Dalam ajaran Islam, pencarian akan kebahagiaan dan kedamaian sejati tidak hanya berfokus pada kehidupan akhirat, tetapi juga sangat menekankan kualitas hidup yang dijalani di dunia. Salah satu landasan utama dalam meraih kehidupan yang bernilai dan diridai Allah SWT terdapat dalam Surah An-Nahl ayat ke-97. Ayat ini merupakan panduan praktis yang ringkas namun padat makna mengenai syarat terciptanya kehidupan yang baik.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Man ‘amila ṣāliḥan min dhakarin aw unthā wa huwa mu’minun fa-lanuḥyiyannahu ḥayātan ṭayyibah, wa lanajziyannahum ajrahum bi-aḥsani mā kānū ya‘malūn. (Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka pasti Kami hidupkan dia dengan kehidupan yang baik. Dan pasti Kami beri balasan mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.)Ayat 97 dari Surah An-Nahl (Lebah) ini menawarkan sebuah janji ilahiah: kehidupan yang baik, atau yang dikenal sebagai Hayatan Thayyibah. Namun, janji ini tidak datang tanpa syarat. Allah SWT menetapkan dua pilar utama yang harus dipenuhi oleh setiap individu, tanpa memandang jenis kelamin.
Syarat pertama adalah melakukan perbuatan baik atau amal saleh. Amal saleh mencakup spektrum luas dari tindakan, mulai dari ibadah mahdhah (seperti shalat, puasa, zakat) hingga muamalah (interaksi sosial yang baik). Ini mencakup kejujuran dalam berdagang, berbakti kepada orang tua, menolong sesama yang membutuhkan, serta menjaga lingkungan. Kebaikan yang dilakukan harus bersifat substansial, bukan sekadar penampilan.
Syarat kedua, dan seringkali menjadi fondasi bagi syarat pertama, adalah kondisi hati yang beriman (wa huwa mu’minun). Iman adalah keyakinan teguh pada keesaan Allah, kenabian Muhammad SAW, hari akhir, dan segala rukun iman lainnya. Tanpa keimanan, amal perbuatan—sekalipun terlihat baik di mata manusia—dianggap gugur atau tidak memiliki nilai kekal di sisi Allah. Iman memberikan motivasi yang benar dan mengarahkan setiap tindakan baik untuk mencari keridhaan Ilahi, bukan pujian semata.
Konsep Hayatan Thayyibah sering disalahartikan hanya sebagai kekayaan materi atau kemudahan duniawi. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa makna kehidupan yang baik ini jauh lebih mendalam. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh dengan ketenangan batin, kepuasan jiwa, dan rasa syukur meskipun menghadapi tantangan.
Orang yang hidupnya baik adalah mereka yang hatinya selalu merasa tenteram karena senantiasa merasa dekat dengan Tuhannya. Mereka tidak terombang-ambing oleh fluktuasi duniawi. Ketika diberi kelapangan, mereka bersyukur; ketika diuji, mereka bersabar. Ketenangan ini adalah balasan langsung yang dirasakan di dunia, jauh sebelum balasan utama di akhirat.
Selain kehidupan yang baik di dunia, ayat ini menjanjikan balasan di akhirat: "Dan pasti Kami beri balasan mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan." (wa lanajziyannahum ajrahum bi-aḥsani mā kānū ya‘malūn).
Ini menunjukkan bahwa ganjaran dari Allah SWT akan melampaui amal perbuatan yang dilakukan. Jika seseorang bersedekah satu rupiah, balasan yang ia terima jauh lebih besar. Jika ia bersabar satu saat, pahala kesabarannya berlipat ganda. Ini adalah bentuk kemurahan dan keadilan Allah yang sempurna, yang memotivasi umat Islam untuk terus beramal tanpa merasa lelah atau putus asa.
Oleh karena itu, memahami dan mengamalkan QS An-Nahl ayat 97 adalah kunci untuk menata prioritas hidup. Fokus utama kita adalah memastikan pondasi iman kita kokoh, sehingga setiap tindakan yang kita lakukan menjadi amal saleh yang mengalirkan ketenangan (hayatan thayyibah) dalam menjalani sisa usia, sembari mengharapkan kemuliaan balasan di hari perhitungan kelak.