"Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia jadikan kamu satu umat (saja), tetapi (dijadikan berbeda-beda) supaya Dia menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembalimu semua, lalu Dia memberitakan kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan."
Surah An-Nahl ayat 93 adalah ayat yang kaya makna, mengingatkan kita tentang hakikat penciptaan manusia yang majemuk dan tujuan fundamental dari perbedaan tersebut. Ayat ini diawali dengan pernyataan ilahi: "Dan jika Tuhanmu menghendaki, niscaya Dia jadikan kamu satu umat (saja)." Pernyataan ini menegaskan kekuasaan mutlak Allah SWT untuk menyatukan seluruh umat manusia dalam satu keyakinan atau cara hidup, seandainya itu adalah kehendak-Nya yang utama.
Namun, Allah SWT memilih jalan yang berbeda. Keberagaman, baik dalam suku, bahasa, warna kulit, maupun keyakinan, adalah bagian dari rencana-Nya. Tujuan utama dari keberagaman ini ditegaskan dalam kelanjutan ayat: "tetapi (dijadikan berbeda-beda) supaya Dia menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu." Ini menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah sebuah kesalahan, melainkan sebuah sarana ujian (fitnah) yang harus dihadapi oleh setiap individu. Ujian ini berpusat pada bagaimana kita memanfaatkan karunia dan anugerah yang telah Allah berikan—termasuk akal, sumber daya, dan kesempatan hidup.
Menghadapi ujian keberagaman dan perbedaan ini, respons yang seharusnya ditunjukkan oleh seorang Muslim adalah berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan (khairat). Ayat ini secara eksplisit memerintahkan "Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan." Ini bukan sekadar ajakan untuk beramal, melainkan seruan untuk berkompetisi secara positif di jalan Allah. Dalam konteks perbedaan, berlomba dalam kebaikan berarti mengedepankan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, kejujuran, dan pelayanan sosial, tanpa terhalang oleh afiliasi kelompok atau perbedaan pandangan sekunder.
Jika manusia terpecah belah karena perbedaan remeh, maka ayat ini mengingatkan bahwa pada akhirnya, semua akan kembali kepada satu sumber, yaitu Allah SWT. Ayat ini menutup dengan penegasan: "Hanya kepada Allah-lah kembalimu semua, lalu Dia memberitakan kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan." Ini adalah pengingat kuat akan Hari Penghakiman, di mana semua perbedaan duniawi akan berakhir, dan hanya pertanggungjawaban atas amal perbuatan yang akan diperhitungkan.
Ayat 93 memberikan landasan teologis yang kuat untuk toleransi dan persatuan dalam Islam. Pertama, ia menolak pemaksaan keyakinan, karena perbedaan adalah kehendak Allah sebagai mekanisme ujian. Kedua, ia menggeser fokus dari perdebatan mengenai perbedaan teologis yang seringkali tidak menghasilkan kesepakatan, menuju aksi nyata berupa kompetisi dalam amal saleh.
Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti bahwa ketika kita menghadapi perbedaan pendapat dengan sesama Muslim atau non-Muslim, energi kita harus diarahkan untuk melakukan kebaikan yang nyata. Kita harus fokus pada apa yang menyatukan kita di bawah naungan tauhid dan menjauhi perpecahan yang sia-sia. Memohon ampunan (istighfar) dan bertaubat (tawbah) yang juga disinggung dalam ayat ini adalah mekanisme pembersihan diri agar kita tetap fokus pada tujuan ujian ini, yaitu meraih ridha Allah.
Keindahan ayat ini juga terletak pada jaminan Allah di akhir kalimat: "Sesungguhnya Tuhanku Maha Dekat, Maha Memperkenankan (do’a)." Ini memberikan ketenangan bahwa dalam setiap perjuangan untuk berbuat baik dan menjaga kesatuan di tengah perbedaan, Allah selalu hadir dan mendengar setiap permohonan tulus kita. Memahami An Nahl 93 adalah memahami filosofi ujian kehidupan yang mendorong umat Islam untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.