Dalam narasi sosial kita, sering kali kita menyaksikan jurang pemisah yang mencolok antara realitas hidup sehari-hari mayoritas masyarakat dengan gaya hidup kaum atas. Ketika isu ekonomi menjadi topik utama—inflasi merayap, daya beli menyusut, dan ketidakpastian menghantui—muncul fenomena menarik dalam bentuk teks anekdot. Anekdot ini, yang kerap beredar di ranah digital, menampilkan dialog atau cerita singkat tentang individu yang sangat mapan, yang leluconnya justru bersumber dari ketidakpekaan mereka terhadap kesulitan umum.
Teks anekdot gaya elit ekonomi sulit sering kali berfungsi sebagai katup pelepas ketegangan, namun pada saat yang sama, ia menyoroti betapa jauhnya perspektif golongan atas dari realitas krisis. Ambil contoh anekdot tentang seorang pengusaha properti yang mengeluh kepada temannya.
"Aku sungguh stres, Budi. Portofolio sahamku turun 5% bulan ini. Itu artinya, aku hanya bisa memesan anggur seharga Rp30 juta per botol, bukan Rp50 juta seperti biasanya. Benar-benar tekanan finansial!"
Anekdot semacam ini dirangkai dengan sangat hati-hati. Kata-kata yang digunakan—"portofolio," "botol," "finansial"—adalah jargon dunia modal yang asing bagi mereka yang sedang berjuang memilih antara membeli gas atau lauk pauk. Keluhan yang ditampilkan bukanlah tentang kehilangan pekerjaan atau cicilan yang menunggak, melainkan tentang pembatasan kecil dalam konsumsi kemewahan ekstrem. Humornya terletak pada ironi absurditas tersebut.
Mengapa lelucon tentang kemewahan di masa sulit begitu populer? Para ahli sosiologi bahasa berpendapat bahwa teks anekdot ini memiliki fungsi ganda. Pertama, sebagai hiburan ringan. Mereka memungkinkan pembaca untuk sejenak "menikmati" kemewahan orang lain, meskipun dalam bentuk ejekan halus.
Kedua, ia adalah bentuk kritik sosial yang sangat halus, seringkali tidak disadari oleh pembuatnya. Ketika masyarakat umum menghadapi kenaikan harga BBM atau listrik, mendengar cerita tentang seseorang yang "terpaksa" membatasi jet pribadi terasa seperti tamparan humoristik. Hal ini menegaskan ketidakadilan struktural tanpa perlu berteriak provokatif. Ini adalah cara paling aman untuk menertawakan ketidakpedulian.
Perhatikan bagaimana anekdot ini selalu memosisikan tokoh elit tersebut sebagai sosok yang naif, bukan jahat. Misalnya, seorang sosialita yang bertanya mengapa harga minyak goreng naik, padahal ia hanya menggunakan minyak truffle impor untuk memasak kudapan anjingnya. Naivitas ini lebih mengena daripada tuduhan langsung.
Kunci dari anekdot bergaya elit adalah pemilihan diksi. Mereka menggunakan terminologi yang cenderung formal, cenderung berbahasa Inggris yang terinternalisasi (seperti "leverage," "networking event," "private equity"), dan jarang menggunakan bahasa sehari-hari yang lugas. Kontras antara bahasa yang mereka gunakan dengan topik kesulitan ekonomi yang sedang hangat adalah inti dari humornya.
Bayangkan skenario di mana seorang CEO yang baru saja memecat ratusan karyawan menghadiri acara penggalangan dana amal. Anekdot mungkin akan menggambarkan ia berbicara dengan santai tentang pentingnya "resilience" (ketahanan) dalam menghadapi "market volatility" (volatilitas pasar), sementara di luar gedung, para mantan karyawannya antre untuk sembako. Humornya tidak terletak pada apa yang dia katakan, melainkan pada ketidakmampuan sang tokoh untuk mengaitkan kata-katanya yang mewah dengan penderitaan nyata di sekitarnya.
Teks anekdot semacam ini akan terus hidup selama kesenjangan sosial tetap lebar. Mereka adalah cermin kecil yang memantulkan ketegangan antara mereka yang mengelola angka-angka besar dan mereka yang hidup dari hitungan koin receh. Selama ada kontradiksi antara gaya hidup elit dan kesulitan ekonomi mayoritas, anekdot dengan sentuhan sarkasme kelas atas akan selalu menemukan audiensnya.
Pada akhirnya, tawa yang muncul dari anekdot ini mungkin sedikit pahit, namun ia adalah pengakuan kolektif bahwa dalam badai ekonomi, beberapa perahu benar-benar terbuat dari emas murni, sementara yang lain sibuk menambal kebocoran dengan daun pisang.