Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya, namun juga sebagai rumah bagi flora endemik yang memukau, salah satunya adalah anggrek jenis Dendrobium yang dijuluki "Anggrek Capung Alor". Penamaan ini bukan tanpa alasan; bentuk bunganya yang unik, khususnya pada bagian labellum (bibir bunga), menyerupai serangga capung, memberikan karakteristik visual yang sangat khas dan membedakannya dari spesies Dendrobium lain yang tumbuh di Nusantara.
Identifikasi dan Habitat Asli
Dendrobium capung Alor merupakan anggrek epifit, yang berarti ia tumbuh menempel pada pohon inang tanpa mengambil nutrisi dari pohon tersebut. Habitat alami anggrek ini terbatas di Pulau Alor dan beberapa pulau di sekitarnya di Provinsi NTT. Kondisi iklim tropis kering yang khas di wilayah Alor, dengan musim kemarau yang cukup panjang, membentuk evolusi anggrek ini untuk bertahan hidup dan berbunga pada waktu yang tepat.
Secara morfologi, anggrek ini memiliki pseudobulb (batang semu) yang ramping dan biasanya berkayu. Daunnya tersusun dua baris pada batang. Namun, daya tarik utamanya terletak pada perbungaan. Tangkai bunga muncul dari ketiak daun tua atau dekat bagian atas batang, membawa beberapa kuntum bunga yang ukurannya bervariasi, sering kali didominasi warna kuning kehijauan hingga kuning pucat, terkadang dengan sedikit bercak cokelat.
Keunikan Bentuk "Capung"
Julukan "capung" merujuk pada struktur labellum yang sangat menonjol dan terbagi, seringkali dengan tonjolan atau sayap kecil yang membuatnya tampak seolah-olah siap terbang. Struktur ini diduga merupakan adaptasi ekologis untuk menarik penyerbuk spesifik di lingkungan Alor. Meskipun banyak anggrek memiliki labellum yang indah, bentuk yang menyerupai serangga ini langka dan sangat diminati oleh kolektor. Sayangnya, karena habitatnya yang spesifik dan potensi eksploitasi, anggrek ini kerap kali dikategorikan sebagai spesies yang rentan atau bahkan terancam punah di alam liar.
Upaya Konservasi dan Budidaya
Mengingat statusnya yang endemik dan terancam, upaya pelestarian Dendrobium capung Alor menjadi sangat penting. Konservasi dilakukan melalui dua jalur utama: in-situ (pelestarian di habitat asli) dan ex-situ (pelestarian di luar habitat alami, seperti kebun botani atau koleksi pribadi).
Budidaya anggrek ini, terutama melalui teknik kultur jaringan (meristem culture), menjadi kunci untuk memastikan kelangsungan spesies tanpa harus mengambil spesimen dari alam. Proses kultur jaringan memungkinkan produksi ribuan bibit anggrek dalam lingkungan steril, yang kemudian dapat ditanam kembali atau didistribusikan kepada para penghobi.
Tantangan dalam Perawatan
- Substrat yang Tepat: Membutuhkan media tanam yang sangat porous, seperti potongan kayu pakis atau gabus, meniru kondisi epifitnya.
- Pencahayaan: Memerlukan cahaya terang namun tidak langsung (teduh), mirip dengan kondisi di bawah kanopi hutan.
- Siklus Musim: Perlu stimulasi periode kering yang jelas untuk memicu pembungaan, meniru musim kemarau di Alor.
Bagi para pecinta anggrek tropis, memiliki Dendrobium capung Alor adalah sebuah kebanggaan. Keberhasilan membudidayakannya tidak hanya memberikan kepuasan estetika, tetapi juga berkontribusi pada upaya menjaga kekayaan biodiversitas flora Indonesia yang unik dari ujung timur kepulauan ini. Dengan perhatian dan upaya konservasi yang tepat, permata hijau dari Alor ini akan terus mewarnai lanskap botani Indonesia.