Surah An Nisa, yang berarti "Perempuan", adalah surah Madaniyah yang membahas banyak aspek hukum dan sosial dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan keluarga, perempuan, dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Di antara ayat-ayatnya yang sangat penting adalah ayat 6 hingga 10, yang memberikan pedoman rinci mengenai pengelolaan harta, khususnya harta warisan, serta hak-hak anak yatim dan orang-orang yang berhak menerimanya. Ayat-ayat ini menekankan pentingnya keadilan, kejujuran, dan rasa tanggung jawab dalam memelihara serta mendistribusikan harta agar tidak terjadi penzaliman dan agar semua pihak mendapatkan haknya sebagaimana mestinya.
"Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka (cukup umur untuk) menikah. Kemudian jika menurutmu sudah cerdas (dewasa) mereka, serahkanlah kepada mereka harta benda mereka. Dan janganlah kamu memakannya (harta mereka) secara boros dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Dan siapa (di antara pemelihara itu) yang berkecukupan, maka hendaklah menahan diri (dari memakannya), dan siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakannya secara patut. Apabila kamu menyerahkan harta benda kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi (atasnya). Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan."
Ayat ini menjadi landasan utama bagi para wali atau pemelihara anak yatim. Allah SWT memerintahkan untuk menguji kesiapan anak yatim, tidak hanya dalam hal kematangan fisik, tetapi juga kematangan mental dan intelektual, terutama dalam hal mengelola harta. Ketika mereka sudah dinilai mampu, barulah harta mereka diserahkan sepenuhnya. Larangan memakan harta yatim secara boros dan tergesa-gesa menunjukkan keharusan berlaku adil dan bijaksana. Bagi pemelihara yang mampu, dianjurkan untuk tidak mengambil bagian dari harta yatim tersebut, sementara bagi yang membutuhkan, diperbolehkan mengambil secukupnya sesuai dengan kadar kebutuhan dan tanpa berlebihan. Pentingnya saksi saat penyerahan harta adalah untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas, serta menghindari perselisihan di kemudian hari.
"Bagi orang laki-laki ada hak bagian (dari harta peninggalan) ibu-bapa dan kerabat; dan bagi orang perempuanpun ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabat, baik harta itu sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan."
Ayat ketujuh ini menegaskan prinsip keadilan dalam pembagian warisan. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama untuk menerima bagian dari harta peninggalan orang tua dan kerabat mereka. Dulu, di masa jahiliyah, perempuan sering kali tidak diberi hak waris sama sekali atau hanya diberi bagian yang sangat sedikit. Islam datang membawa perubahan fundamental dengan memberikan hak waris yang jelas bagi perempuan, sesuai dengan porsi yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Ayat ini juga menggarisbawahi bahwa jumlah harta, baik sedikit maupun banyak, tidak mengurangi hak masing-masing ahli waris untuk mendapatkan bagiannya.
"Dan apabila pembagian itu dihadiri oleh kerabat-kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sedikit) sebagian dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik."
Setelah hak-hak ahli waris utama terpenuhi, ayat ini memberikan anjuran mulia untuk tidak melupakan kerabat yang juga hadir saat pembagian warisan, terutama jika di antara mereka terdapat anak yatim dan orang-orang miskin. Diberikan sebagian dari harta tersebut, meskipun mungkin bukan hak waris utama mereka, adalah bentuk kepedulian sosial dan solidaritas. Selain pemberian materi, ucapan perkataan yang baik menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan keadilan dalam materi, tetapi juga kelembutan dan kebaikan dalam perkataan. Ini mencerminkan semangat berbagi dan meringankan beban sesama.
"Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya mereka meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar."
Ayat kesembilan ini mengandung peringatan keras bagi siapa saja yang lalai atau berlaku zalim terhadap harta anak yatim. Allah memerintahkan agar mereka yang diberi amanah untuk mengurus harta tersebut senantiasa merasa takut kepada Allah. Ketakutan ini bukan sekadar rasa takut biasa, melainkan kesadaran mendalam bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala perbuatan. Ancaman ini ditujukan kepada mereka yang berpotensi menelantarkan atau merugikan anak-anak yatim yang lemah, baik dari segi fisik, mental, maupun ekonomi. Menegakkan ketakwaan kepada Allah dan mengucapkan perkataan yang benar adalah jalan untuk menjaga amanah ini dengan baik.
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu memakan api dalam perut mereka dan kelak akan mereka masukkan ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)."
Ayat penutup dari rangkaian ini memberikan gambaran konsekuensi yang sangat mengerikan bagi mereka yang dengan sengaja memakan harta anak yatim secara zalim. Penggambaran "memakan api dalam perut mereka" menunjukkan betapa destruktifnya harta haram tersebut bagi diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Harta yang diperoleh dari menzalimi hak orang lain, terutama anak yatim yang lemah, akan menjadi sumber azab yang pedih. Kelak di akhirat, mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. Ini adalah peringatan tegas yang menekankan pentingnya menjaga amanah, berlaku adil, dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang merugikan pihak yang lemah, demi keselamatan diri di dunia dan akhirat.
Secara keseluruhan, Surah An Nisa ayat 6-10 mengajarkan sebuah paket komprehensif tentang tanggung jawab sosial, keadilan ekonomi, dan pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan, terutama anak yatim. Ayat-ayat ini tidak hanya mengatur pembagian warisan tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral dan etika dalam pengelolaan harta, dengan ancaman hukuman berat bagi pelanggaran. Memahami dan mengamalkan ajaran dalam ayat-ayat ini sangat krusial bagi pembentukan masyarakat yang adil, sejahtera, dan penuh kasih sayang.