Dunia tumbuhan penuh dengan strategi bertahan hidup yang menakjubkan. Salah satu strategi paling kontroversial dan menarik perhatian adalah parasitisme. Dalam keluarga anggrek (Orchidaceae) yang sangat besar, terdapat beberapa spesies yang telah mengadopsi gaya hidup ini, dikenal sebagai anggrek parasit. Berbeda dengan kebanyakan anggrek epifit yang hanya menumpang tumbuh di pohon untuk mendapatkan cahaya, anggrek parasit mengambil langkah lebih jauh dengan mencuri nutrisi langsung dari inangnya.
Secara botani, anggrek yang menumpang pohon disebut epifit. Namun, ketika tumbuhan tersebut mulai mengambil sumber daya —air, mineral, dan terutama karbon organik— dari inang melalui struktur khusus bernama haustoria, maka ia beralih status menjadi parasit. Ini adalah perbedaan mendasar antara anggrek epifit biasa dan anggrek parasit.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua anggrek yang terlihat 'menempel' adalah parasit. Kebanyakan anggrek epifit adalah autotrof penuh, yang berarti mereka melakukan fotosintesis sendiri dan hanya menggunakan pohon sebagai tumpuan fisik. Anggrek parasit, sebaliknya, seringkali kehilangan klorofil atau memiliki klorofil yang sangat sedikit, karena mereka tidak perlu lagi memproduksi makanannya sendiri secara efisien.
Kehidupan anggrek parasit bergantung pada adaptasi evolusioner yang luar biasa untuk menipu tanaman inang. Prosesnya melibatkan penetrasi jaringan inang. Tunas akar khusus dari anggrek parasit akan menembus korteks batang atau akar inang. Di dalam jaringan tersebut, struktur khusus yang mirip jamur (rhizoid) akan menyebar untuk menyerap zat makanan yang sudah jadi.
Ketergantungan ini bisa total (holoparasit) atau parsial (hemiparasit).
Di Asia Tenggara, keberadaan anggrek parasit sering kali menjadi misteri bagi pengamat alam awam. Anggrek jenis Apostasia atau beberapa spesies Dendrophylax (meski lebih banyak ditemukan di Amerika) menunjukkan adaptasi ini. Ketika parasit ini tidak terkontrol populasinya, mereka dapat melemahkan pohon inang secara signifikan, terutama jika inang tersebut sudah tua atau sakit. Penyerapan air dan nutrisi secara terus-menerus dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan bahkan kematian pada inang yang rentan.
Namun, di ekosistem yang seimbang, hubungan parasitisme ini seringkali merupakan bagian dari siklus alam. Tumbuhan inang yang kuat mampu menoleransi keberadaan anggrek tersebut tanpa dampak fatal. Para ahli botani terus mempelajari genetik anggrek ini untuk memahami bagaimana mereka menghindari sistem kekebalan tanaman inang—sebuah kemampuan yang sangat berharga dalam riset bioteknologi.
Salah satu ciri paling mencolok dari banyak anggrek parasit sejati adalah penampilan mereka yang tidak hijau. Tanpa klorofil, mereka tidak memerlukan energi matahari untuk membuat gula. Sebaliknya, mereka mengandalkan energi yang sudah dikonversi oleh inang. Struktur tubuh mereka pun berevolusi menjadi lebih sederhana, seringkali hanya berupa umbi tebal di bawah tanah (seperti pada Gastrodia elata) yang terhubung secara diam-diam ke akar pohon melalui jaringan jamur (mikoriza), menciptakan jaringan parasit yang kompleks antara tiga pihak: anggrek, inang, dan jamur.
Memahami anggrek parasit memberi kita wawasan tentang fleksibilitas evolusi. Mereka menunjukkan bahwa kelangsungan hidup tidak selalu tentang kompetisi langsung, tetapi juga tentang kemampuan untuk bernegosiasi (atau menipu) tetangga dalam jaring makanan kompleks hutan tropis. Meskipun tampak merugikan, mereka adalah komponen penting dari biodiversitas yang patut dilestarikan dan dipelajari lebih dalam.