Sistem penulisan aksara Jawa kuno, yang dikenal sebagai Hanacaraka, tidak hanya berfungsi sebagai media komunikasi dan pelestari budaya, tetapi juga menyimpan kekayaan makna yang mendalam, termasuk dalam hal perhitungan. Hitungan Jawa atau yang sering disebut juga dengan sistem "teteg" atau "unggah-ungguh" angka, merupakan metode numerik yang unik dan erat kaitannya dengan filosofi serta nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Dalam tradisi ini, setiap aksara memiliki nilai numerik tersendiri yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari penanggalan, perhitungan waris, hingga ramalan.
Sistem hitungan Jawa ini berakar pada susunan aksara Ngayogyakarta yang dimulai dari ‘Ha’, ‘Na’, ‘Ca’, ‘Ra’, ‘Ka’. Masing-masing aksara ini mewakili sebuah nilai: Ha bernilai 1, Na bernilai 2, Ca bernilai 3, Ra bernilai 4, dan Ka bernilai 5. Pola ini kemudian berlanjut secara sistematis, mengikuti urutan aksara dalam baris-baris berikutnya. Baris kedua yang dimulai dari ‘Da’, ‘Ta’, ‘Sa’, ‘Wa’, ‘La’ memiliki nilai Da 6, Ta 7, Sa 8, Wa 9, dan La 0 atau 10 (tergantung interpretasi). Konvensi angka nol (0) dalam hitungan Jawa seringkali dilambangkan dengan aksara ‘La’ atau bahkan diwakili dengan penggunaan tanda khusus.
Selanjutnya, baris ketiga yang terdiri dari ‘Pa’, ‘Dha’, ‘Ja’, ‘Ya’, ‘Nga’ memiliki nilai Pa 1, Dha 2, Ja 3, Ya 4, dan Nga 5. Perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai pada baris ketiga ini kembali mengulang dari angka 1, namun dengan pembacaan yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya siklus dalam sistem hitungan Jawa yang mencerminkan pandangan hidup yang bersifat siklis, di mana segala sesuatu akan kembali pada titik awalnya setelah melalui sebuah proses.
Baris keempat yang terdiri dari aksara ‘Ma’, ‘Ga’, ‘Ba’, ‘Tha’, ‘Nga’ memiliki nilai Ma 6, Ga 7, Ba 8, Tha 9, dan Nga 0 atau 10. Lagi-lagi, ‘Nga’ pada baris ini seringkali menjadi representasi dari nilai nol atau pembulatan. Pengulangan pola dan nilai ini memberikan kedalaman pada sistem hitungan Jawa, yang tidak sekadar menghitung jumlah, tetapi juga mengandung makna filosofis tentang keteraturan alam semesta dan perjalanan hidup.
Penerapan hitungan Jawa ini sangatlah beragam. Dalam bidang penanggalan Jawa, setiap hari dalam siklus Windu (8 tahun) dan Weton (5 hari pasaran) dihitung menggunakan sistem aksara ini. Selain itu, dalam tradisi masyarakat Jawa, hitungan aksara juga digunakan untuk menentukan kecocokan jodoh, menghitung usia, hingga memprediksi nasib seseorang berdasarkan hari lahir. Terdapat pula perhitungan-perhitungan yang lebih kompleks seperti "petungan" untuk menentukan hari baik dalam membangun rumah, memulai usaha, atau mengadakan sebuah upacara. Setiap aksara dalam sistem ini seringkali diasosiasikan dengan elemen-elemen alam, arah mata angin, bahkan organ tubuh, yang semakin memperkaya makna di baliknya.
Memahami hitungan Jawa Hanacaraka berarti menyelami warisan budaya yang kaya akan kearifan lokal. Ini bukan sekadar tentang angka, melainkan tentang bagaimana leluhur kita memandang dunia, keteraturan, dan hubungan antara manusia dengan alam semesta. Meskipun di era modern ini sistem perhitungan desimal lebih umum digunakan, warisan hitungan Jawa tetap memiliki tempat istimewa sebagai pengingat akan identitas budaya dan kedalaman filosofi yang terkandung di dalamnya.
Lebih jauh lagi, sistem ini mengajarkan tentang pentingnya ketelitian dan kesabaran dalam menghitung. Cara menghitungnya bisa bervariasi, misalnya menggabungkan nilai aksara dari nama seseorang atau tanggal lahir untuk mendapatkan "angka pasaran" yang kemudian diinterpretasikan. Ada juga metode lain yang disebut "patungan" yang menggunakan beberapa aksara untuk melambangkan satu nilai, sehingga menghasilkan perhitungan yang lebih presisi namun juga lebih rumit. Intinya, hitungan Jawa Hanacaraka adalah sebuah sistem yang kompleks, harmonis, dan sarat makna, yang terus dilestarikan sebagai bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa.