Surat An Nisa, yang berarti "Wanita," adalah salah satu surat Madaniyah dalam Al-Qur'an. Surat ini membahas berbagai aspek kehidupan sosial, hukum, dan moralitas umat Islam. Pada ayat 81 hingga 90, terdapat serangkaian ajaran yang sangat penting untuk direnungkan dan dijadikan panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, terutama terkait dengan ketaatan, ketulusan, dan tanggung jawab. Ayat-ayat ini memanggil kita untuk melakukan introspeksi diri mendalam mengenai sejauh mana kita menjalankan ajaran Allah SWT dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ قِيْلَ لَهُمْ كُفُّوْٓا اَيْدِيَكُمْ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ يَخْشَوْنَ النَّاسَ كَخَشْيَةِ اللّٰهِ اَوْ اَشَدَّ خَشْيَةً ۚ وَقَالُوْٓا رَبَّنَا لِمَ كَتَبْتَ عَلَيْنَا الْقِتَالَ ۖ لَوْلَآ اَخَّرْتَنَآ اِلٰٓى اَجَلٍ قَرِيْبٍ ۗ قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ ۖ وَالْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقٰى ۖ وَلَا تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلًا
Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (jangan berbuat perang), tegakkanlah salat, dan tunaikanlah zakat." Ketika mereka telah diwajibkan berperang, tiba-tiba segolongan di antara mereka merasa takut kepada manusia seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih keras dari itu. Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan perang ini kepada kami? Mengapa Engkau tidak menangguhkannya sampai batas waktu yang sedikit lagi?" Katakanlah, "Kesenangan dunia ini (sementara) saja, sedangkan kehidupan akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.
Ayat ini menyoroti perbedaan antara pengakuan iman dan realitas tindakan. Ada orang-orang yang terlihat patuh pada perintah dasar seperti mendirikan salat dan menunaikan zakat, namun ketika dihadapkan pada ujian yang lebih berat, yaitu kewajiban berperang di jalan Allah, mereka menunjukkan ketakutan yang berlebihan. Ketakutan mereka kepada manusia melebihi ketakutan mereka kepada Allah. Ini adalah cerminan dari kelemahan iman, di mana prioritas duniawi dan keselamatan diri lebih diutamakan daripada kewajiban ilahi. Allah SWT mengingatkan bahwa kesenangan duniawi itu fana, sedangkan balasan di akhirat jauh lebih baik bagi orang yang bertakwa. Ayat ini menjadi peringatan agar kita tidak hanya menjalankan ibadah secara formalitas, tetapi juga siap menghadapi ujian dan memberikan yang terbaik demi keridaan Allah.
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا
Maka apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur'an? Sekiranya Al-Qur'an itu datang dari selain Allah, tentulah mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya.
Setelah mengingatkan tentang pentingnya ketaatan yang tulus dalam menghadapi ujian, ayat ini memberikan solusi dan penekanan pada sumber kebenaran. Allah SWT mengajak umat manusia untuk merenungkan Al-Qur'an. Sifat Al-Qur'an yang konsisten, harmonis, dan bebas dari kontradiksi adalah bukti otentiknya berasal dari Allah. Jika Al-Qur'an disusun oleh manusia atau bersumber dari selain Allah, pasti akan ditemukan banyak perbedaan dan ketidaksesuaian di dalamnya. Ajakan untuk merenungkan Al-Qur'an ini bukan sekadar membaca, melainkan memahami makna, mengambil pelajaran, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Introspeksi diri melalui perenungan Al-Qur'an adalah kunci untuk memperkuat iman dan membedakan antara kebenaran dan kebatilan.
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِي الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita mengenai keamanan atau ketakutan, mereka segera menyiarkannya. Padahal jika mereka menyampaikannya kepada Rasul dan ulil amri (pemimpin) di antara mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (dapat) mengetahuinya dari mereka. Kalau bukanlah karunia Allah kepadamu dan rahmat-Nya, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil.
Ayat ini mengkritik sikap sebagian kaum Muslimin yang mudah menyebarkan informasi, baik itu kabar baik maupun buruk, tanpa terlebih dahulu memverifikasi kebenarannya. Sikap ini dapat menimbulkan kegelisahan, kepanikan, atau bahkan fitnah di tengah masyarakat. Allah SWT mengajarkan bahwa setiap informasi, terutama yang menyangkut keamanan dan ketakutan, sebaiknya disalurkan melalui jalur yang tepat, yaitu kepada Rasulullah SAW dan para pemimpin yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk menelaah serta mengambil keputusan yang bijaksana. Hal ini menekankan pentingnya kebijaksanaan, tabayyun (memeriksa berita), dan menjaga ketertiban sosial. Tanpa bimbingan ilahi dan rasa syukur atas karunia-Nya, manusia sangat rentan terjerumus dalam mengikuti bisikan setan.
Ayat-ayat berikutnya, dari 84 hingga 90, memberikan penegasan lebih lanjut mengenai perintah berperang dan sikap yang seharusnya dimiliki oleh seorang mukmin.
فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۚ لَا تُكَلَّفُ اِلَّا نَفْسَكَ وَحَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا ۗ وَاللّٰهُ اَشَدُّ بَأْسًا وَّاَشَدُّ تَنْكِيْلًا
Maka perangilah (musuhmu) di jalan Allah, engkau tidak dibebani melainkan hanya (bertanggung jawab) atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang beriman (untuk berjihad). Niscaya Allah akan menahan kekuatan orang-orang kafir. Dan Allah sangat keras siksaan-Nya dan sangat keras balasan-Nya.
Ayat 84 memerintahkan Rasulullah SAW (dan secara implisit kepada seluruh umat Islam) untuk berperang di jalan Allah, dengan menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas amalnya sendiri. Namun, ini tidak berarti sendiri-sendiri, melainkan tetap penting untuk memotivasi dan mengobarkan semangat juang kaum mukmin lainnya. Allah menjamin bahwa Dia akan memberikan pertolongan dan menahan kekuatan musuh jika kaum mukmin bersungguh-sungguh di jalan-Nya.
Selanjutnya, ayat 85 berbicara tentang pentingnya mengambil bagian dalam jihad, baik dengan tenaga, harta, maupun doa. Menghalang-halangi orang beriman untuk berjihad adalah tindakan yang tercela. Ayat 86 menekankan pentingnya membalas salam dengan ucapan yang lebih baik atau setidaknya yang setara, serta selalu berserah diri kepada Allah. Ayat 87 menegaskan keesaan Allah dan larangan membuat sekutu bagi-Nya.
Ayat 88-90 secara spesifik membahas fenomena orang-orang munafik yang pura-pura beriman namun sebenarnya cenderung memusuhi kaum mukmin dan mencari perlindungan kepada musuh. Allah memerintahkan untuk tidak mengambil teman setia dari mereka yang memisahkan diri dari kebenaran, kecuali jika terpaksa dan selalu dalam pengawasan Allah. Ajaran ini sangat penting untuk menjaga keutuhan dan kemurnian umat Islam dari pengaruh negatif orang-orang yang hatinya tidak teguh pada kebenaran.
Secara keseluruhan, rangkaian ayat An Nisa 81-90 mengajak kita untuk melakukan introspeksi mendalam. Sejauh mana ketulusan iman kita? Apakah kita hanya takut kepada manusia, ataukah kita lebih takut kepada Allah? Sejauh mana kita merenungkan dan mengamalkan Al-Qur'an? Apakah kita bijak dalam menyebarkan informasi? Dan apakah kita siap berjuang di jalan Allah dengan segenap kemampuan kita, serta menjaga keutuhan barisan kaum mukmin dari kemunafikan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi bekal kita untuk terus memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.