat tidak memiliki hak untuk mempertanyakan atau membatasi kekuasaan pendaulat.
Selama Abad Pertengahan di Eropa, kekuasaan tertinggi seringkali terbagi antara Paus (otoritas spiritual) dan Kaisar (otoritas duniawi). Konflik antara keduanya sering terjadi, menciptakan ambiguitas mengenai siapa pendaulat sesungguhnya. Para raja dan bangsawan juga memiliki tingkat kekuasaan tertentu di wilayah mereka, seringkali dalam kerangka feodal, yang membatasi konsolidasi kekuasaan pada satu entitas tunggal.
Titik balik penting dalam sejarah konsep pendaulat terjadi pada abad ke-16 dan ke-17. Perjanjian Westphalia pada tahun 1648, yang mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun, sering dianggap sebagai tonggak sejarah munculnya negara bangsa berdaulat. Perjanjian ini menetapkan prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara lain dan mengakui setiap negara sebagai entitas yang berdaulat atas wilayahnya sendiri. Ini meletakkan dasar bagi sistem internasional di mana negara-negara, bukan kerajaan atau gereja, menjadi unit politik utama.
Pada periode ini, para filsuf politik seperti Jean Bodin dan Thomas Hobbes mulai mengembangkan teori kedaulatan modern. Bodin menekankan kedaulatan absolut sebagai keharusan untuk menjaga ketertiban, sementara Hobbes dalam karyanya "Leviathan" berpendapat bahwa individu-individu menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada pendaulat (penguasa absolut) demi perdamaian dan keamanan.
Abad ke-18 dan ke-19 menyaksikan pergeseran radikal dalam pemahaman pendaulat. Pemikir Pencerahan seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu mengemukakan gagasan tentang kedaulatan rakyat (popular sovereignty). Locke berpendapat bahwa kekuasaan pemerintah berasal dari persetujuan rakyat, dan Rousseau mengembangkan konsep "kehendak umum" (general will) sebagai sumber kedaulatan yang tidak dapat dibagi.
Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis adalah manifestasi nyata dari ide-ide ini, menggulingkan monarki absolut dan mendirikan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip bahwa rakyat adalah pendaulat tertinggi. Dalam sistem ini, kekuasaan pemerintah bersifat delegatif, artinya diberikan oleh rakyat kepada wakil-wakilnya, dan dapat ditarik kembali jika pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya. Konstitusi menjadi instrumen untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan melindungi hak-hak warga negara.
Ilustrasi: Kelompok Masyarakat, melambangkan kedaulatan rakyat sebagai sumber kekuasaan tertinggi.
Konsep kedaulatan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sumber, manifestasi, atau fokusnya. Pemahaman atas perbedaan ini penting untuk menganalisis struktur politik dan dinamika hubungan internasional.
Sumber kedaulatan adalah pertanyaan kunci dalam filsafat politik dan merupakan penentu utama legitimasi kekuasaan:
Pertanyaan tentang mengapa seseorang atau sebuah lembaga memiliki hak untuk menjadi pendaulat, yaitu memiliki kekuasaan tertinggi, adalah inti dari legitimasi. Berbagai teori telah diajukan untuk menjelaskan sumber legitimasi ini.
Teori ini berpendapat bahwa kekuasaan seorang pendaulat, khususnya seorang raja, berasal langsung dari Tuhan. Raja adalah wakil Tuhan di bumi dan hanya bertanggung jawab kepada Tuhan, bukan kepada rakyat atau hukum manusia. Oleh karena itu, menentang raja sama dengan menentang kehendak Tuhan, dan rakyat tidak memiliki hak untuk menggulingkan atau membatasi kekuasaannya. Teori ini sangat dominan di Eropa selama Abad Pertengahan dan awal periode modern, digunakan untuk membenarkan monarki absolut.
Mirip dengan kedaulatan Tuhan, tetapi kadang-kadang lebih sekuler, teori ini menempatkan raja atau monarki sebagai pendaulat tertinggi. Kekuasaan raja mungkin tidak selalu dikaitkan secara eksplisit dengan Tuhan, tetapi lebih kepada tradisi, hak waris, atau kemampuan raja untuk menjaga stabilitas dan keamanan. Dalam sistem ini, raja memiliki kekuasaan absolut dan menjadi sumber hukum, keadilan, dan administrasi.
Teori kedaulatan negara menggeser fokus dari individu penguasa ke entitas negara itu sendiri. Negara dipandang sebagai badan hukum yang memiliki kepribadian dan kekuasaan tertinggi yang independen dari individu-individu yang memerintahnya. Hukum negara adalah ekspresi dari kedaulatan ini, dan setiap warga negara berkewajiban untuk mematuhinya. Ini adalah dasar bagi banyak sistem hukum modern yang menganggap negara sebagai subjek hukum internasional dan domestik.
Teori kedaulatan rakyat adalah pilar utama demokrasi. Ia menyatakan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintah hanya memiliki kekuasaan karena rakyat telah memberikan persetujuan atau mandat kepada mereka untuk memerintah. Persetujuan ini dapat diwujudkan melalui pemilihan umum, partisipasi politik, dan konstitusi. Jika pemerintah menyalahgunakan kekuasaannya atau melanggar hak-hak rakyat, rakyat memiliki hak untuk menolak atau menggantinya. Ini memastikan akuntabilitas pemerintah kepada rakyat.
Dalam beberapa interpretasi, hukum, khususnya konstitusi, dipandang sebagai pendaulat tertinggi. Ini berarti bahwa semua cabang pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—serta rakyat, tunduk pada hukum. Konstitusi menjadi batasan bagi kekuasaan siapa pun yang memerintah dan menjamin hak-hak individu. Konsep "rule of law" (supremasi hukum) adalah manifestasi dari kedaulatan hukum, di mana tidak ada seorang pun yang berada di atas hukum.
Konsep pendaulat menemukan manifestasi paling konkretnya dalam negara bangsa modern. Setelah Perjanjian Westphalia, negara bangsa menjadi aktor utama dalam tatanan politik global, dan kedaulatan adalah karakteristik esensial yang mendefinisikan keberadaan mereka.
Seperti disebutkan sebelumnya, Perjanjian Westphalia adalah titik tolak bagi sistem negara berdaulat. Prinsip utama yang ditegaskan adalah bahwa setiap penguasa memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya dan bebas dari campur tangan eksternal, terutama dari otoritas religius universal seperti Paus. Ini menciptakan sistem di mana negara-negara adalah unit politik yang independen dan setara secara hukum, yang membentuk dasar hukum internasional modern.
Dalam sistem Westphalia, kedaulatan berarti:
Munculnya nasionalisme pada abad ke-18 dan ke-19 memperkuat konsep pendaulat dalam negara bangsa. Nasionalisme adalah ideologi yang menekankan loyalitas dan identitas yang kuat terhadap bangsa sendiri, seringkali dengan tujuan untuk mendirikan atau mempertahankan negara bangsa yang merdeka dan berdaulat. Gerakan-gerakan nasionalis seringkali memperjuangkan hak untuk menentukan nasib sendiri dan membentuk negara yang memiliki kedaulatan penuh.
Di banyak negara, khususnya setelah dekolonisasi pada abad ke-20, konsolidasi kedaulatan menjadi tujuan utama. Ini melibatkan pembangunan institusi negara yang kuat, penetapan batas-batas yang jelas, dan penegasan kontrol atas sumber daya alam dan populasi. Pendaulat dalam konteks ini adalah negara itu sendiri, yang mewakili kehendak kolektif bangsa.
Di negara-negara modern, terutama yang demokratis, kedaulatan seringkali diwujudkan melalui konstitusi. Konstitusi adalah hukum dasar tertinggi yang mendefinisikan struktur pemerintahan, membatasi kekuasaan cabang-cabang pemerintahan, dan menjamin hak-hak warga negara. Meskipun rakyat sering dianggap sebagai pendaulat, konstitusi berfungsi sebagai "kitab suci" yang mengarahkan bagaimana kedaulatan itu dijalankan dan dilindungi.
Dalam sistem ini, kekuasaan pendaulat (rakyat) didelegasikan kepada lembaga-lembaga yang dibentuk oleh konstitusi, dan lembaga-lembaga tersebut wajib beroperasi dalam batas-batas yang ditetapkan oleh konstitusi. Dengan demikian, konstitusi menjadi manifestasi tertulis dari kehendak pendaulat dan penjaga kedaulatan.
Ilustrasi: Dunia Global, mewakili tantangan dan interdependensi kedaulatan di era modern.
Meskipun kedaulatan adalah prinsip dasar hukum internasional, konsep ini juga mengalami tantangan dan modifikasi dalam konteks hubungan antarnegara. Hukum internasional, pada dasarnya, adalah seperangkat aturan dan norma yang disepakati oleh negara-negara berdaulat.
Prinsip non-intervensi adalah manifestasi langsung dari kedaulatan eksternal. Ini menyatakan bahwa tidak ada negara atau organisasi internasional yang berhak mencampuri urusan internal atau eksternal negara berdaulat lainnya. Prinsip ini bertujuan untuk melindungi kemandirian dan integritas setiap negara. Pasal 2 (7) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara eksplisit melarang intervensi PBB dalam urusan yang pada dasarnya berada dalam yurisdiksi domestik suatu negara.
Meskipun demikian, kedaulatan tidaklah absolut dan tanpa batas dalam hukum internasional modern. Ada beberapa kondisi di mana kedaulatan dapat dianggap dibatasi atau dipertanyakan:
Perdebatan seputar batasan kedaulatan ini mencerminkan ketegangan antara prinsip tradisional kedaulatan negara dengan tuntutan etis dan moral untuk melindungi individu di seluruh dunia.
Di tengah dinamika globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, konsep pendaulat menghadapi berbagai tantangan yang menguji relevansi dan aplikabilitasnya.
Globalisasi ekonomi, dengan aliran modal, barang, jasa, dan informasi yang melintasi batas-batas negara, telah mengurangi kemampuan negara untuk sepenuhnya mengendalikan ekonominya. Keputusan yang dibuat oleh perusahaan multinasional atau lembaga keuangan internasional dapat memiliki dampak signifikan terhadap kebijakan domestik suatu negara. Ini seringkali membuat pemerintah sulit untuk sepenuhnya menerapkan kebijakan ekonomi yang independen dan berdaulat.
Organisasi seperti Uni Eropa (UE), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), atau Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melibatkan negara-negara anggota yang menyerahkan sebagian kedaulatannya kepada badan-badan supranasional tersebut. Misalnya, negara anggota UE harus mematuhi hukum UE yang dapat mengesampingkan hukum nasional mereka. Meskipun partisipasi dalam organisasi semacam ini bersifat sukarela, itu menunjukkan adanya erosi parsial terhadap kedaulatan mutlak demi keuntungan bersama.
Migrasi, pengungsi, dan penyebaran ide serta informasi melalui internet dan media sosial telah membuat batas-batas negara semakin kabur. Pemerintah menghadapi kesulitan dalam mengendalikan aliran orang dan informasi, yang dapat memiliki implikasi terhadap keamanan nasional, identitas budaya, dan kohesi sosial. Fenomena ini menantang kemampuan pendaulat untuk sepenuhnya mengontrol wilayah dan populasi.
Isu-isu seperti perubahan iklim, pandemi global, terorisme transnasional, dan kejahatan siber tidak mengenal batas negara. Tidak ada satu pendaulat pun yang dapat menyelesaikan masalah-masalah ini secara mandiri. Solusi memerlukan kerja sama internasional yang erat, yang seringkali mengharuskan negara-negara untuk mengesampingkan kepentingan nasional sempit demi kebaikan bersama, dan kadang-kadang menerima intervensi atau pengawasan internasional.
Ruang siber adalah domain baru di mana konsep kedaulatan sedang diuji. Serangan siber dapat datang dari mana saja di dunia, dan atribusi seringkali sulit. Negara-negara berjuang untuk menegakkan hukum dan kedaulatan mereka di dunia maya, di mana server, data, dan komunikasi melintasi yurisdiksi. Pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab, bagaimana menanggapi serangan, dan bagaimana mengatur internet masih menjadi perdebatan besar.
Di Indonesia, konsep pendaulat memiliki akar yang kuat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan dan termaktub jelas dalam konstitusi.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 Ayat 2). Ini adalah penegasan bahwa rakyat Indonesia adalah pendaulat tertinggi. Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan tidak berasal dari raja, tentara, atau kelompok tertentu, melainkan dari seluruh warga negara Indonesia.
Manifestasi kedaulatan rakyat di Indonesia terlihat dalam:
Pancasila, sebagai dasar negara dan ideologi nasional, juga memberikan landasan filosofis bagi konsep pendaulat di Indonesia. Sila keempat, "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan," secara langsung mencerminkan kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui demokrasi deliberatif dan perwakilan. Ini menekankan pentingnya musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan, yang pada hakikatnya adalah ekspresi dari kehendak pendaulat (rakyat).
Sila-sila lain dari Pancasila, seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, juga mengarahkan bagaimana kedaulatan rakyat itu harus dijalankan—dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan.
Sebagai pendaulat, rakyat mendelegasikan kekuasaan kepada negara (melalui institusi-institusi pemerintahan) untuk mencapai tujuan-tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu:
Dengan demikian, kedaulatan rakyat di Indonesia tidak hanya berarti hak untuk memilih, tetapi juga memberikan mandat dan harapan kepada negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban ini. Kegagalan negara dalam menjalankan kewajiban ini dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanat pendaulat.
Meski konstitusi dan Pancasila kuat, Indonesia juga menghadapi tantangan terhadap kedaulatannya di era modern:
Di balik struktur hukum dan politik, konsep pendaulat memiliki implikasi etis dan filosofis yang mendalam mengenai hak, kewajiban, legitimasi, dan keadilan.
Jika rakyat adalah pendaulat, maka rakyat memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, memilih pemimpinnya, dan menikmati kebebasan. Namun, hak ini juga disertai dengan kewajiban. Warga negara memiliki kewajiban untuk mematuhi hukum yang dibuat oleh wakil-wakilnya, berpartisipasi dalam proses politik, dan berkontribusi pada kesejahteraan kolektif. Pendaulat, dalam arti kolektif, memiliki kewajiban etis untuk memastikan bahwa kekuasaannya digunakan demi kebaikan bersama dan tidak disalahgunakan untuk menindas minoritas atau melanggar hak asasi manusia.
Di sisi lain, jika negara adalah pendaulat, ia memiliki hak untuk menuntut ketaatan dari warganya. Namun, dengan hak ini datanglah kewajiban etis untuk melindungi warganya, menyediakan layanan publik, dan menegakkan keadilan. Sebuah negara yang gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya dapat kehilangan legitimasi moralnya, meskipun secara hukum ia tetap berdaulat.
Dalam teori kedaulatan absolut, tidak ada batasan hukum terhadap kekuasaan pendaulat. Namun, secara etis, bahkan kekuasaan pendaulat sekalipun harus memiliki batasan. Konsensus modern cenderung berpendapat bahwa kekuasaan pendaulat tidak boleh melanggar hak asasi manusia fundamental. Genosida, penyiksaan, atau penindasan sistematis tidak dapat dibenarkan, bahkan jika dilakukan oleh pemerintah yang berdaulat secara sah. Konsep-konsep seperti hukum alam atau moralitas universal seringkali dipanggil untuk memberikan batasan etis ini.
Implikasinya adalah bahwa kedaulatan tidak memberikan lisensi untuk bertindak sewenang-wenang. Ada tanggung jawab moral yang melekat pada kepemilikan kekuasaan tertinggi, terutama untuk menjaga martabat manusia dan keadilan.
Dalam banyak sistem politik, pendaulat memiliki peran penting dalam mencapai keadilan sosial. Jika rakyat adalah pendaulat, maka kehendak kolektif rakyat harus mengarah pada pembentukan masyarakat yang adil dan merata. Ini berarti pendaulat bertanggung jawab untuk mengurangi kesenjangan, menyediakan akses yang sama terhadap peluang, dan melindungi kelompok-kelompok rentan. Kegagalan untuk mewujudkan keadilan sosial dapat mengikis kepercayaan rakyat terhadap institusi yang seharusnya mewakili mereka dan, pada gilirannya, dapat merusak legitimasi pendaulat itu sendiri.
Mengingat tantangan dan perubahan yang cepat di dunia, bagaimana konsep pendaulat akan berkembang di masa depan?
Masa depan kemungkinan besar akan melihat semakin meningkatnya interdependensi antarnegara. Masalah global yang kompleks akan terus memerlukan kerja sama lintas batas, yang berarti negara-negara akan semakin sering harus "berbagi" kedaulatan atau menyepakati pembatasan kedaulatan demi kepentingan bersama. Konsep kedaulatan mungkin akan lebih bergeser dari kedaulatan absolut menuju kedaulatan yang bersifat "bersyarat" atau "bertanggung jawab," di mana hak untuk memerintah juga disertai dengan tanggung jawab terhadap komunitas internasional dan warga global.
Selain negara, aktor-aktor non-negara seperti perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah (LSM), dan kelompok-kelompok teroris memiliki pengaruh yang semakin besar dalam tatanan global. Pengaruh ini, dalam beberapa kasus, dapat menantang otoritas pendaulat negara. Di masa depan, mungkin akan ada pengakuan yang lebih besar terhadap bentuk-bentuk "kedaulatan" yang berbeda atau sumber otoritas yang melampaui kerangka negara-bangsa tradisional.
Kedaulatan digital akan menjadi medan pertempuran yang krusial. Bagaimana negara dapat menegakkan hukum di dunia maya yang tanpa batas? Bagaimana data pribadi warga negara dilindungi dari pengawasan asing? Pertanyaan-pertanyaan ini menuntut pendekatan baru terhadap kedaulatan yang memperhitungkan realitas ruang siber dan teknologi informasi. Ini mungkin akan melibatkan pengembangan norma-norma siber internasional yang mengikat dan kerangka hukum baru untuk yurisdiksi digital.
Meskipun ada tekanan dari luar, kedaulatan rakyat kemungkinan akan tetap menjadi inti dari legitimasi politik di banyak negara demokratis. Akses yang lebih mudah terhadap informasi dan alat komunikasi digital dapat memberdayakan warga negara untuk lebih aktif menuntut akuntabilitas dari pendaulat dan memastikan bahwa kekuasaan dijalankan sesuai dengan kehendak mereka. Namun, ini juga membawa risiko polarisasi dan manipulasi opini publik yang dapat merusak proses demokratis.
Pendaulat adalah konsep yang kaya, kompleks, dan terus berkembang, yang menjadi fondasi bagi tatanan politik domestik dan internasional. Dari akar sejarahnya yang berpusat pada kekuasaan monarki atau ilahi, hingga evolusinya menjadi kedaulatan rakyat dalam demokrasi modern, gagasan tentang kekuasaan tertinggi telah beradaptasi dengan zaman.
Di era globalisasi, teknologi, dan interdependensi, pendaulat menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Batasan tradisional antara kedaulatan internal dan eksternal, de jure dan de facto, semakin kabur. Isu-isu global menuntut kerja sama dan kompromi, yang berarti bahwa negara-negara seringkali harus menyeimbangkan klaim kedaulatan mereka dengan kebutuhan untuk berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah yang melampaui batas nasional.
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 dan Pancasila dengan tegas menempatkan rakyat sebagai pendaulat tertinggi, sebuah prinsip yang harus terus dijaga dan diwujudkan melalui tata kelola yang baik, penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan partisipasi publik yang bermakna. Pemahaman yang mendalam tentang pendaulat, dengan segala dimensi historis, teoritis, dan kontemporernya, adalah esensial bagi setiap warga negara untuk berkontribusi pada pembangunan masyarakat yang adil, makmur, dan berdaulat penuh.
Pada akhirnya, konsep pendaulat mengingatkan kita akan hak dan tanggung jawab kolektif untuk membentuk nasib kita sendiri, baik sebagai individu dalam suatu negara maupun sebagai bagian dari komunitas global. Ia adalah pengingat bahwa kekuasaan tertinggi, di mana pun ia berada, harus selalu digunakan untuk kebaikan bersama dan demi tegaknya martabat manusia.