Tafsir Mendalam Tentang Anugerah Madu dari Langit
Sumber daya alam yang menakjubkan
وَاللّٰهُ أَخْرَجَكُمْ مِّن بُطُوْنِ أُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٔدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.
Ayat 69 dari Surah An-Nahl (Lebah) ini merupakan penutup dari rangkaian keajaiban yang disajikan Allah SWT, memberikan penekanan kuat pada anugerah indrawi dan akal budi yang diberikan kepada manusia sebagai bekal untuk bersyukur. Ayat ini seringkali diletakkan berdekatan dengan ayat sebelumnya (ayat 68) yang secara eksplisit menyebutkan wahyu kepada lebah mengenai pembuatan madu.
Ayat ini menyentuh hakikat penciptaan manusia. Allah menegaskan fase awal kehidupan kita: lahir dalam keadaan 'laa ta'lamuuna syai'an' (tidak mengetahui apa-apa). Ini adalah pengakuan akan keterbatasan awal kita, menunjukkan bahwa semua pengetahuan dan kemampuan adalah pemberian murni dari Sang Pencipta.
Allah SWT secara spesifik menyebutkan tiga karunia utama yang dianugerahkan kepada manusia:
Meskipun ayat 69 fokus pada manusia, ia berfungsi sebagai klimaks dari pembahasan bukti-bukti kekuasaan Allah dalam surah ini. Sebelum ayat ini, Allah telah menunjukkan keajaiban di alam, mulai dari penciptaan, hujan, hingga wahyu khusus kepada lebah.
Jika pada ayat 68 Allah memerintahkan lebah untuk mencari sarangnya di gunung, pohon, dan bangunan, maka ayat 69 menegaskan bahwa manusia dibekali alat yang jauh lebih canggih—yaitu akal—untuk menemukan dan memahami kebenaran yang lebih tinggi. Keberadaan indera dan akal ini bukan sekadar fasilitas, melainkan amanah yang harus digunakan untuk mengenali dan berterima kasih kepada Pemberi nikmat tersebut.
Tujuan akhir dari semua anugerah ini disimpulkan dalam frasa "la'allakum tashkurun" (agar kamu bersyukur). Rasa syukur dalam Islam bukan sekadar ucapan 'Alhamdulillah', melainkan manifestasi aktif dari penggunaan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah. Syukur berarti menggunakan pendengaran untuk mendengar kebenaran, penglihatan untuk melihat kebesaran-Nya, dan akal untuk merenungkan hikmah-Nya.
Ayat ini mengingatkan kita bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fitrah yang polos dan kemudian dibekali secara bertahap. Kesalahan sering terjadi ketika manusia lupa pada fase "tidak tahu" tersebut dan menjadi sombong dengan apa yang telah ia pelajari. Mengingat kembali bahwa pendengaran, penglihatan, dan akal adalah pinjaman sementara mendorong sikap rendah hati.
Dalam konteks modern, tantangan terbesar adalah bagaimana mengelola banjir informasi melalui indera kita. QS An-Nahl 69 menuntut kita untuk menjadi filter aktif: apakah suara yang kita dengar membangun iman atau justru merusaknya? Apakah pemandangan yang kita lihat mengarahkan kita kepada perenungan atau justru melalaikan? Akal budi (hati) adalah kompas yang harus selalu dikalibrasi dengan wahyu agar kesyukuran yang kita tunjukkan adalah syukur yang haqiqi dan berkelanjutan.