Dalam khazanah bahasa Arab, terdapat banyak sekali kosakata yang memiliki kekayaan makna mendalam, terutama ketika berkaitan dengan konsep-konsep ketuhanan dan keesaan. Salah satu kata yang sangat fundamental dan sering dijumpai, terutama dalam konteks keagamaan, adalah 'wahidun'. Kata ini bukan sekadar angka satu dalam perhitungan biasa, melainkan membawa beban makna yang jauh lebih luas dan esensial.
Secara harfiah, 'wahidun' memang berakar dari kata 'wahid' (واحد) yang berarti 'satu' atau 'tunggal'. Namun, penggunaannya melampaui sekadar kuantitas. Dalam ajaran Islam, misalnya, lafal 'wahidun' adalah penegasan mutlak atas keesaan Allah SWT. Ini adalah inti dari syahadat, kesaksian iman bahwa tiada Tuhan selain Allah. Kata ini menekankan bahwa Allah itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tidak ada yang menyerupai-Nya, dan tidak ada yang berhak disembah selain Dia.
Ketika kita berbicara tentang 'wahidun' dalam konteks ketuhanan, maknanya mencakup beberapa aspek penting:
Oleh karena itu, 'wahidun' adalah sebuah konsep yang sangat mendasar. Pengucapannya dalam kalimat syahadat, "Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lah" (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya), menegaskan pemahaman ini secara gamblang.
Memahami makna 'wahidun' tidak hanya berhenti pada tataran teologis, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam kehidupan seorang Muslim:
Pertama, ia menumbuhkan rasa tawaduk dan kerendahan hati. Ketika seseorang menyadari bahwa hanya ada satu Tuhan yang Mahakuasa dan Mahasempurna, ia akan merasa kecil di hadapan keagungan-Nya dan tidak akan menyombongkan diri atau menyandarkan kekuatan pada selain-Nya.
Kedua, konsep 'wahidun' mendorong keikhlasan dalam beribadah. Segala amalan dan perbuatan baik yang dilakukan semata-mata karena mengharapkan ridha Allah, bukan karena ingin dipuji manusia atau mendapatkan imbalan duniawi semata. Fokusnya adalah pada Sang Tunggal yang memberi balasan.
Ketiga, ia mengajarkan tentang keteguhan iman. Mengetahui bahwa Allah itu Esa akan menjadi jangkar spiritual yang kokoh di tengah gejolak dunia dan godaan berbagai aliran pemikiran atau keyakinan yang menyimpang.
Keempat, 'wahidun' juga dapat diinterpretasikan dalam konteks persatuan umat. Meskipun tidak secara langsung, penegasan terhadap keesaan Tuhan dapat menjadi pengingat bahwa seluruh ciptaan berasal dari sumber yang sama dan seharusnya mengarah pada kebaikan bersama.
"Katakanlah: 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.'" (QS. Al-Ikhlas: 1-4)
Penting untuk membedakan antara penggunaan 'wahidun' sebagai penegasan keesaan Ilahi dengan angka 'satu' dalam numerik. Angka 'satu' dalam hitungan biasa adalah sesuatu yang bisa dibandingkan, memiliki pasangan, atau menjadi bagian dari urutan. Namun, 'wahidun' yang merujuk pada Allah adalah sebuah keunikan absolut yang tidak bisa dianalogikan dengan apapun.
Misalnya, dalam bahasa Arab sehari-hari, untuk menyebut satu buah apel kita akan mengatakan "tuffahah wahidah" (تفاحة واحدة). Kata 'wahidah' di sini adalah bentuk feminin dari 'wahid' yang menunjukkan jumlah. Namun, ketika kita mengucapkan "Laa ilaaha illallaah, wahdahu" (Tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa), 'wahdahu' di sini bukan sekadar kuantitas, melainkan sebuah sifat ketuhanan yang mendasar.
Menggali makna 'wahidun' membuka jendela pemahaman tentang sifat Tuhan yang Maha Esa, sumber segala sesuatu, dan satu-satunya yang berhak disembah. Ini adalah fondasi dari keyakinan monoteistik yang mendalam, mengantarkan pada pengakuan akan keagungan-Nya yang tak terhingga dan mengarahkan hati untuk senantiasa berserah diri kepada-Nya.