Keadilan, Ihsan, dan Larangan Kemungkaran: Pesan dari An-Nahl 90-92

Kebaikan Keadilan Keseimbangan Ilahi

Ilustrasi Keseimbangan antara Keadilan dan Ihsan (Kebaikan).

Al-Qur'an, sebagai petunjuk utama umat Islam, seringkali memberikan prinsip-prinsip fundamental yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya serta hubungan antar sesama manusia. Salah satu bagian penting yang merangkum etika sosial tertinggi terdapat dalam Surah An-Nahl (Lebah) ayat 90 hingga 92. Ayat-ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan pondasi moralitas yang jika ditaati, akan membawa ketenangan dan kemaslahatan dalam masyarakat.

Ayat 90: Perintah Tegas untuk Keadilan

QS. An-Nahl: 90
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُ بِٱلْعَدْلِ وَٱلْإِحْسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ وَٱلْبَغْىِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat baik (ihsan), dan memberi kepada kaum kerabat; dan Allah melarang dari perbuatan keji, mungkar, dan perbuatan zalim. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran."

Ayat 90 sering disebut sebagai salah satu ayat yang paling komprehensif mengenai etika sosial dalam Islam. Ayat ini memulai dengan perintah sentral: Al-'Adl (Keadilan). Keadilan harus ditegakkan dalam segala aspek kehidupan—dalam pengambilan keputusan, perdagangan, persaksian, bahkan saat bersikap terhadap musuh. Keadilan di sini bersifat mutlak, tidak memandang status sosial, kekayaan, atau kebencian pribadi.

Selanjutnya, diperintahkan Al-Ihsan (Berbuat Baik). Ihsan adalah tingkatan spiritual yang melampaui sekadar keadilan. Jika keadilan menuntut kita tidak merugikan orang lain, ihsan menuntut kita untuk secara aktif memberikan manfaat. Ini adalah standar tertinggi dalam interaksi sosial. Selain itu, ayat ini secara spesifik menekankan kewajiban Ita'i Dzil-Qurba, yaitu menunaikan hak dan berbuat baik kepada kerabat dekat, menegaskan pentingnya unit keluarga dan kekerabatan dalam bingkai moralitas Islam.

Di sisi lain, ayat ini menutup dengan larangan tegas terhadap tiga hal destruktif: Al-Fahsyā' (perbuatan keji, seperti zina atau perkataan kotor), Al-Munkar (segala perbuatan yang diingkari oleh akal sehat dan syariat), dan Al-Baghy (kezaliman atau melampaui batas). Larangan ini berfungsi sebagai pagar pelindung agar masyarakat tidak terjerumus pada kehancuran moral.

Ayat 91: Menjaga Janji dan Keikhlasan dalam Bersaksi

QS. An-Nahl: 91
وَأَوْفُوا۟ بِعَهْدِ ٱللَّهِ إِذَا عَٰهَدتُّمْ وَلَا تَنقُضُوا۟ ٱلْأَيْمَٰنَ بَعْدَ تَأْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ ٱللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ

"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu telah berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu, sesudah kamu menguatkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi atas dirimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat."

Ayat 91 memperkuat tuntutan keadilan dengan fokus pada aspek komitmen dan integritas: menepati janji. Islam menempatkan perjanjian ('Ahd) pada kedudukan yang sangat tinggi. Ketika seseorang telah berjanji atau bersumpah, terutama dengan menjadikan Allah sebagai saksi (seperti dalam sumpah atau kontrak resmi), pelanggaran terhadap janji tersebut adalah pelanggaran terhadap integritas moral yang disaksikan oleh Tuhan sendiri. Hal ini sangat relevan dalam konteks bisnis, pemerintahan, dan hubungan personal. Integritas adalah pilar yang menopang kepercayaan sosial.

Ayat 92: Peringatan Terakhir tentang Motif Perbuatan

QS. An-Nahl: 92
وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّتِى نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنۢ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنكَاثًا تَتَّخِذُونَ أَيْمَٰنَكُمْ خَدَاعًا بَيْنَكُمْ أَن تَكُونَ أُمَّةٌ هِىَ أَرْبَىٰ مِنْ أُمَّةٍ ۚ إِنَّمَا يَبْلُوكُم بِهِۦ ۚ وَلَيُبَيِّنَنَّ لَكُمۡ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ مَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ

"Dan janganlah kamu menjadi seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi serabut kembali, kamu menjadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antara kamu, karena (adanya) satu golongan yang lebih banyak jumlahnya daripada golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan Dia pasti akan menjelaskan kepadamu pada hari Kiamat tentang apa yang selalu kamu perselisihkan itu."

Ayat 92 memberikan analogi yang sangat kuat untuk menggambarkan betapa buruknya membatalkan janji: seperti seorang wanita yang dengan susah payah memintal benang hingga kuat, lalu dengan sengaja mengurainya menjadi serabut kembali. Tindakan ini menunjukkan pemborosan usaha dan pengkhianatan terhadap proses yang telah dikerjakan dengan baik.

Alasan mengapa seseorang mungkin membatalkan janji (seperti yang disebutkan dalam ayat) seringkali adalah motif materialistik atau kekuasaan—ketika satu kelompok merasa lebih kuat atau lebih banyak dari kelompok lainnya. Namun, ayat ini menegaskan bahwa tujuan hidup bukanlah keuntungan duniawi sesaat, melainkan ujian (yabluwukum) dari Allah. Pada Hari Kiamat, semua perselisihan dan pengkhianatan janji akan dibongkar dan dipertanggungjawabkan.

Secara keseluruhan, rangkaian An-Nahl 90-92 mengajarkan bahwa moralitas Islam berdiri di atas tiga pilar utama: **Keadilan dalam tindakan**, **Kebaikan (Ihsan) dalam niat dan perbuatan melampaui kewajiban**, serta **Integritas total dalam memegang komitmen dan janji**, sambil menjauhi segala bentuk keburukan dan kezaliman. Ini adalah peta jalan menuju masyarakat yang harmonis, didasari oleh kesadaran bahwa setiap ucapan dan perbuatan dicatat dan akan dihisab.

🏠 Homepage