يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ
Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya; dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak bersyukur.
Kutipan ayat dari Surah An-Nahl (Lebah) ayat ke-83 ini merupakan teguran keras sekaligus refleksi mendalam mengenai sifat dasar manusia dalam memandang karunia ilahi. Ayat ini secara ringkas namun padat menyoroti kontradiksi perilaku manusia: kesadaran penuh akan kebaikan yang diterima, diikuti dengan penolakan atau pengingkaran terhadap sumber kebaikan tersebut. Kajian terhadap An-Nahl 83 membuka pintu pemahaman tentang pentingnya syukur (rasa terima kasih) sebagai pilar keimanan yang kokoh.
Ayat ini menegaskan bahwa pengingkaran bukanlah datang dari ketidaktahuan atau kebodohan. Frasa "يَعْرِفُونَ نِعْمَتَ اللَّهِ" (Mereka mengetahui nikmat Allah) menunjukkan adanya pengetahuan dan kesadaran akan sumber rezeki, kesehatan, keamanan, serta segala bentuk kemudahan hidup yang melimpah. Alam semesta, yang diisyaratkan dalam surah An-Nahl secara keseluruhan melalui ayat-ayat tentang lebah, hujan, dan ciptaan lainnya, menjadi bukti nyata keagungan Pencipta.
Namun, ironisnya, kesadaran ini tidak berlanjut pada pengakuan yang tulus. "ثُمَّ يُنْكِرُونَهَا" (kemudian mereka mengingkarinya). Pengingkaran di sini dapat bermakna beberapa hal. Pertama, mengingkari bahwa nikmat tersebut berasal dari Allah semata, lalu mengaitkannya pada usaha pribadi, takhayul, atau kekuatan lain (syirik kecil). Kedua, mengingkari total nikmat tersebut karena kesombongan atau penolakan terhadap kebenaran risalah yang dibawa oleh para nabi. Sikap mendua hati inilah yang sangat dicela dalam Islam.
Penutup ayat, "وَأَكْثَرُهُمُ الْكَافِرُونَ" (dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak bersyukur), memberikan perspektif statistik spiritual. Mayoritas manusia, meskipun dikelilingi oleh tanda-tanda kebesaran Allah dan menerima nikmatnya setiap saat, cenderung jatuh ke dalam kekufuran. Kekufuran di sini tidak selalu berarti penolakan eksplisit terhadap agama, tetapi lebih luas, yaitu kekufuran nikmat. Orang yang kufur nikmat adalah mereka yang menikmati pemberian namun lupa atau enggan mengakui pemberinya.
Kajian An-Nahl 83 memaksa kita untuk introspeksi diri. Apakah kita hanya menikmati hasil panen tanpa pernah mengingat hujan yang menumbuhkannya? Apakah kita merasa sehat tanpa pernah bersyukur kepada zat yang menjaga detak jantung kita? Dalam konteks sosio-kultural, ayat ini relevan ketika masyarakat menjadi materialistis, cenderung mengagungkan sains atau kapitalisme sebagai satu-satunya solusi, sambil menisbahkan (mengaitkan) keberhasilan hidup sepenuhnya pada kekuatan duniawi, mengabaikan peran Tuhan yang mengatur segala sebab dan akibat.
Kunci untuk keluar dari kondisi mayoritas yang kufur ini adalah menginternalisasi makna syukur. Syukur sejati bukan hanya ucapan lisan ("Alhamdulillah"), melainkan sebuah sikap hidup yang terwujud dalam ketaatan, pemanfaatan nikmat di jalan yang diridhai Allah, dan pengakuan terus-menerus bahwa segala yang kita miliki adalah titipan.
Untuk menghindari sifat yang dikritik dalam ayat ini, ada beberapa langkah praktis yang bisa diambil. Pertama, **Muraqabah (Perenungan Aktif)**: Sisihkan waktu setiap hari untuk merenungi tiga hingga lima nikmat terbesar yang diterima hari itu, sekecil apa pun itu. Kedua, **Mengaitkan Sebab dan Akibat**: Setiap kali berhasil mencapai tujuan, ucapkan: "Ini adalah rahmat dari Allah, yang mempermudah usahaku." Ketiga, **Implikasi Sosial Syukur**: Orang yang bersyukur akan cenderung lebih dermawan dan peduli terhadap sesama, karena ia sadar bahwa apa yang ia miliki sesungguhnya adalah milik Allah yang harus dibagikan.
Ayat An-Nahl 83 adalah pengingat abadi bahwa kenikmatan fisik tanpa kesadaran spiritual akan berujung pada kehampaan dan ingkar. Allah Maha Mengetahui segala isi hati, dan Dia menekankan pentingnya kejujuran spiritual dalam mengakui sumber segala kebaikan di alam semesta ini.