Dalam lautan Al-Qur'an yang penuh dengan petunjuk Ilahi, terdapat ayat-ayat yang secara spesifik mengatur urusan rumah tangga dan hubungan antar manusia. Salah satu ayat yang sering menjadi rujukan dan memiliki makna mendalam terkait pernikahan adalah Surah An Nisa ayat 28.
وَيُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah.
Ayat ini, meskipun singkat, memuat kaidah fundamental yang menjadi dasar bagi banyak hukum pernikahan dalam Islam. Frasa "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu" merupakan penegasan bahwa syariat Islam tidak bertujuan untuk memberatkan umatnya. Sebaliknya, setiap aturan yang diturunkan selalu mengandung unsur kemudahan dan pemeliharaan terhadap maslahat hamba-Nya.
Surah An Nisa secara umum membahas tentang wanita dan beberapa hukum yang berkaitan dengannya, termasuk masalah pernikahan, warisan, dan hak-hak lainnya. Ayat 28 ini muncul dalam konteks pembahasan mengenai kebolehan bagi seorang pria untuk menikahi wanita lain, bahkan jika ia sudah memiliki istri. Namun, Allah SWT menekankan bahwa keringanan ini diberikan karena sifat dasar manusia yang lemah.
Kelemahan manusia yang dimaksud mencakup berbagai aspek. Dalam konteks pernikahan, kelemahan ini bisa berarti:
Pesan keringanan dalam ayat ini memiliki beberapa implikasi penting:
Dalam ayat-ayat yang berdekatan dengan ayat 28 ini (yakni ayat 3 dan 4), Allah SWT membolehkan seorang pria untuk menikahi wanita sebanyak dua, tiga, atau empat orang. Namun, ada syarat yang sangat penting yang disebutkan setelahnya, yaitu kemampuan untuk berlaku adil. Jika dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil, maka cukuplah dengan satu wanita saja atau budak perempuan yang kamu miliki.
Ayat 28 ini memberikan penegasan tambahan: jika seorang pria sudah memiliki satu istri namun ia kesulitan untuk berlaku adil terhadapnya atau tidak mampu memberikan hak-haknya secara penuh, maka sebaiknya ia tidak menambah istri lagi. Keringanan yang Allah berikan bukan berarti mengabaikan tanggung jawab, melainkan penyesuaian aturan dengan kemampuan manusiawi.
Meskipun ayat ini berbicara tentang keringanan, ia juga secara implisit mengajarkan kehati-hatian. Pernikahan adalah sebuah ikatan yang serius, dan keputusan untuk menikah, apalagi untuk berpoligami, harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan kemampuan yang memadai. Kelemahan manusia menjadi pengingat agar tidak gegabah dalam mengambil keputusan yang berdampak besar.
"Allah berfirman, 'dan Allah berkehendak meringankan bagimu, dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.' Ini berarti bahwa Allah memberikan kelonggaran bagi orang yang sudah memiliki istri untuk menikahi wanita lain, tetapi dibatasi dengan kewajiban berlaku adil. Jika tidak mampu berlaku adil, maka nikahilah satu saja. Keringanan ini juga berlaku bagi mereka yang ingin menikahi wanita yang masih perawan, karena mereka lebih mudah dibentuk dan diajari, dibandingkan wanita janda yang sudah memiliki pengalaman dan mungkin sulit untuk menyesuaikan diri."
Keringanan yang diberikan Allah bertujuan agar pernikahan dapat berjalan harmonis, penuh kasih sayang, dan tercapai tujuan mulianya. Kelemahan manusia juga menekankan pentingnya saling memahami, menolong, dan menjaga perasaan pasangan. Pernikahan adalah sebuah kemitraan, di mana kedua belah pihak saling melengkapi dan mendukung.
Surah An Nisa ayat 28 menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat fleksibel dan adaptif terhadap kondisi manusia. Aturan-aturan yang ada senantiasa mempertimbangkan kemampuan dan keterbatasan umatnya, tanpa mengurangi esensi dari ajaran itu sendiri. Hal ini berbeda dengan aturan-aturan kaku yang seringkali memberatkan dan tidak sesuai dengan realitas kehidupan.
Surah An Nisa ayat 28 adalah pengingat yang berharga tentang sifat dasar manusia sebagai makhluk yang lemah dan kebutuhan akan keringanan dalam menjalankan syariat-Nya, khususnya dalam urusan pernikahan. Ayat ini mengajak kita untuk menjalani pernikahan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab, kehati-hatian, dan selalu berupaya untuk menciptakan keharmonisan dan keadilan. Keringanan yang diberikan Allah bukanlah alasan untuk bermalas-malasan atau mengabaikan kewajiban, melainkan sebuah karunia yang memungkinkan kita untuk menjalankan kehidupan pernikahan dengan lebih baik dan sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia.