Kontroversi dan Konsensus Mengenai Jumlah Ayat
Al-Qur'an adalah kitab suci umat Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai pedoman hidup, keotentikan dan jumlah ayatnya menjadi perhatian utama. Namun, ketika membahas jumlah ayat dalam Al-Qur'an, sering kali muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan ini bukan mengenai substansi wahyu, melainkan murni pada metodologi penghitungan (adad al-ayat).
Secara umum, umat Islam sepakat bahwa Al-Qur'an terdiri dari 114 surat (bab). Pertanyaan spesifiknya adalah berapa total ayat (tanda atau penanda) yang terkandung di dalamnya. Mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat pada angka tertentu, namun ada pula yang memiliki hitungan sedikit berbeda. Mengetahui latar belakang perbedaan ini penting untuk memahami kekayaan tradisi periwayatan Islam.
Visualisasi representatif simbolis mengenai jumlah ayat Al-Qur'an.
Pandangan Utama Mengenai Jumlah Ayat
Perbedaan hitungan ini muncul karena adanya perbedaan pandangan mengenai di mana tepatnya suatu ayat berakhir, terutama pada surat-surat yang tidak diawali dengan Basmalah (kecuali surat At-Taubah). Ada tiga pandangan utama yang paling sering dibahas:
1. Pendapat Jumhur (Mayoritas Ulama)
Pendapat mayoritas ulama, terutama yang mengikuti tradisi Kufah dan Madinah, menetapkan bahwa jumlah ayat dalam Al-Qur'an adalah 6.236 ayat. Angka ini adalah yang paling populer dan sering diajarkan di banyak institusi Islam saat ini. Dalam penghitungan ini, Basmalah di awal setiap surat (kecuali At-Taubah) tidak dihitung sebagai ayat tersendiri, kecuali di surat Al-Fatihah.
2. Pendapat Ulama Mekkah (Ibnu Katsir)
Ulama dari Mekkah cenderung menghitung ayat sebanyak 6.210 ayat. Perbedaan utama antara pandangan ini dengan Jumhur terletak pada penandaan ayat-ayat tertentu. Mereka umumnya tidak menghitung ayat-ayat yang dianggap sebagai pemisah antar ayat oleh Kufah sebagai ayat mandiri.
3. Pendapat Ulama Syam (Damaskus)
Ulama Syam memiliki perhitungan yang sedikit berbeda lagi, yaitu 6.226 ayat. Perbedaan angka ini sering dikaitkan dengan penempatan penanda akhir ayat pada beberapa bagian tertentu di surat-surat awal.
Mengapa Terdapat Perbedaan Penghitungan?
Penting untuk digarisbawahi bahwa perbedaan ini bukan berarti ada ayat yang hilang atau ditambah. Al-Qur'an secara tekstual tetap utuh. Perbedaan ini timbul karena faktor-faktor teknis seputar mushaf dan metode penulisan pada masa awal Islam:
- Penanda Ayat (Fasila): Pada masa awal, ayat Al-Qur'an tidak diberi nomor seperti sekarang. Penetapan di mana satu ayat berakhir dan ayat berikutnya dimulai bergantung pada tradisi lisan dan riwayat (sanad) dari para sahabat senior yang menghafal langsung dari Nabi Muhammad SAW.
- Basmalah: Perdebatan muncul apakah Basmalah ("Bismillahirrahmanirrahim") di awal surat (selain At-Taubah) dihitung sebagai ayat pembuka surat tersebut atau hanya sebagai pemisah antar surat. Jumhur menganggapnya bukan bagian dari ayat surat, kecuali di Al-Fatihah.
- Penggabungan Ayat Pendek: Beberapa mazhab berbeda pandangan mengenai ayat-ayat pendek, apakah mereka berdiri sendiri atau merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Misalnya, beberapa ulama menganggap "Thaa Siin Miim" di awal surat tertentu sebagai tiga ayat terpisah, sementara yang lain menganggapnya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah.
Fokus Utama: Keutuhan Teks
Terlepas dari variasi hitungan angka total, konsensus yang kokoh dipegang oleh seluruh umat Islam adalah bahwa teks Al-Qur'an yang dihafal dan dituliskan saat ini adalah sama persis. Variasi hitungan ayat ini adalah masalah ijtihad (penalaran hukum) dalam metodologi pencatatan, bukan perbedaan isi Al-Qur'an itu sendiri.
Saat ini, praktik yang paling umum digunakan di dunia Islam mengadopsi hasil perhitungan jumhur, yaitu 6.236 ayat, ditambah dengan Basmalah di surat pembuka, menghasilkan total 6.364 penanda dalam Al-Qur'an yang dicetak modern (jika Basmalah dihitung sebagai ayat tersendiri di setiap surat, meskipun secara teknis ia tidak termasuk hitungan 6236). Angka 6.236 tetap menjadi rujukan utama untuk hitungan ayat standar.
Memahami konteks perbedaan ini membantu kita menghargai warisan intelektual Islam dalam upaya menjaga kesempurnaan kitab suci mereka. Yang terpenting adalah pesan dan ajaran yang terkandung di dalamnya tetap lestari dan terjamin keasliannya hingga hari kiamat, sesuai janji Ilahi.