Surat An Nisa, yang berarti "Wanita", adalah salah satu surat Madaniyah yang memiliki kedalaman makna dan relevansi universal. Ayat-ayat awal dari surat ini, khususnya dari ayat 1 hingga 30, meletakkan dasar-dasar penting mengenai pentingnya ketakwaan kepada Allah SWT, hak-hak individu dalam masyarakat, serta pengaturan hubungan kekeluargaan dan kewarisan. Memahami makna mendalam dari ayat-ayat ini bukan hanya sekadar membaca, tetapi juga mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk membangun kehidupan yang harmonis dan adil.
Ayat pertama dari Surat An Nisa menyerukan agar seluruh manusia bertakwa kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka dari diri yang satu. Ini menekankan kesatuan asal usul manusia dan tanggung jawab untuk menjaga hubungan baik antar sesama. Allah SWT berfirman:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS. An Nisa: 1)
Ayat ini menegaskan fondasi utama kehidupan bermasyarakat, yaitu ketakwaan kepada Allah dan pentingnya menjaga tali silaturahim antar sesama manusia.
Selanjutnya, ayat-ayat berikutnya membahas secara rinci mengenai hak-hak anak yatim, pentingnya berlaku adil dalam pengurusan harta mereka, serta larangan memakan harta mereka secara zalim. Hal ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kaum yang lemah dan rentan. Allah SWT berfirman mengenai hak anak yatim:
"Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, dan jangan kamu menukarkan yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu memakan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan demikian itu adalah dosa yang besar." (QS. An Nisa: 2)
Ini adalah peringatan keras bagi siapapun yang memiliki tanggung jawab terhadap harta anak yatim untuk tidak menyalahgunakannya.
Masuk ke ayat-ayat mengenai pernikahan dan hak-hak perempuan, Surat An Nisa memberikan panduan yang komprehensif. Ayat 3 dan 4 mengatur tentang diperbolehkannya menikahi wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat orang, tetapi dengan syarat harus berlaku adil. Jika tidak mampu berlaku adil, maka cukup satu orang saja. Ini adalah prinsip keadilan yang fundamental dalam rumah tangga.
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (perempuan-perempuan) yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat; tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya." (QS. An Nisa: 3)
Ayat ini menekankan pentingnya keadilan dan tanggung jawab dalam pernikahan, serta memberikan solusi bagi yang merasa tidak mampu memenuhi tuntutan keadilan.
Lebih lanjut, ayat-ayat ini juga mengatur tentang pemberian mahar (maskawin) kepada wanita, yang merupakan hak mutlak mereka dan bukan hadiah yang bisa diambil kembali. Ayat 4 menegaskan:
"Dan berikanlah kepada perempuan yang ingin kamu kawini, mahar mereka sebagai suatu pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mahar itu dengan senang hati, maka terimalah dan makanlah (ambil)nya." (QS. An Nisa: 4)
Ini menunjukkan penghargaan Islam terhadap wanita dan hak-hak mereka dalam pernikahan.
Surat An Nisa memang dikenal sebagai "Induk Kitab" yang mengatur berbagai aspek hukum Islam, termasuk hukum kewarisan. Ayat 7 hingga 12 dari surat ini secara detail membagi hak waris bagi laki-laki dan perempuan, serta kerabat lainnya. Pembagian ini didasarkan pada prinsip keadilan dan pertimbangan peran serta tanggung jawab masing-masing dalam keluarga dan masyarakat. Penting untuk dicatat bahwa pembagian waris dalam Islam tidak selalu sama antara laki-laki dan perempuan, namun ini bukan bentuk diskriminasi, melainkan penyesuaian dengan kewajiban dan tanggung jawab finansial yang dibebankan kepada laki-laki dalam pandangan Islam.
Sebagai contoh, ayat 11 dan 12 menjelaskan pembagian waris bagi orang tua, anak-anak, saudara laki-laki, dan saudara perempuan.
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang laki-laki sama dengan bahagian dua orang perempuan. Jika mereka wanita semata-mata berbilang lebih dari seorang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika dia seorang saja perempuan, maka ia mendapat separuh. Dan bagi dua ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak; jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan diwarisi oleh kedua ibu-bapanya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; kalau dia (yang meninggal) mempunyai saudara-saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian pusaka ini) sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (sesudah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengatahu, Maha Bijaksana." (QS. An Nisa: 11)
Ayat ini memberikan gambaran rinci tentang bagaimana harta warisan dibagi sesuai dengan hubungan kekerabatan dan jenis kelamin, dengan tujuan menjaga keadilan dan kemaslahatan keluarga.
Selanjutnya, ayat-ayat di bawahnya, seperti ayat 13 hingga 30, terus memberikan panduan hukum dan moral yang komprehensif. Ayat-ayat ini mencakup berbagai aspek, mulai dari hukum pernikahan, larangan-larangan, hingga ketentuan mengenai hukum pidana dan sanksi bagi pelaku pelanggaran. Penekanan pada pentingnya menjaga kesucian diri, menjauhi zina, dan menghindari segala bentuk kemaksiatan sangat kuat dalam ayat-ayat ini.
Ayat 23-24 secara tegas melarang pernikahan dengan wanita-wanita tertentu, seperti ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi, dan lainnya, yang termasuk dalam daftar mahram. Ini adalah bagian dari upaya menjaga tatanan sosial dan moral yang luhur.
Ayat 29 dan 30 mengingatkan agar tidak memakan harta sesama dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan cara perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Hal ini menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam segala bentuk muamalah (hubungan ekonomi).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesama kamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri-mu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nisa: 29)
Larangan memakan harta secara batil ini adalah prinsip ekonomi Islam yang sangat penting untuk mencegah keserakahan dan ketidakadilan.
Ayat 1 hingga 30 dari Surat An Nisa bukan hanya sekadar teks hukum atau panduan moral, melainkan merupakan kurikulum ilahi yang dirancang untuk membangun individu yang bertakwa, keluarga yang harmonis, dan masyarakat yang adil. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, umat Islam diharapkan dapat menjalankan kehidupan sesuai dengan ridha Allah SWT, menciptakan kehidupan yang sejahtera dan penuh berkah di dunia maupun di akhirat. Mempelajari ayat-ayat ini secara mendalam adalah sebuah perjalanan spiritual yang tak ternilai.