Representasi visual alokasi waktu belajar pada Kurikulum Merdeka.
Pengenalan Kurikulum Merdeka pada Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Kurikulum Merdeka merupakan salah satu inovasi penting dalam dunia pendidikan di Indonesia, termasuk pada jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI). Implementasi kurikulum ini membawa perubahan signifikan pada struktur pembelajaran, terutama dalam hal alokasi waktu atau jumlah jam mengajar. Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas lebih besar bagi satuan pendidikan untuk merancang pembelajaran yang relevan dan berpusat pada kebutuhan peserta didik.
Salah satu fokus utama dalam Kurikulum Merdeka adalah mengurangi beban materi yang padat dan menggantinya dengan pembelajaran yang lebih mendalam melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila (P5). Bagi guru di MI, memahami bagaimana alokasi waktu ini diatur menjadi krusial untuk memastikan capaian pembelajaran siswa tetap optimal tanpa membebani mereka.
Struktur Jam Pelajaran dalam Kurikulum Merdeka MI
Pada Kurikulum Merdeka, alokasi waktu pembelajaran tidak lagi didasarkan murni pada jumlah jam per mata pelajaran secara kaku per minggu, melainkan lebih fleksibel. Total jam pelajaran dihitung berdasarkan Jam Pembelajaran Efektif dalam satu tahun ajaran. Hal ini memungkinkan sekolah untuk mengintegrasikan pembelajaran lintas mata pelajaran atau memberikan waktu khusus untuk kegiatan pengembangan diri.
Secara umum, struktur kurikulum di MI dibagi menjadi tiga komponen utama yang memengaruhi jumlah jam mengajar:
- Pembelajaran Intrakurikuler: Ini adalah waktu yang dialokasikan untuk pengajaran mata pelajaran reguler sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan.
- Pembelajaran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5): Ini adalah komponen wajib yang memiliki alokasi waktu tersendiri. Proyek ini bertujuan menanamkan nilai-nilai karakter siswa.
- Kegiatan Ekstrakurikuler: Kegiatan di luar jam pelajaran inti yang mendukung pengembangan minat dan bakat siswa.
Fleksibilitas Alokasi Waktu
Salah satu perbedaan paling mendasar adalah pergeseran dari sistem jam per minggu menjadi sistem jam per semester atau tahun ajaran. Hal ini memberikan keleluasaan kepada kepala sekolah dan guru untuk mengatur ritme belajar. Misalnya, guru dapat mengintensifkan pembelajaran Matematika pada bulan tertentu, dan mengurangi sedikit intensitasnya pada bulan lain asalkan total jam efektif untuk mata pelajaran tersebut terpenuhi dalam satu tahun.
Poin krusial yang perlu diperhatikan adalah penetapan alokasi waktu untuk P5. Komponen ini sering kali menyerap sebagian dari total jam yang sebelumnya dialokasikan untuk mata pelajaran inti. Jika pada kurikulum sebelumnya semua jam terfokus pada transfer pengetahuan, kini guru harus membagi fokusnya antara penyampaian konten dan fasilitasi proyek. Hal ini menuntut guru untuk lebih kreatif dalam merancang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang kini dikenal sebagai Modul Ajar.
Implikasi pada Beban Kerja Guru
Perubahan dalam jumlah jam mengajar ini membawa implikasi langsung pada beban kerja guru. Meskipun total jam tatap muka mungkin tidak berubah drastis, sifat dari jam mengajar itu sendiri yang berubah. Guru kini dituntut untuk lebih banyak melakukan perencanaan kolaboratif, terutama untuk proyek P5 yang seringkali melibatkan lebih dari satu guru mata pelajaran.
Selain itu, asesmen dalam Kurikulum Merdeka menekankan pada asesmen formatif dan refleksi berkelanjutan. Ini berarti waktu yang dihabiskan guru untuk mempersiapkan penilaian autentik dan memberikan umpan balik individual akan meningkat. Sekolah perlu memastikan bahwa fleksibilitas alokasi waktu juga mencakup penyediaan waktu bagi guru untuk pengembangan profesional dan refleksi, bukan sekadar menambah jam kerja tanpa kompensasi waktu yang memadai.
Intinya, Kurikulum Merdeka menuntut pergeseran paradigma: dari kuantitas jam tatap muka menjadi kualitas interaksi dan kedalaman pemahaman siswa.
Kesimpulan
Regulasi mengenai jumlah jam mengajar kurikulum merdeka MI memberikan ruang bernapas bagi madrasah untuk menyesuaikan pembelajaran dengan konteks lokal dan kebutuhan siswa. Guru didorong untuk menjadi fasilitator yang adaptif. Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada pemahaman menyeluruh mengenai bagaimana mengalokasikan jam efektif antara pembelajaran intrakurikuler, proyek P5, dan kegiatan pendukung lainnya agar tujuan pendidikan karakter dan literasi numerasi serta literasi dasar tercapai secara seimbang.