Peristiwa hijrah kaum Muslimin ke Habasyah (Ethiopia) merupakan salah satu babak krusial dalam sejarah awal Islam. Setelah menghadapi penindasan dan penyiksaan yang semakin brutal dari kaum Quraisy di Makkah, Nabi Muhammad SAW memberikan izin kepada para sahabatnya untuk mencari perlindungan di negeri asing yang dipimpin oleh seorang raja yang adil, yang dikenal sebagai An-Najasyi (Negus).
Hijrah pertama telah dilakukan oleh sebagian kecil sahabat. Namun, melihat situasi yang tidak membaik dan tekanan yang terus meningkat, kebutuhan akan keberangkatan gelombang kedua menjadi sangat mendesak. Kaum Quraisy semakin keras dalam usaha mereka menghalangi dakwah Islam, membuat Makkah menjadi tempat yang sangat tidak aman bagi mereka yang telah memeluk agama tauhid.
Konteks Hijrah Kedua
Setelah mendengar kabar bahwa kondisi di Habasyah relatif aman dan Raja An-Najasyi bersikap menerima, gelombang kedua hijrah pun diputuskan. Gelombang kedua ini jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan gelombang pertama. Para sejarawan Islam sepakat bahwa gelombang kedua ini menjadi migrasi terbesar sebelum hijrah ke Madinah.
Pertanyaan mengenai jumlah rombongan kaum muslimin yang ikut hijrah ke habasyah untuk kedua kali adalah hal yang sering dibahas dalam literatur sejarah Islam klasik. Meskipun angka pasti sering kali bervariasi antar riwayat karena sifat penulisan sejarah pada masa itu, konsensus umum menempatkan jumlah ini signifikan, menandakan besarnya populasi Muslim awal yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka.
Estimasi Jumlah Rombongan
Menurut riwayat yang paling sering dikutip, jumlah Muslimin yang berhijrah pada gelombang kedua ini diperkirakan mencapai sekitar 80 hingga 83 orang. Angka ini mencakup laki-laki dan perempuan, bahkan beberapa riwayat menyebutkan bahwa jumlah ini merupakan gabungan dari mereka yang telah tinggal di sana setelah hijrah pertama dan ditambah dengan kelompok baru yang datang menyusul.
Perlu dicatat bahwa di antara mereka yang berhijrah gelombang kedua ini terdapat tokoh-tokoh penting, termasuk Ja'far bin Abi Thalib, yang kelak memainkan peran penting dalam berdialog dengan Raja An-Najasyi, serta Ummu Salamah (istri Nabi Muhammad SAW di kemudian hari) bersama suaminya, Abu Salamah.
Gelombang kedua ini menunjukkan tingkat keparahan persekusi. Mereka rela menempuh perjalanan laut yang berbahaya menuju Abyssinia demi mempertahankan keyakinan mereka. Keberanian ini menjadi bukti keteguhan iman mereka di hadapan ancaman fisik dan psikologis yang dihadapi setiap hari di Makkah.
Tantangan dan Sambutan di Habasyah
Setibanya di Habasyah, kaum Muslimin disambut dengan kebijakan toleransi yang diterapkan oleh An-Najasyi. Meskipun ada upaya dari delegasi Quraisy untuk meminta An-Najasyi mengembalikan para Muhajirin tersebut, negosiasi yang dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib berhasil meyakinkan raja bahwa mereka adalah orang-orang yang tertindas yang mencari keadilan dan kebebasan beragama.
Keputusan Raja An-Najasyi untuk melindungi para Muhajirin ini tidak hanya menyelamatkan nyawa mereka tetapi juga menjadi kemenangan moral yang besar bagi umat Islam saat itu. Keberhasilan negosiasi ini menegaskan bahwa Islam pada fase awalnya tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga kecerdasan retorika dan ketulusan moral dalam menyampaikan pesan dakwah.
Peristiwa hijrah kedua ke Habasyah ini menjadi semacam "penampungan sementara" bagi komunitas Muslim sebelum mereka akhirnya diizinkan untuk kembali ke Makkah, dan akhirnya, melakukan penantian menuju peristiwa yang lebih besar: Hijrah ke Yatsrib (Madinah).
Meskipun fokus sering tertuju pada jumlah, signifikansi terbesar dari jumlah rombongan kaum muslimin yang ikut hijrah ke habasyah untuk kedua kali terletak pada keberanian kolektif mereka. Mereka mewakili sekelompok kecil masyarakat yang bersedia menukar kenyamanan hidup dengan kebebasan beragama, sebuah pengorbanan fundamental yang membentuk karakter awal komunitas Muslim.
Data historis menunjukkan bahwa setelah gelombang kedua, beberapa sahabat memutuskan untuk kembali ke Makkah ketika mereka mendengar bahwa tekanan dari Quraisy mereda (walaupun kabar itu ternyata tidak sepenuhnya akurat), sementara mayoritas tetap berada di Habasyah hingga akhirnya mereka bisa hijrah ke Madinah.