Dalam ajaran Islam, konsep tentang kebaikan dan keburukan memiliki posisi sentral yang fundamental. Allah SWT telah menetapkan batasan-batasan dan pedoman yang jelas bagi manusia untuk menjalani kehidupan yang harmonis dan bermakna. Di antara konsep-konsep penting tersebut adalah istilah "mufsidin" dan "fasad". Keduanya saling terkait, di mana "mufsidin" (bentuk jamak dari "mufsid") merujuk kepada individu-individu atau kelompok yang melakukan "fasad", yaitu perbuatan merusak atau menimbulkan kekacauan. Memahami siapa itu mufsidin, apa saja bentuk fasad yang mereka lakukan, serta bagaimana pandangan Islam terhadap mereka, adalah esensial bagi setiap Muslim untuk menjaga integritas diri, masyarakat, dan lingkungan.
Artikel ini akan mengupas tuntas tentang mufsidin dari berbagai sudut pandang Islam, mulai dari akar etimologisnya, penafsiran dalam Al-Qur'an dan Hadis, hingga manifestasinya dalam berbagai aspek kehidupan modern. Kita akan menelusuri dampak-dampak merusak yang ditimbulkan oleh mufsidin, baik di dunia maupun di akhirat, serta peran krusial umat Islam dalam mencegah dan memerangi fasad, seraya mengupayakan islah (perbaikan).
Kata "mufsidin" berasal dari akar kata Arab, fa-sa-da (فَسَدَ). Dari akar kata ini terbentuklah berbagai derivasi, antara lain:
Secara linguistik, fasad adalah antonim dari islah (إصْلَاح), yang berarti perbaikan, rekonsiliasi, atau membuat sesuatu menjadi baik. Oleh karena itu, mufsidin adalah lawan dari muslihin (orang-orang yang melakukan perbaikan).
Dalam konteks syariat Islam, makna "fasad" meluas mencakup segala bentuk perbuatan yang menyebabkan kerusakan, baik secara materiil maupun spiritual, baik bagi individu, masyarakat, maupun lingkungan. Kerusakan ini bisa berupa:
Mufsidin adalah orang-orang yang secara aktif, sengaja, atau karena kelalaian besar mereka, terlibat dalam perbuatan-perbuatan yang menyebabkan fasad ini. Mereka adalah agen-agen perusak yang mengganggu kedamaian dan keseimbangan yang dikehendaki Allah bagi alam semesta dan kehidupan manusia.
Al-Qur'an berulang kali menyinggung tentang fasad dan mufsidin, menunjukkan betapa seriusnya masalah ini dalam pandangan Islam. Banyak ayat yang menegaskan bahwa Allah tidak menyukai perbuatan fasad dan mengancam para pelakunya dengan azab yang pedih.
Salah satu prinsip fundamental dalam Islam adalah larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi. Bumi ini adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dimakmurkan, bukan dirusak. Allah berfirman:
"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-A'raf: 56)
Ayat ini dengan jelas melarang segala bentuk kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya dan menjadikannya tempat yang layak untuk dihuni. Mufsidin adalah mereka yang melanggar larangan ini, baik melalui perbuatan dosa, kezaliman, pencemaran, maupun eksploitasi yang merusak keseimbangan alam.
Allah juga berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 205:
"Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan keturunan (hewan). Dan Allah tidak menyukai kerusakan."
Ayat ini menggambarkan karakteristik mufsidin sebagai orang yang, ketika diberi kekuasaan atau kesempatan, justru menggunakannya untuk merusak. Kerusakan yang mereka lakukan tidak hanya terbatas pada moral atau sosial, tetapi juga fisik, seperti merusak pertanian (tanam-tanaman) dan kehidupan (keturunan/hewan), yang merupakan fondasi kehidupan manusia. Penegasan "Dan Allah tidak menyukai kerusakan" adalah sebuah vonis ilahi yang tegas terhadap perbuatan mufsidin.
Al-Qur'an juga menceritakan kisah-kisah umat terdahulu yang diazab oleh Allah karena perbuatan fasad yang dilakukan oleh mufsidin di antara mereka. Contohnya adalah kisah kaum Tsamud, kaum Madyan, dan kaum Luth.
Nabi Shalih diutus kepada kaum Tsamud yang terkenal dengan keahlian mereka memahat gunung menjadi rumah. Namun, mereka berbuat kerusakan di bumi dan mendustakan utusan Allah. Allah berfirman:
"Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shalih. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Unta betina Allah ini sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang menyebabkan kamu ditimpa azab yang pedih.' Dan ingatlah di waktu Tuhan menjadikan kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Ad, dan menempatkan kamu di bumi (ini), kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan." (QS. Al-A'raf: 73-74)
Meski telah diperingatkan, kaum Tsamud, yang di dalamnya terdapat mufsidin yang menolak kebenaran, membunuh unta mukjizat itu. Akibatnya, mereka diazab dengan gempa bumi yang dahsyat.
Nabi Syu'aib diutus kepada kaum Madyan yang terkenal dengan praktik kecurangan dalam perdagangan, seperti mengurangi timbangan dan takaran. Mereka adalah mufsidin dalam aspek ekonomi.
"Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika (betul-betul) kamu orang-orang yang beriman.'" (QS. Al-A'raf: 85)
Karena mereka tetap ingkar dan terus berbuat fasad, Allah membinasakan mereka dengan suara yang mengguntur.
Kisah kaum Luth adalah contoh paling jelas tentang kerusakan moral dan sosial. Mereka melakukan perbuatan homoseksualitas yang keji. Allah berfirman:
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: 'Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, padahal kamu melihatnya (kekejiannya)? Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk melampiaskan nafsu(mu), bukan kepada wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak tahu (batas)'. Maka tiadalah jawaban kaumnya selain mengatakan: 'Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura menyucikan diri.' Maka Kami selamatkan dia dan keluarganya, kecuali istrinya; Kami telah menentukan baginya (termasuk) orang-orang yang tinggal (bersama orang-orang kafir). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka amat buruklah hujan yang menimpa orang-orang yang diberi peringatan itu." (QS. An-Naml: 54-58)
Para mufsidin dari kaum Luth tidak hanya melakukan kebejatan moral, tetapi juga menolak nasihat dan berusaha mengusir Nabi Luth. Azab yang diturunkan kepada mereka adalah hujan batu yang membinasakan.
Al-Qur'an juga memberikan gambaran tentang siapa sebenarnya mufsidin ini:
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 11-12:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi', mereka menjawab: 'Sesungguhnya kami ini hanyalah orang-orang yang mengadakan perbaikan.' Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadarinya."
Ayat ini mengungkap tipu daya mufsidin yang munafik. Mereka tidak hanya merusak, tetapi juga menyelimuti perbuatan mereka dengan klaim perbaikan, bahkan tidak menyadari bahwa mereka sendirilah perusak sesungguhnya. Ini menunjukkan bahaya laten dari mufsidin yang bersembunyi di balik topeng kebaikan.
Sunnah Nabi Muhammad SAW juga sangat menekankan pentingnya menjaga ketertiban dan melarang segala bentuk fasad. Hadis-hadis Nabi memperjelas cakupan fasad dan mendorong umat untuk menjadi muslihin (agen perbaikan).
Salah satu bentuk fasad yang paling sering terjadi adalah pelanggaran hak orang lain dan ketidakadilan. Nabi SAW bersabda:
"Hindarilah kezaliman, karena kezaliman adalah kegelapan pada Hari Kiamat." (HR. Muslim)
Kezaliman adalah perbuatan fasad yang sangat merusak. Mufsidin seringkali adalah para zalimin yang menindas hak-hak orang lain, baik hak individu, masyarakat, maupun hak Allah. Mereka mengabaikan keadilan dan berbuat semena-mena, sehingga menciptakan ketidakseimbangan dan penderitaan.
Praktik penipuan dalam perdagangan, khianat dalam amanah, dan dusta adalah bentuk-bentuk fasad yang dikecam keras oleh Nabi SAW. Beliau bersabda:
"Barangsiapa menipu kami, maka ia bukan golongan kami." (HR. Muslim)
Mufsidin dalam konteks ekonomi seringkali adalah para penipu, mereka yang mengurangi timbangan, menyembunyikan cacat barang, atau melakukan praktik riba. Mereka merusak kepercayaan, menzalimi pembeli atau mitra, dan menghancurkan keberkahan dalam rezeki.
Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Beliau adalah teladan dalam menjaga alam, dan melarang segala bentuk perusakan. Hadis-hadis yang menganjurkan menanam pohon, membersihkan jalan, dan melarang membuang sampah sembarangan menunjukkan bahwa perusakan lingkungan adalah bagian dari fasad.
"Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menabur benih, lalu (buahnya) dimakan burung, atau manusia, atau hewan, melainkan itu menjadi sedekah baginya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini menunjukkan bahwa memakmurkan bumi adalah ibadah, dan sebaliknya, merusaknya adalah dosa. Mufsidin yang melakukan pencemaran, deforestasi, atau eksploitasi alam berlebihan, bertentangan dengan ajaran Nabi SAW.
Salah satu pilar utama dalam Islam untuk memerangi fasad dan mufsidin adalah perintah amar ma'ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Nabi SAW bersabda:
"Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa umat Islam memiliki tanggung jawab kolektif untuk tidak membiarkan fasad merajalela. Mufsidin berkembang biak ketika masyarakat abai terhadap kemungkaran. Oleh karena itu, setiap Muslim harus menjadi bagian dari barisan muslihin yang aktif memerangi fasad dan mengembalikan tatanan yang baik.
Perbuatan fasad yang dilakukan oleh mufsidin tidak terbatas pada satu bidang saja, melainkan merambah ke berbagai dimensi kehidupan, baik individu, sosial, ekonomi, politik, hingga lingkungan. Memahami manifestasi-manifestasi ini membantu kita mengidentifikasi dan memerangi mereka.
Mufsidin dalam aspek akidah adalah mereka yang mencoba merusak kemurnian ajaran Islam dan menyesatkan umat. Ini bisa terjadi melalui:
Tujuan mufsidin dalam hal ini adalah melemahkan keimanan umat, menjauhkan mereka dari jalan Allah, dan menciptakan kebingungan yang pada akhirnya akan merusak tatanan sosial dan moral.
Ini adalah salah satu bentuk fasad yang paling kentara dan berdampak luas. Mufsidin dalam aspek ini adalah mereka yang merusak akhlak dan nilai-nilai luhur masyarakat:
Dampak dari fasad moral dan sosial yang dilakukan mufsidin ini adalah hancurnya tatanan masyarakat, meningkatnya angka kriminalitas, hilangnya rasa aman, serta rusaknya generasi muda.
Sistem ekonomi yang ideal dalam Islam adalah yang berlandaskan keadilan dan bebas dari eksploitasi. Mufsidin dalam ekonomi adalah mereka yang merusak sistem ini:
Fasad ekonomi yang dilakukan mufsidin ini menyebabkan kesenjangan sosial, kemiskinan, ketidakadilan, dan hilangnya keberkahan rezeki.
Mufsidin dalam arena politik adalah mereka yang menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, bukan untuk kemaslahatan umat:
Dampak dari fasad politik ini sangat serius, yaitu hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah, ketidakstabilan negara, penderitaan rakyat, bahkan pecahnya perang saudara.
Allah SWT menciptakan alam semesta ini dengan keseimbangan yang sempurna. Mufsidin adalah mereka yang merusak keseimbangan ini:
Fasad lingkungan yang dilakukan mufsidin ini mengancam keberlangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya di bumi, menyebabkan bencana alam, kelaparan, dan berbagai penyakit.
Allah SWT tidak membiarkan perbuatan fasad tanpa konsekuensi. Baik di dunia maupun di akhirat, mufsidin akan menghadapi balasan yang setimpal atas perbuatan mereka.
"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum: 41)
Selain konsekuensi di dunia, azab yang lebih pedih menanti mufsidin di akhirat:
"Dan orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan berbuat kerusakan di muka bumi, orang-orang itulah yang memperoleh laknat dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (jahannam)." (QS. Ar-Ra'd: 25)
Melihat betapa besar bahaya mufsidin dan fasad, Islam menempatkan tanggung jawab besar pada pundak umatnya untuk tidak tinggal diam. Sebaliknya, umat Islam diperintahkan untuk menjadi agen islah (perbaikan) dan memerangi fasad.
Ini adalah pilar utama dalam memerangi fasad. Setiap Muslim memiliki kewajiban untuk:
Al-Qur'an memuji umat yang menjalankan fungsi ini:
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110)
Menjadi umat terbaik berarti aktif melawan mufsidin dan segala bentuk fasad yang mereka ciptakan.
Untuk melawan mufsidin, umat Islam harus terlebih dahulu membangun diri mereka dengan ilmu yang benar dan akhlak yang mulia. Kebodohan dan kelemahan moral adalah celah yang dapat dimanfaatkan oleh mufsidin.
Mufsidin seringkali berhasil merusak karena mereka mampu memecah belah umat. Oleh karena itu, persatuan adalah kekuatan fundamental untuk melawan mereka.
Di level yang lebih luas, upaya melawan mufsidin membutuhkan pembangunan sistem yang adil dan bersih di semua lini:
Perjuangan melawan mufsidin adalah jihad yang berkelanjutan. Ia membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan komitmen dari setiap individu Muslim dan komunitas secara keseluruhan.
Meskipun mufsidin adalah agen perusak, pintu taubat senantiasa terbuka bagi mereka yang menyadari kesalahannya dan ingin kembali ke jalan yang benar. Islam adalah agama yang mengajarkan harapan dan pengampunan.
Bagi siapa pun yang pernah terlibat dalam perbuatan fasad, baik secara langsung maupun tidak langsung, ada kesempatan untuk bertaubat dengan sungguh-sungguh:
Allah SWT berfirman:
"Kecuali orang-orang yang bertaubat, mengadakan perbaikan dan menjelaskan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 160)
Ayat ini menunjukkan bahwa taubat yang diterima bukan hanya sekadar ucapan, tetapi harus disertai dengan perbaikan (islah) dan penjelasan kebenaran bagi mereka yang sebelumnya menyembunyikannya atau menyebarkan kebatilan. Ini adalah harapan bagi setiap mufsidin untuk bisa berubah menjadi muslihin.
Konsep mufsidin dan fasad dalam Islam adalah peringatan keras bagi umat manusia tentang bahaya perbuatan merusak. Dari tinjauan Al-Qur'an dan Sunnah, jelas sekali bahwa Allah SWT tidak menyukai fasad dan mengancam para mufsidin dengan azab yang pedih, baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan fasad tidak hanya merusak individu, tetapi juga tatanan masyarakat, ekonomi, politik, bahkan keseimbangan lingkungan hidup.
Kita telah melihat bagaimana mufsidin dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari kerusakan akidah, moral, sosial, ekonomi, politik, hingga lingkungan. Mereka adalah individu atau kelompok yang menolak kebenaran, menyebarkan kezaliman, menipu, berkhianat, dan mencari keuntungan di atas penderitaan orang lain atau perusakan alam.
Namun, Islam tidak hanya memperingatkan tentang mufsidin, tetapi juga memberikan solusi dan harapan. Umat Islam diperintahkan untuk menjadi muslihin, yaitu agen-agen perbaikan yang aktif memerangi fasad melalui amar ma'ruf nahi munkar. Setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menjaga keimanan, moral, sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan dari kerusakan. Ini dilakukan dengan ilmu, akhlak mulia, persatuan, dan pembangunan sistem yang adil.
Pintu taubat selalu terbuka bagi mereka yang menyadari kekeliruan mereka sebagai mufsidin. Dengan penyesalan yang tulus, berhenti dari perbuatan dosa, bertekad tidak mengulangi, dan berupaya memperbaiki kerusakan yang telah ditimbulkan, seseorang dapat beralih dari menjadi perusak menjadi agen perbaikan.
Pada akhirnya, tujuan hidup seorang Muslim adalah mencapai keridhaan Allah SWT. Keridhaan itu diperoleh dengan mengikuti petunjuk-Nya, menjaga amanah yang diberikan, dan senantiasa berbuat kebaikan. Maka, marilah kita senantiasa berintrospeksi diri, menjauhkan diri dari segala bentuk fasad, dan berjuang keras untuk menjadi bagian dari kaum muslihin yang senantiasa menebar kebaikan dan memperbaiki keadaan, demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan dirahmati Allah SWT.