Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudah sesudahnya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
Surat An-Nisa' adalah salah satu surat terpanjang dalam Al-Qur'an, yang secara umum membahas mengenai hukum-hukum terkait keluarga, perempuan, dan masyarakat secara lebih luas. Di tengah berbagai pembahasan mengenai hak, kewajiban, dan tatanan sosial, terselip ayat 163 yang memiliki kedudukan sangat penting dalam menegaskan prinsip dasar kerasulan dan risalah kenabian. Ayat ini tidak hanya menegaskan satu aspek, melainkan merangkum sebuah rantai kenabian yang panjang, yang semuanya bersumber dari satu Tuhan yang sama.
Ayat An-Nisa' ayat 163 ini secara eksplisit menyatakan bahwa Allah SWT telah menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana wahyu yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Frasa "إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ" menjadi penegasan utama. Ini berarti bahwa risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukanlah sesuatu yang baru atau terpisah dari ajaran para nabi pendahulunya. Sebaliknya, ia adalah kelanjutan dan penyempurnaan dari ajaran Tauhid yang sama, yang dibawa oleh setiap utusan Allah.
Penyebutan nama-nama nabi setelah Nuh menunjukkan betapa harmonisnya alur kenabian dalam Islam. Mulai dari Ibrahim (leluhur para nabi), Ismail, Ishak, Yakub, hingga generasi penerusnya seperti Al-Asbath (keturunan Nabi Yakub yang menjadi cikal bakal suku-suku Bani Israil). Kemudian disusul dengan Isa Al-Masih, Ayub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Semua nama yang disebut ini adalah para nabi pilihan Allah yang memegang peran krusial dalam sejarah dakwah Tauhid. Bahkan, penegasan "وَآتَيْنَا دَاوُودَ زَبُورًا" (Dan Kami berikan Zabur kepada Daud) menunjukkan bahwa setiap nabi diberikan kitab suci dan ajaran yang sesuai dengan zamannya.
Implikasi teologis dari ayat ini sangatlah luas. Pertama, ia meneguhkan keesaan Allah sebagai sumber tunggal wahyu dan risalah. Tidak ada tuhan selain Allah, dan setiap nabi adalah utusan-Nya dengan misi yang sama: mengajak manusia untuk menyembah Allah semata dan menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Kedua, ayat ini membangun jembatan penghubung antara umat Islam dengan umat beragama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani), setidaknya dalam mengakui para nabi mereka sebagai utusan Allah. Hal ini penting untuk menumbuhkan rasa hormat dan toleransi antar umat beragama.
Secara spiritual, ayat ini memberikan ketenangan batin bagi umat Islam. Mengetahui bahwa agama yang mereka anut adalah agama para nabi terdahulu, yang telah teruji oleh zaman, memberikan rasa aman dan keyakinan yang kokoh. Kita tidak sedang mengikuti ajaran yang datang tiba-tiba, melainkan sebuah tradisi ilahi yang berkesinambungan. Selain itu, kesabaran dan ketabahan para nabi yang disebutkan dalam ayat ini dapat menjadi teladan bagi kita dalam menghadapi ujian kehidupan. Kisah perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran patut direnungkan dan menjadi sumber inspirasi.
Meskipun ayat 163 surat An-Nisa' mengakui keesaan sumber wahyu dan kesinambungan risalah, penting untuk dipahami bahwa Al-Qur'an memiliki kedudukan unik sebagai wahyu penutup. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang terangkum dalam Al-Qur'an, adalah risalah pamungkas yang menyempurnakan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya. Al-Qur'an menjaga keasliannya hingga akhir zaman dan berfungsi sebagai petunjuk komprehensif bagi seluruh umat manusia.
Dengan demikian, An-Nisa' ayat 163 berfungsi sebagai pengingat bahwa ajaran Islam berakar pada tradisi kenabian yang mulia. Ia menekankan persatuan dalam ketauhidan dan menghormati para nabi Allah sebagai pembawa pesan ilahi. Memahami ayat ini dengan baik berarti memperdalam pemahaman kita tentang sejarah kenabian, esensi risalah Islam, dan pentingnya bersatu di bawah panji Tauhid.