Ilustrasi visual yang merepresentasikan makna keharmonisan dan ketentuan dalam ikatan suci.
Surah An-Nisa, yang berarti "Wanita", merupakan salah satu surah terpanjang dalam Al-Qur'an dan sarat akan panduan hukum serta etika, khususnya yang berkaitan dengan perempuan dan keluarga. Di antara ayat-ayatnya yang krusial, ayat 22 hingga 24 memiliki posisi penting karena secara spesifik membahas larangan-larangan dalam pernikahan serta beberapa kategori wanita yang diharamkan untuk dinikahi. Memahami secara mendalam makna di balik ayat-ayat ini adalah kunci untuk membangun rumah tangga yang harmonis, sesuai dengan ajaran Islam.
Ayat 22 dari Surah An-Nisa membuka pembahasan dengan menegaskan larangan keras untuk menikahi wanita yang sudah bersuami. Firman Allah SWT berbunyi:
"Dan janganlah kamu kawini perempuan yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya perbuatan itu adalah suatu kekejian dan amat dibenci Allah dan jelek sekali (sebagai suatu cara)."
Ayat ini, meski mengawali dengan larangan menikahi wanita yang dinikahi ayah, memiliki makna lebih luas dan fundamental. Mayoritas ulama menafsirkan larangan ini mencakup dua aspek utama: pertama, larangan menikahi wanita yang sudah menjadi istri pria lain. Ini adalah inti dari larangan yang disampaikan. Seorang wanita yang telah terikat dalam pernikahan yang sah, tidak dibenarkan bagi pria lain untuk meminangnya, bahkan hanya sekadar melamarnya secara terang-terangan (khitbah). Hak suami terhadap istrinya harus dihormati dan dilindungi.
Kedua, ayat ini juga secara eksplisit melarang menikahi wanita yang sebelumnya pernah dinikahi oleh ayah kandung. Hal ini berlaku baik ayah masih hidup maupun sudah meninggal, dan tidak peduli apakah perceraian atau kematian telah memisahkan mereka. Konteks ini menekankan pentingnya menjaga kehormatan keluarga dan mencegah potensi konflik atau masalah waris yang kompleks. Larangan ini bersifat mutlak dan menjadi salah satu dari beberapa wanita mahram yang haram dinikahi selamanya. Keharaman ini didasarkan pada nasab (keturunan) dan musaharah (hubungan pernikahan).
Selanjutnya, ayat 23 dan 24 Surah An-Nisa merinci lebih lanjut daftar wanita yang diharamkan untuk dinikahi oleh seorang pria. Ayat-ayat ini sangat penting untuk dipelajari agar terhindar dari kesalahan fatal dalam menentukan pasangan hidup.
Ayat 23 berbunyi:
"Diharamkan atasmu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara perempuanmu yang laki-laki, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istrimu yang telah kamu campuriātetapi jika kamu belum mencampuri istrimu itu (dan belum bercampur dengannya) tiada dosa bagimu (mengawininya), dan (diharamkan) mengambil menantu perempuan (anak dari istrimu yang sudah kamu campuri); dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dari ayat ini, kita dapat mengklasifikasikan larangan menjadi dua kategori utama:
Ayat 23 juga secara spesifik melarang mengumpulkan dua wanita yang bersaudara kandung dalam satu pernikahan pada waktu yang bersamaan. Ini berarti, seorang pria tidak boleh menikahi kakak beradik sekaligus.
Ayat 24 dari Surah An-Nisa kemudian melanjutkan dengan memberikan kabar gembira dan penegasan mengenai batasan-batasan yang telah ditetapkan. Ayat ini tidak hanya menegaskan larangan, tetapi juga memberikan solusi dan jalan keluar bagi mereka yang terlanjur melakukan kesalahan di masa lalu.
"dan (diharamkan juga kamu) mengawini dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (dihalalkan) memperisteri perempuan-perempuan lain dari perempuan-perempuan yang telah kamu ceraikan dan yang belum kamu campuri, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Itulah ketentuan Allah untukmu. Maka berbuatlah apa yang kamu anggap baik. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Ayat ini menegaskan kembali larangan menikahi dua saudara perempuan sekaligus. Namun, frasa "kecuali yang telah terjadi pada masa lampau" memberikan pengampunan bagi tindakan yang sudah terjadi sebelum turunnya ayat ini, dengan syarat mereka harus segera memisahkan salah satunya.
Lebih lanjut, ayat ini membuka kembali pintu bagi pria untuk menikahi wanita lain setelah menceraikan istri sebelumnya, atau jika istri meninggal dunia, selama wanita yang dinikahi tersebut bukan termasuk dalam daftar wanita yang haram dinikahi. Ayat ini juga menyentuh status hamba sahaya perempuan sebagai calon istri, namun ini adalah ketentuan yang konteksnya berbeda dengan zaman sekarang dan memerlukan pemahaman sejarah serta fiqih yang mendalam.
Secara keseluruhan, An Nisa 22-24 memberikan panduan yang jelas dan komprehensif mengenai tatanan pernikahan dalam Islam. Tujuan dari larangan-larangan ini adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, menghormati hubungan kekerabatan, mencegah perselisihan dalam keluarga, serta menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Dengan memahami dan mengamalkan ketentuan ini, umat Islam diharapkan dapat membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah, yang menjadi pondasi utama bagi masyarakat yang sehat dan beradab.
Memahami ayat-ayat ini juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga batasan-batasan syariat, menghargai hak dan kewajiban masing-masing individu dalam ikatan pernikahan, serta senantiasa memohon bimbingan Allah SWT dalam setiap langkah kehidupan, khususnya dalam urusan yang begitu sakral seperti pernikahan.