Representasi visual dari kekacauan antrian di ruang publik.
Pak Herman adalah seorang pria paruh baya yang sangat menghargai ketertiban. Baginya, antrian adalah manifestasi paling murni dari keadilan sosial: siapa datang duluan, dia yang dilayani duluan. Namun, di era modern ini, rasa keadilannya sering diuji, terutama saat berurusan dengan birokrasi atau layanan publik yang sudah mengadopsi sistem antrian digital.
Suatu pagi, Pak Herman harus mengurus perpanjangan SIM di kantor Samsat. Ia tiba pukul 07.00 pagi, jauh sebelum jam operasional dibuka. Dengan bangga, ia melihat mesin antrian di sudut ruangan dan menekan tombol besar bertuliskan 'Ambil Nomor'. Sebuah kertas kecil bernomor B-007 tercetak. "Sempurna," gumamnya. "Saya pasti yang pertama."
Ia duduk di kursi tunggu, mengamati layar besar yang menampilkan nomor yang sedang dilayani. Nomor A-001 sedang dipanggil. Pak Herman tenang. Nomor A-002 muncul. Ia masih santai. Masalahnya, nomor yang dipanggil adalah rangkaian seri 'A', sementara nomornya adalah seri 'B'.
"Ini kenapa aneh begini?" pikirnya. "Saya sudah antri fisik sejak tadi, tapi kok yang dipanggil duluan yang tidak ada 'nomor antriannya'?"
Setelah sepuluh menit, seorang pemuda berpakaian rapi, membawa dua cangkir kopi, datang dan langsung berdiri di depan konter pelayanan, tanpa mengambil nomor. Petugas tersenyum ramah. "Silakan, Mas. Dokumennya sudah disiapkan oleh Ibu Rina tadi malam, kan?" Pemuda itu mengangguk dan menyerahkan map. Dalam waktu kurang dari tiga menit, SIM-nya selesai.
Pak Herman berdiri, menahan diri agar tidak membentak. Ia melihat ke layar. Nomor A-050 baru saja selesai. Nomor antrian yang tertera di layar masih berkutat di seri 'A' yang entah berasal dari mana. Ia mendekati petugas di bagian informasi, yang kebetulan sedang mengisi ulang formulir.
"Permisi, Pak," sapa Pak Herman dengan nada sedikit tegang. "Ini bagaimana sistemnya? Saya sudah dapat nomor B-007, tapi kenapa yang dilayani duluan itu orang yang baru datang dan bahkan tidak punya nomor?"
Petugas informasi itu—sebut saja namanya Andi—tersenyum sabar, senyum yang sudah ia latih selama bertahun-tahun menghadapi keluhan serupa. "Oh, Bapak pakai nomor antrian untuk layanan A, Pak. Nomor seri B itu untuk layanan khusus, biasanya untuk perpanjangan online yang datanya sudah diinput, atau yang sudah buat janji temu."
Pak Herman terdiam. Ia menatap kertas B-007 di tangannya. "Jadi, mesin ini mengeluarkan nomor 'palsu' untuk saya? Kenapa tidak ada keterangan di mesin itu?"
Andi mengangkat bahu sedikit. "Sebenarnya ada stiker kecil di bawah tombol, Pak. Tapi ya, namanya juga antrian, Pak. Kita harus pintar-pintar memilih jalur."
"Pintar memilih jalur?" ulang Pak Herman, kini suaranya meninggi sedikit. "Maksud Bapak, saya harus punya koneksi dulu baru bisa dapat jalur cepat? Atau saya harus tahu kode rahasia sistem ini?"
"Bukan koneksi, Pak," koreksi Andi cepat. "Ini soal literasi digital dan pemahaman alur prosedur. Lihat, Bapak tadi ambil nomor di mesin A. Mesin itu hanya melayani pemohon baru yang datang langsung. Orang tadi yang sudah selesai cepat, dia 'menggunakan' jalur pra-registrasi online. Jalur A dan B itu berjalan paralel, tapi tujuannya beda."
Pak Herman merasa otaknya mendidih. Ia merasa dibodohi oleh teknologi dan prosedur yang dibuat rumit. Permasalahan sosial di sini bukan hanya soal antriannya, tapi soal aksesibilitas informasi. Sistem yang dirancang untuk mempercepat layanan malah menciptakan lapisan baru ketidakadilan bagi mereka yang tidak melek teknologi atau tidak menerima sosialisasi yang memadai.
"Jadi, saya yang datang pagi-pagi buta ini, harus menunggu sampai semua jalur 'pintar' selesai hanya karena saya salah menekan tombol?"
Andi menunduk, merasa tidak enak. "Mohon maaf, Pak. Untuk mengurus B-007 Bapak, harus menunggu antrian jalur manual selesai. Kalau tidak, Bapak harus keluar, buat janji temu lagi lewat aplikasi, lalu kembali besok dengan nomor seri yang benar."
Pak Herman menatap kertas B-007. Ia meremasnya perlahan, lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat. Ia keluar dari kantor Samsat tanpa mengurus SIM-nya, meninggalkan nomor antrian yang kini terasa seperti simbol kegagalannya dalam menghadapi birokrasi modern. Ia memutuskan, hari itu akan ia gunakan untuk mendaftar aplikasi layanan publik, agar besok, ia bisa menjadi bagian dari 'jalur pintar' yang baru ia sadari keberadaannya. Setidaknya, ia berharap aplikasi tersebut tidak meminta kode rahasia untuk memulai.