Sistem penanggalan Jawa telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya di tanah Jawa. Salah satu aspek paling menarik dari sistem ini adalah keberadaan hitungan Jawa hari, yang tidak hanya sekadar penunjuk waktu, tetapi juga mengandung makna filosofis mendalam mengenai karakter, peruntungan, dan kecocokan. Konsep ini berakar pada gabungan antara kalender hijriah (Islam) dan kalender saka (Hindu), menciptakan sebuah sistem yang unik dan kaya.
Hitungan Jawa hari sangat erat kaitannya dengan konsep "pasaran". Dalam satu siklus 7 hari dalam seminggu (Senin hingga Minggu), terdapat siklus 5 hari pasaran yang dikenal sebagai Panca Wara. Kelima pasaran ini memiliki nama dan karakteristiknya masing-masing:
Pasaran Panca Wara ini kemudian digabungkan dengan siklus 7 hari biasa yang kita kenal sebagai Sapta Wara (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu). Kombinasi antara Sapta Wara dan Panca Wara inilah yang membentuk kalender Jawa yang lengkap dan menjadi dasar dari hitungan Jawa hari. Setiap hari dalam seminggu memiliki pasaran tertentu yang selalu berulang dalam pola yang tetap.
| Hari Biasa (Sapta Wara) | Pasaran (Panca Wara) |
|---|---|
| Senin | Legi |
| Selasa | Paing |
| Rabu | Pon |
| Kamis | Wage |
| Jumat | Kliwon |
| Sabtu | Legi |
| Minggu | Paing |
Hitungan Jawa hari tidak hanya digunakan untuk menentukan watak seseorang berdasarkan hari kelahirannya. Lebih dari itu, sistem ini memiliki berbagai aplikasi praktis dalam kehidupan masyarakat Jawa:
Kombinasi antara hari lahir (Sapta Wara) dan pasaran (Panca Wara) dipercaya dapat memberikan gambaran umum mengenai sifat, kecenderungan, dan potensi seseorang. Misalnya, seseorang yang lahir pada Senin Legi mungkin akan memiliki perpaduan antara sifat hari Senin yang terkadang tenang namun bisa juga emosional, dengan sifat pasaran Legi yang cenderung ramah dan beruntung. Analisis ini bersifat umum dan seringkali menjadi titik awal untuk pemahaman diri.
Dalam tradisi Jawa, hitungan Jawa hari juga sering digunakan untuk memprediksi kecocokan antara dua individu, baik dalam pertemanan, percintaan, maupun pernikahan. Dengan membandingkan kombinasi hari lahir dan pasaran kedua belah pihak, diharapkan dapat ditemukan keselarasan atau potensi konflik yang perlu diantisipasi.
Bagi masyarakat yang masih memegang teguh tradisi, pemilihan waktu yang baik untuk melakukan suatu kegiatan penting seperti pernikahan, membangun rumah, membuka usaha, atau bahkan sekadar melakukan perjalanan jauh, seringkali merujuk pada perhitungan Jawa. Tujuannya adalah untuk menghindari hari-hari yang dianggap "kurang baik" atau memilih hari yang "beruntung" sesuai dengan perhitungan pasaran dan hari.
Berbagai perayaan adat dan ritual keagamaan di Jawa juga seringkali disesuaikan dengan penanggalan Jawa, termasuk penentuan hari baik berdasarkan hitungan Jawa hari.
Selain watak dan kecocokan, terdapat pula sistem yang lebih kompleks dalam hitungan Jawa hari yang disebut "Tepaten". Sistem ini menggunakan kombinasi neptu (nilai angka) dari Sapta Wara dan Panca Wara untuk menentukan hari-hari yang dianggap baik atau kurang baik untuk kegiatan tertentu. Setiap hari dan pasaran memiliki nilai neptu:
Misalnya, nilai neptu hari Senin Legi adalah 4 (Senin) + 5 (Legi) = 9. Nilai neptu ini kemudian akan dibandingkan dengan neptu lain atau pola tertentu untuk menentukan apakah hari tersebut cocok untuk suatu hajat. Sistem Tepaten ini bisa sangat bervariasi tergantung pada kitab primbon dan tradisi lokal yang dipegang.
Meskipun zaman telah berganti dan teknologi semakin maju, hitungan Jawa hari tetap memiliki tempat di hati masyarakat. Keberadaannya bukan hanya sekadar angka atau kalender, melainkan sebuah warisan budaya yang sarat akan kearifan lokal, filosofi hidup, dan panduan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.