Dalam kekayaan budaya Jawa, terdapat berbagai macam pandangan dan hitungan mengenai kecocokan antara individu, termasuk dalam hal urutan kelahiran. Salah satu perpaduan yang seringkali menarik perhatian dan menimbulkan rasa penasaran adalah ketika seorang anak pertama bertemu dan menjalin hubungan dengan sesama anak pertama. Konon, dalam tradisi hitungan Jawa, perjumpaan dua individu yang sama-sama memegang predikat "sulung" ini memiliki karakteristik tersendiri yang patut untuk dipahami.
Hitungan Jawa, atau yang seringkali disebut dengan istilah "petungan" atau "primbon," merupakan sebuah sistem perhitungan yang telah diwariskan secara turun-temurun. Sistem ini umumnya melibatkan kombinasi dari weton (hari kelahiran dan pasaran), wuku (siklus mingguan dalam kalender Jawa), serta faktor-faktor lain seperti nama dan tempat lahir. Tujuannya adalah untuk memprediksi berbagai aspek kehidupan, mulai dari jodoh, rezeki, hingga kesehatan.
Ketika kita berbicara tentang anak pertama ketemu anak pertama, banyak pandangan tradisional yang mengatakan bahwa perpaduan ini bisa menghadirkan dinamika yang unik. Anak pertama seringkali diasosiasikan dengan sifat-sifat seperti tanggung jawab, kepemimpinan, kemandirian, dan kecenderungan untuk mengambil inisiatif. Mereka terbiasa menjadi panutan bagi adik-adiknya, sehingga seringkali memiliki mental yang kuat dan mampu menghadapi tantangan.
Dalam perpaduan dua anak pertama, kedua belah pihak mungkin akan saling memahami karakter dan tanggung jawab yang diemban sejak dini. Ini bisa menjadi fondasi yang kuat untuk membangun hubungan yang saling mendukung. Namun, di sisi lain, ada juga pandangan yang sedikit berhati-hati. Karena keduanya sama-sama terbiasa memimpin dan memiliki keinginan kuat untuk mengontrol situasi, bisa jadi muncul potensi gesekan atau persaingan jika tidak ada komunikasi yang baik dan saling mengalah. Keduanya mungkin sama-sama ingin menjadi "kapten" dalam hubungan mereka, sehingga perlu adanya penyesuaian.
Dalam hitungan Jawa, pertemuan anak pertama dengan anak pertama bisa diibaratkan seperti dua pemimpin yang bertemu. Potensi kesuksesan besar jika mereka bisa bekerja sama, namun perlu kehati-hatian agar tidak terjadi bentrokan ego.
Proses perhitungan dalam hitungan Jawa untuk menentukan kecocokan memang cukup rumit dan bervariasi tergantung pada guru atau tradisi yang diikuti. Namun, secara umum, inti dari hitungan ini adalah untuk mencari keselarasan dan menghindari ketidakcocokan yang dapat menimbulkan masalah di kemudian hari. Dalam kasus anak pertama ketemu anak pertama, ada beberapa aspek yang biasanya diperhatikan:
Menariknya, pandangan tradisional ini tidak selalu berarti negatif. Banyak juga yang meyakini bahwa dua anak pertama yang bersatu justru dapat menciptakan pasangan yang sangat kuat dan mandiri. Mereka bisa menjadi tim yang solid dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan, karena keduanya memiliki kemauan yang keras dan rasa tanggung jawab yang besar. Yang terpenting adalah bagaimana mereka mengolah sifat bawaan tersebut menjadi kekuatan bersama, bukan sebagai sumber konflik.
Dalam konteks hitungan Jawa, biasanya akan ada saran atau petunjuk mengenai cara menyelaraskan perbedaan atau potensi gesekan yang mungkin timbul. Misalnya, ada anjuran untuk melakukan upacara tertentu, menunda pernikahan pada waktu tertentu, atau bahkan menyeimbangkan karakter masing-masing melalui kegiatan atau saran dari orang yang lebih tua atau bijaksana.
Pada akhirnya, meskipun hitungan Jawa memberikan panduan, penting untuk diingat bahwa hubungan manusia adalah entitas yang kompleks dan dinamis. Faktor-faktor seperti komunikasi, rasa saling menghargai, cinta, dan komitmen adalah pondasi utama yang lebih kuat daripada sekadar hitungan weton atau urutan kelahiran. Pengalaman menjadi anak pertama memang membentuk karakter, namun bagaimana karakter itu diekspresikan dalam hubungan adalah pilihan sadar dari individu itu sendiri.